Jakarta - Sembilan akademisi mengajukan uji materiil Undang-undang (UU) No. 8 tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon menilai karena ada beberapa ketentuan yang tercantum dalam UU hasil revisi UU 24 tahun 2003 berpotensi merusak MK sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang independen.

"Jadi kita merasa ada beberapa substansi hasil revisi yang berpotensi merusak MK sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang independen," ujar salah satu pemohon, Saldi Isra,  saat ditemui wartawan usai memasukan permohonan uji materiil, di Gedung MK, Jakarta, Jumat (29/7).

Saldi, menjelaskan, sejumlah ketentuan tersebut adalah terkait dengan ketentuan Majelis Kehormatan Hakim (MKH),"Itu ada yang berasal DPR dan Pemerintah, itu kan agak sulit kalau MKH-nya MK berasal dari institusi itu yang nanti akan dikiritik dan diperbaiki undang-undangnya oleh MK," ujarnya.

Ia menambahkan, dalam permohonan UU ini juga mempersoalkan Pengganti Antar Waktu (PAW), menurutnya, pola yang ada saat ini sudah benar. Konteks teori lembaga independen artinya bila ada hakim yang berhenti ditengah jalan, kemudian yang mengganti hanya masa jabatannya, bukan melanjutkan sisa waktu,"paparnya.

Selain itu Saldi juga mempersoalkan ketentuan mengenai batasan MK tidak boleh melakukan ultra petita (penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau mememutus melebihi dari pada yang diminta)." "Menurut saya ini keliru cara pikir dari pembuat UU. Karena ultra petita itu bagian dari proses di MK.

"Nah kalau Hakim Konstitusi dilarang melakukan ultra petita, nanti hakim konstitusi akan menjadi corong pembuat undang-undang saja. Tidak bisa mencari atau memutuskan keadilan substantif," imbuhnya.

Untuk keseluruh pasal yang diminta untuk dujikan ialah, menurut Saldi adalah, Pasal 4, 15, 27, 27a, 57, 59. Adapun para pemohon pengujian UU MK ungkap Saldi, selain dirinya adalah, Yuliandri, Prof Arief Hidayat, Zainal Daulay, Zaenal Arifin Mochtar, Mohammad Ali Syafaat.

(feb)

BACA JUGA: