JAKARTA, GRESNEWS.COM - Setiap manusia memiliki hak untuk menjalin rumah tangga dengan orang yang dicintainya. Namun hal itu tidak berlaku bila kisah percintaan itu terjadi dengan rekan satu kantor. Aturan larangan menikah dengan teman sekantor pun digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Jhoni Boetja bersama Edy Supriyanto Saputro, Airtas Asnawi, Syaiful, Amidi Susanto, Taufan, Muhammad Yunus, dan Yekti Kurniasih tidak terima dengan adanya larangan karyawan sekantor menikah. Menurutnya, larangan yang bersumber dari UU Ketenagakerjaan itu bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan.

Aturan perkawinan dengan teman sekantor diatur dalam Pasal 153 Ayat 1 huruf f UU Ketenagakerjaan. Pasal itu berbunyi:

Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal itu menjadi dasar hukum bagi perusahaan membuat perjanjian kerja yang melarang sesama karyawan menikah.

"Dan pemutusan hubungan kerja akan terus terjadi dikarenakan pekerja tersebut melaksanakan perintah agamanya dengan melaksanakan ikatan perkawinan di mana jodoh dalam perkawinan tidak bisa ditentang disebabkan ikatan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita yang memiliki rasa saling mencintai sulit untuk ditolak," kata Jhoni sebagaimana dikutip dari website MK, Rabu (17/5).

Mereka meminta Pasal 153 Ayat 1 huruf f UU Ketenagakerjaan dibatalkan sepanjang frase ´kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama´. Menurut pemohon, hubungan percintaan antara manusia tidak bisa dibendung.

Namun, ada dampak lain yang menyulitkan, yaitu pasangan pekerja tersebut akhirnya memutuskan tidak jadi menikah guna bertahan di perusahaan itu. Kemudian kedua belah pihak secara baik-baik berpisah.

"Tetapi, terbuka juga kemungkinan mereka memilih tinggal bersama tanpa suatu ikatan perkawinan guna menghindari peraturan perusahaan. Hal ini tentunya sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan yang dianut oleh bangsa Indonesia yang masih menjunjung tinggi lembaga perkawinan," papar Jhoni memaparkan dampak negatif larangan tersebut.

Menurut pemohon, pembatasan hak berkeluarga dan hak atas pekerjaan tidak perlu dilakukan apabila setiap individu yang bekerja dalam suatu perusahaan memiliki moral dan etika yang baik. Untuk itu, diperlukan individu-individu yang menanamkan etika yang baik tersebut.

Bahkan, menurut pemohon, perkawinan sesama pegawai dalam suatu perusahaan sebenarnya merupakan keuntungan perusahaan karena dapat menghemat pengeluaran perusahaan dalam hal menanggung biaya kesehatan pekerja. Disebabkan apabila suami-istri bekerja dalam suatu perusahaan yang sama, perusahaan hanya menanggung satu orang pekerja beserta keluarga.

"Apabila perusahaan beralasan mencegah terjadinya unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam suatu perusahaan, menurut pemohon hal ini sangatlah tidak beralasan karena unsur terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah tergantung pada mentalitas seseorang," cetus pemohon.
ALASAN PENGUSAHA - Dalam sidang pada Senin (15/5) kemarin dari pihak pengusaha diwakili oleh kuasa hukum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Gustaf Evert Matulessy. Dalam sidang itu, DPR juga diundang tapi tidak hadir. Apindo menyatakan MK tidak perlu mengubah pasal yang digugat dan tidak perlu mengabulkan permohonan pemohon.

Menurut Gustaf ketentuan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 153 Ayat 1 huruf f adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini bertujuan untuk melindungi kepentingan yang lebih besar dalam menjaga hak setiap warga negara untuk menikah, tetapi sekaligus juga untuk menjaga setiap hak setiap orang yang bekerja guna mendapatkan perlakuan yang adil di mana kedua hal tersebut merupakan hak asasi manusia yang sama diatur di dalam UUD 1945.

Pasal 153 Ayat 1 huruf f UU Ketenagakerjaan ini memberikan jaminan kondusif hubungan kerja sesama pekerja maupun pekerja dan manajemen perusahaan sehingga mempengaruhi profesionalitas kerja dan memberikan keadilan bagi pekerja itu sendiri maupun bagi perusahaan.

Apindo menyatakan pada prinsipnya perusahaan tidak melarang seorang untuk menikah. Akan tetapi, apabila suami-istri bekerja dalam suatu perusahaan yang sama, akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) dalam mengambil keputusan dalam internal perusahaan dan dapat mengganggu objektivitas serta profesionalisme dalam pekerjaannya.

"Misalnya berkaitan dengan penilaian kinerja pekerja dalam pengembangan karier, dalam promosi, pemberian sanksi, dan sebagainya yang akan mengganggu rasa keadilan bagi pekerja yang lainnya yang tidak memiliki hubungan khusus sebagai suami-istri dalam suatu perusahaan yang tujuannya tentu lebih banyak," papar Gustaf.

Menurut Apindo, dampak positif dari perkawinan sesama pekerja dalam suatu perusahaan adalah pasangan pekerja tersebut secara emosional akan saling menguatkan hubungan keluarganya sehingga merasa aman dan tenteram karena saling melindungi.

Meski demikian, selain dampak positif tersebut, terdapat dampak negatif yang berhubungan dengan perasaan saling melindungi tersebut yang berpotensi negatif, yakni dapat mengurangi, bahkan menghilangkan, objektivitas kerja dari hubungan kerja antara pekerja dan manajemen perusahaan.

"Sebagai contoh seorang manajer HRD di satu perusahaan mempekerjakan istri atau suami dari atasan kerjanya, yakni general manager di satu perusahaan sebagai supervisor, di mana pada satu keadaan tertentu istri atau suami atau manajer HRD tersebut melakukan pelanggaran, indisipliner, atau pelanggaran lainnya yang dapat dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam perjanjian kerja peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Dengan kondisi tersebut, secara psikologis akan terjadi konflik batin bagi manajer HRD tersebut untuk menegakkan aturan di perusahaannya," tutur Gustaf.

Namun keterangan Apindo tidak ditelan mentah-mentah oleh para hakim konstitusi. Seperti pertanyaan hakim konstitusi Saldi Isra yang meminta Apindo menajamkan fakta terkait kasus yang diperkarakan.

"Bisa nggak Apindo memberikan data empiris kepada kami yang membuktikan sebetulnya bahwa orang yang bekerja dalam status hubungan suami-istri dalam perusahaan yang sama itu lebih banyak negatifnya dibanding positifnya?" tanya Saldi.

Demikian juga dengan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna, yang masih menyangsikan argumen Apindo. "Itu hanya berdasarkan asumsi ataukah ada satu hasil riset? Kalau ada hasil riset, akan bagus itu. Ataukah ini hanya kompromi antara pihak perusahaan atau pengusaha dan serikat pekerja atau serikat buruh ketika pembahasan undang-undang ini," tanya Palguna.

Ketua MK Arief Hidayat juga tidak puas dengan jawaban perwakilan pengusaha soal larangan itu. Arief meminta perbandingan dengan negara lain dalam permasalahan serupa.

"Saya tahu persis perusahaan-perusahaan yang sudah bagus itu, misalnya di Jepang. Jepang malah hubungan kekerabatan di satu perusahaan itu sangat dipentingkan," kata Arief sebagaimana dari risalah sidang yang dikutip gresnews.com, Selasa (16/5).

"Misalnya di Jepang, yang saya ketahui kayak begitu sehingga di sana malah suami-istri bekerja di satu perusahaan, mereka berprestasi dengan sebaik-baiknya, malah perusahaan itu dianggap sebagai perusahaannya sendiri, malah. Dia akhirnya juga diberi sharing saham dan sebagainya," kata Arief.

Atas perintah MK itu, Apindo akan memberikan jawaban tertulis. Sidang masih berlanjut di MK untuk mendengarkan para pihak.

BACA JUGA: