JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ajang pertemuan Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization (WTO), di Bali, yang berlangsung sejak kemarin hingga tanggal 6 Desember nanti, dijadikan ajang bagi para petambak dan nelayan lokal untuk menyuarakan diri. Hari ini, para petambak Dipasena menyuarakan gugatan mereka terhadap kejahatan perdagangan bebas dan juga terhadap perusahaan pakan ternak raksasa asal Thailand, Charoen Pokphand. "Para petambak plasma merasa dirugikan oleh ulah perusahaan tersebut," kata Nafian Faiz, Ketua Perhimpunan Petambak Plasma udang Windu (P3UW), kepada Gresnews.com, Selasa (4/12).

Protes ini adalah buntut dari perkara panjang yang melingkupi tambak yang terletak di Rawajitu, Lampung tersebut, sejak tahun 1997 silam. Seperti diketahui, awalnya, tambak tersebut dibuka tahun 1989 dan dimiliki oleh pengusaha Sjamsul Nursalim, melalui Dipasena Group. Sjamsul, pada saat krisis ekonomi tahun 1997, terlilit utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia sebesar Rp 47 triliun. Utang itu berimbas pada pengelolaan tambak udang miliknya yang dikelola melalui PT Dipasena Citra Darmaja (DCD).

Perusahaan tersebut demi membayar utang-utangnya, kata Nafian, mulai bertindak sewenang-wenang kepada ratusan petambak yang menjadi plasma. "Perusahaan menentukan harga jual udang dan kebutuhan produksi udang secara sewenang-wenang," ujarnya. Alhasil, banyak petambak yang jadi terlibat utang kepada perusahaan dan jumlahnya tidak pernah jelas, sehingga petambak sulit melunasi utang-utang yang ditentukan secara sepihak itu.

Masalah ini terus berlanjut hingga tahun 2007 ketika kepemilikan aset PT DCD pindah ke tangan PT Charoen Phokpand yang membeli aset kredit dan saham Group Dipasena melalui Konsorsium Neptune senilai Rp 2,388 triliun dengan harga  ‘hanya’ sebesar Rp 688 miliar. Setelah pembelian itu, Charoen Phokpand Indonesia membentuk PT. Central Proteinaprima Tbk untuk industri udang yang membawahi PT Aruna Wijaya Sakti, PT Centralpertiwi Bahari, dan PT Wachyuni Mandira.

Sayangnya, perpindahan kepemilikan itu, kata Nafian, tetap tidak menguntungkan petambak. "Ketiga anak perusahaan dari Charoen Pokphand malah melanjutkan pelanggaran yang telah dilakukan terhadap petambak udang dari skema perjanjian kemitraan inti-plasma," ujarnya. Permasalahan yang terjadi dalam pola kemitraan antara petambak plasma dimulai dengan adanya iming-iming petambak yang bermitra akan mendapatkan sebuah rumah sederhana dan dua petak lahan tambak seluas 2000 meter persegi.

Namun semua iming-iming itu ternyata malah menjerumuskan petambak. Semua yang didapatkan oleh petambak Dipasena dinyatakan tertanggung sebagai utang yang besarannya Rp 165 Juta untuk setiap petambak. Dan sistem pelunasannya akan dilakukan dengan pemotongan hasil panen 20% setiap seusai panen yang diperkiraan akan lunas dalam waktu 8 tahun. Di sisi lain, perusahaan inti memonopoli semua kebutuhan usaha budidaya udang seperti pakan, obat-obatan yang dijual sangat tinggi dan juga udang hanya boleh dijual kepada perusahaan namun penetapan harga beli secara sepihak dengan harga sangat rendah.

Skema ini, kata Nafian, malah mencekik para petambak yang sebenarnya sudah berupaya secara mandiri. Selain itu, untuk mengikat petambak agar terus bergantung, perusahaan menyediakan hutang bulanan sebesar Rp 900 ribu per bulan sebagai Biaya Hidup Petambak Plasma (BHPP). Hingga kini, keseluruhan utang tersebut menjadi dalih perusahaan bahwa petambak berutang dan tambak tersebut disita untuk melunasi utang ke perusahaan.

Padahal petambak Dipasena saat ini telah bangkit dengan mampu melakukan kegiatan ekonomi secara mandiri tanpa ada monopoli dari korporasi maupun investasi yang tidak berperikemanusiaan dan berkeadilan. "Karena itu petambak menuntut pemerintah melindungi mereka dari jerat korporasi yang mencekik," ujar Nafian. Apalagi dalam soal ini, pihak Charoen Pokphand sendiri sepertinya menunjukkan iktikad baik untuk menyelesaikannya.

Perusahaan multinasional asal Thailand itu melalui PT Aruna Wijaya Sakti/PT Central Protein Prima (AWS/CPP), tidak melaksanakan kewajibannya merevitalisasi tambak udang. Padahal kewajiban tersebut merupakan kewajiban dari perjanjian pembelian aset Group Dipasena yang dimandatkan oleh KKSK Hingga awal 2011. PT AWS/CPP hanya merevitalisasi lima blok saja dari keseluruhan 16 blok. Kemudian, Charoen Pokphand juga malah melayangkan gugatan wanprestasi terhadap 200 petambak plasma dalam dua gugatan dengan total tergugat 400 orang, di PN Menggala, Lampung.

Upaya berbagai pihak mulai dari Komnas HAM dan instansi negara lain seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemprov Lampung, Pemkab Tulang Bawang, BPH Migas, PT PLN, hingga PT. Pertamina yang mengupayakan penyelesaian di luar jalur hukum mentah. Majelis hakim PN Menggala sendiri menolak gugatan PT Charoen Pokphand dengan beralasan mengedepankan rasa keadilan dalam menyelesaikan persoalan ini. Sayangnya Charoen Phokpand melakukan upaya hukum banding, terhadap putusan itu. Alhasil nasib para petambak masih terkatung-katung.

Menanggapi sengketa ini, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim menegaskan agar pemerintah melindungi para petambak dari jerat kejahatan korporasi. "Jelas skema kemitraan inti-plasma Charoen Phokpand melanggar hak asasi manusia dan Konstitusi UUD 1945 dengan melakukan perbudakan secara diam-diam terhadap petambak plasma," ujar Halim kepada Gresnews.com.

Negara, kata Halim, berkewajiban untuk menjamin pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28E ayat (1) UUD 45. Karena itu selain menggugat kejahatan korporasi, KIARA dan para petambak juga menggugat kejahatan perdagangan bebas, karena dengan mengikuti perjanjian perdagangan bebas, negara malah lari dari kewajiban melindungi rakyatnya. "Kewajiban tersebut telah dilanggar dengan aktif oleh negara melalui perjanjian perdagangan bebas dan keanggotaan Indonesia dalam WTO," kata Halim menegaskan.

Dengan WTO, Indonesia malah dilarang untuk memastikan bahwa warga negara mendapatkan dukungan subsidi yang kuat untuk melakukan pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagai warga negara. Ini terbukti dari tuduhan assosiasi industri udang dari Amerika Serikat (The Coalition of Gulf Shrimp Industries/COGSI) pada awal 2013 kemarin, bahwa pemerintah RI telah memberikan subsidi kepada industri udang dalam negeri.  COGSI meminta kepada Komisi Perdagangan Internasional Amerika Serikat (The United States International Trade Commission/US ITC) untuk menyelidiki dugaan subsidi kepada industri udang yang melanggar peraturan dalam Organisasi Perdagangan Internasional (WTO).

Tuduhan tersebut juga ditujukan kepada China, Ecuador, India, Malaysia, Thailand, dan Vietnam selama periode tahun 2010 hingga 2014. Industri udang AS menuduh pemerintah Indonesia mengalokasikan US$ 3 miliar kepada sektor perikanan dan secara khusus dialokasikan untuk industri udang selama lima tahun dari 2010 hingga 2014. Dengan menargetkan peningkatan produksi sebesar 18-19% per tahun.

Dibalik tuduhan ini kata Halim, ada upaya AS untuk mengerem perkembangan usaha tambak Indonesia yang pada beberapa tahun belakangan justru tengah mengalami kenaikan. Volume produksi perikanan di Indonesia dari tahun 2008 hingga 2012 meningkat sebesar 6,6 juta ton atau sebesar lebih dari 75%. Begitu pula dengan produksi udang mengalami kenaikan produksi tiap tahun dari 409,590 ton pada 2008 menjadi 415,703 ton pada 2012. Berdasarkan angka volume produksi Udang, Indonesia mengalami kenaikan tiap tahun dengan rata-rata kenaikan sebesar 1,04%.

Terdapat tiga negara industri yang menjadi tujuan ekspor udang Indonesia antara tahun 2008 hingga 2012 yaitu Jepang, Amerika Serikat dan Kanada. Uni Eropa merupakan negara tujuan terbesar pertama dengan volume dan nilai yang berkisar pada 73.546-102.334 ton dengan nilai mencapai US$ 293.344 (Rp 3,5 miliar) hingga US$ 459.923 (Rp 5,5 miliar). Amerika Serikat sebagai negara tujuan ekspor terbesar kedua dengan volume berkisar pada 58.277 hingga 77.203 ton dengan nilai mencapai US$ 443.220 (RP 5,3 miliar) hingga US$ 547.627 (Rp 6,5 miliar).

Tuduhan itu meski belakangan dinyatakan tidak terbukti, menurut Ahmad Marthin Hadiwinata, Koordinator Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan KIARA, menjadi bukti WTO hanya akan merugikan rakyat. "Penyelidikan tersebut merupakan langkah yang dilakukan sebagai prosedur yang dapat dilakukan oleh negara anggota sebagai akibat dari keanggotaan Indonesia di WTO," ujar Marthin kepada Gresnews.com. Marthin mengatakan, fakta yang terjadi dari perdagangan internasional dan hasil perundingan bidang pertanian banyak merugikan negara-negara sedang berkembang.

WTO bersama dengan Negara maju beranggapan bahwa subsidi dalam sektor perikanan akan mengganggu akses pasar dalam perdagangan internasional. Kebijakan subsidi bagi nelayan dan petambak serta proteksi produk perikanan akan menghambat perdagangan bebas. WTO dan sejumlah negara maju menghendaki keduanya ditiadakan melalui dua kebijakan yang sedang dibahas dengan alot yakni NAMA (Akses Pasar Non Pertanian) dan penghapusan subsidi perikanan. Padahal perikanan bukan termasuk hasil produksi pertanian.

Karena itu kata Marthin, KIARA menganggap pertemuan WTO hanya akan menjadi ancaman serius bagi rakyat Indonesia. "Dengan skema perdagangan bebas, eksploitasi  sumber daya ikan dan pemiskinan terhadap nelayan dan petambak akan terus meningkat," ujarnya.

(GN-03)

BACA JUGA: