Jakarta - Dua kurator PT Sarana Perdana Indoglobal (SPI), Tafrizal Hasan Gewang dan Denny Azani Baharuddin Latief, menilai dakwaan jaksa penuntut umum salah alamat.

Keduanya juga menilai tindakan mengurus harta pailit PT SPI yang mengakibatkan selisih nilai aset senilai Rp10,85 miliar itu tak bisa dipidana.

"Perselisihan hukum yang terjadi dalam kasus ini adalah murni sengketa kepailitan, bukan pidana, yang seharusnya diadili oleh hakim pengadilan perdata khusus, yaitu pengadilan niaga dan jika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatannnya bukan merupakan suatu tindak pidana," kata kuasa hukum Tafrizal , Siti Aminah, saat membacakan eksepsinya, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Senin (19/12).

Menurut Siti, perbuatan yang didakwakan terhadap Tafrizal masih bergantung kepada proses kepailitan PT SPI yang hingga kini belum berakhir proses kepailitannya. "Oleh sebab itu perbuatan yang didakwakan jaksa penuntut umum prematur," kata Siti.

Siti menilai, sengketa kepailitan merupakan kewenangan Pengadilan Niaga dan bukan kewenangan Pengadilan Negeri yang mengadili perkara pidana ini. Ketentuan yang mengatur perbuatan Tafrizal dilindungi oleh UU yang khusus mengaturnya, yakni UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Tindakan melelang aset yang dilakukan kurator dapat mengenyampingkan hukum umum.

"Peradilan umum pidana pada PN Jakpus tak berwenang mengadili saudara terdakwa Tafrizal Hasan Gewang," kata Siti.

Hal senada diungkapkan oleh kuasa hukum Denny, Mulyadi. Penyidik Polri ataupun jaksa dinilai telah melakukan intervens atas pekerjaan yang sedang dilakukan oleh kliennya. "Mendudukkan kurator sebagai terdakwa adalah bentuk kriminalisasi profesi," jelas Mulyadi.

Hak kurator
Penyidikan kepolisian, sambung Mulyadi, justru menghalangi tugas Denny sebagai kurator PT SPI. Intervensi ini diangap mengarah kepada pengecilan dan pengerdilan profesi kurator.

"Yang berhak membuktikan telah terjadinya perbuatan kurator tidak menjalankan ketentuan UU Kepailitan dan PKPU adalah organ yang dibentuk oleh UU itu sendiri, yaitu hakim pengawas dan Ketua Pengadilan Niaga," jelas Mulyadi.

Sebelumnya Tafrizal dan Denny terancam pidana penjara 15 tahun bui. Kedua kurator itu dituding melakukan penggelapan sejumlah uang hasil penjualan aset, pemalsuan surat dan pencucian uang dalam mengurus boedel pailit.

Terdapat selisih uang yang dikuasai oleh para terdakwa sejumlah Rp10.858.086.210 yang semestinya menjadi hak para kreditur PT SPI (dalam pailit) sejumlah 2184 kreditur tetapi tidak dibayarkan oleh para terdakwa
 
Ancaman pidana maksimal 15 tahun bui itu berdasarkan dakwaan subsidair terhadap terdakwa, Pasal 6 Ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kendati begitu, dakwaan primair terhadap Tafrizal dan Denny adalah Pasal 372 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP tentang penggelapan dan Pasal 263 Ayat (1) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP tentang pemalsuan surat.

BACA JUGA: