JAKARTA, GRESNEWS.COM –  Mahkamah Agung berpendapat pembatasan peninjauan kembali (PK) hanya sekali dinilai tidak melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Sebab sebelum sampai pada PK, sebanyak lima tingkat upaya hukum di bawahnya sudah dijalankan untuk terpidana mati membela hak-haknya didampingi penasihat hukum. Pembatasan PK justru memberikan keadilan bagi semua pihak termasuk korban.

Untuk diketahui, sebelumnya Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang pembatasan PK hanya sekali (SEMA 7/2014). Menurut juru bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi, SEMA 7/2014 diterbitkan untuk menegaskan pendirian MA mengacu pada Pasal 268 KUHAP, Undang-Undang (UU) Kekuasaan Kehakiman dan UU MA yang berisi ketentuan pembatasan PK hanya sekali. Sebab ketiga UU tersebut menjadi dasar bagi MA agar terdapat kepastian hukum. Meski begitu ia menekankan SEMA tersebut menurutnya tidak memuat satu norma.

"Kalau mau, judicial review seluruhnya undang-undang yang terkait pembatasan PK. Dengan begitu MA sudah diikat seluruhnya. Tidak ada dasar lagi," ujar Suhadi kepada Gresnews.com, Minggu (19/4).

Suhadi menjelaskan kematian memang tidak bisa ditukar dengan hal lain sehingga mereka yang dieksekusi mati akan berusaha untuk mencari upaya hukum menghindari vonis tersebut. Kalau PK dibolehkan berkali-kali maka PK akan diajukan terus menerus. Akibatnya putusan eksekusi mati tidak bisa dilakukan.

Menanggapi tudingan pembatasan PK melanggar HAM menurutnya tidak tepat. Sebab adanya pengadilan justru untuk melindungi HAM terpidana agar tidak terjadi ‘hukum rimba’. Dalam KUHAP upaya menjunjung tinggi HAM, menurutnya, itu sudah diatur.

Ia mencontohkan mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sidang tingkat pertama, tingkat banding, hingga kasasi seseorang yang menjadi terdakwa boleh didampingi penasihat hukumnya. Sehingga terbuka kesempatan untuk membela hak hingga lima tingkat proses hukum.

Selanjutnya, jika dari lima tingkat proses hukum tersebut ada yang luput dijadikan pertimbangan hukum maka dibuka pintu upaya hukum luar biasa melalui PK. Sehingga ia mengklaim HAM sudah dijunjung tinggi dalam proses hukum. Suhadi justru mempertanyakan soal hak korban yang membutuhkan kepastian hukum.

"Korban sudah ‘hancur’, hilang segalanya, tapi terdakwa tidak ada kepastian hukum. Jadi ada juga hak asasi korban. Harus berimbang," lanjut Suhadi.

Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W Eddyono mengatakan SEMA merupakan peraturan yang berlaku di internal MA. Seharusnya aturan internal seperti SEMA tidak sampai berimplikasi ke pihak ketiga.

"Kalau dasarnya UU MA, UU tersebut tidak memandatkan ke SEMA," ujar Supriyadi pada Gresnews.com, Minggu (19/4).

Lalu kalau MA menilai SEMA mengacu pada KUHAP, maka KUHAP sudah diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan aturan pembatasan PK hanya sekali. Sehingga MK memutuskan dimungkinkan PK berkali-kali.

Menurutnya, pembatasan PK ini bermasalah ketika dihadapkan pada kasus untuk vonis hukuman mati yang mengangkut hak hidup seseorang. Ia menilai seharusnya MA tidak perlu melakukan pembatasan PK. Akan lebih baik ketika MA membuat aturan detail soal syarat-syarat novum. "Pembatasan PK untuk perdata bolehkan, tapi jangan untuk pidana," katanya.

Sebelumnya, pemerintahan Jokowi telah mengeksekusi 6 terpidana mati kasus narkoba pada Januari 2015. Lalu gelombang kedua eksekusi dijatuhkan pada 10 terpidana mati dari total 158 terpidana mati yang belum dieksekusi. Para terpidana mati tidak bisa mengajukan PK untuk kedua kalinya karena terbentur SEMA 7/2014.

Polemik mengenai PK ini berbuntut pada gugatan maupun judicial review atas Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 7 Tahun 2014 tentang peninjauan kembali yang dibatasi satu kali. Sebelumnya SEMA 7/2014 ini digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kini SEMA tersebut juga diujimaterikan oleh pemohon dari Koalisi Masyarakat Anti Hukuman Mati ke Mahkamah Agung (MA). Koalisi tersebut terdiri dari ICJR, Imparsial, Elsam, HRWG, Setara Institute, LBH Masyarakat, dan Ikohi.

BACA JUGA: