JAKARTA, GRESNEWS. COM - Wajah dunia peradilan di Indonesia masih bopeng dengan banyaknya kasus yang melibatkan penegak hukum dalam tindakan tak terpuji. Dampaknya muncul ketidakpercayaan pada sistem hukum di Indonesia.

Ketua PP Muhammadiyah Dahnil Anzar Simajuntak menyebut sistem satu atap (one roof system) yang diterapkan Mahkamah Agung membawa konsekuensi buruk bagi lembaga peradilan tersebut. Pasalnya, setelah 16 tahun sistem itu dilaksanakan sepenuhnya oleh MA, fakta menunjukkan bahwa penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan memang benar-benar terjadi, bukan lagi sekadar potensi.

"Perspektif saya tentu perspektif masyarakat. Perspektif masyarakat ketika melihat hakim atau lembaga peradilan adalah perspektif ketidakpercayaan. Ada ketidakpercayaan terhadap para wakil Tuhan. Itu yang muncul ketika kita melihat fakta," kata Dahnil, Kamis (30/3).

Pernyataan demikian disampaikan Dahnil di sela diskusi Madrasah Anti Korupsi (MAK) "Meluruskan Kembali Peradilan di Indonesia" yang digelar di Auditorium KH Ahmad Dahlan, Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng Raya 62, Jakarta, Kamis (30/3). Hadir dalam diskusi tersebut eks Ketua KY Marzuki Suparman, praktisi hukum Todung Mulya Lubis, serta Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman.

Dahnil menyebut bukti adanya penyelahgunaan kewenangan dan kekuasaan bisa dilihat dari kasus suap yang menjerat Nurhadi. Eks Sekretaris MA itu terkena kasus suap saat terjaring Operasi Tangkap Tangan KPK pada Rabu (20/4/16) lalu. Diketahui, dengan imbalan Rp500 juta, bersama panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution, Nurhadi menjanjikan penyelesaian salah satu perkara di PN Pusat kepada Doddy Aryanto Supeno.

"Bayangkan sebagian besar hakim bisa sangat tergantung pada seorang Sekjen MA. Dalam peradilan yang sekarang terkait Nurhadi, banyak fakta menunjukkan betapa luar biasa praktek peradilan kita dikendalikan oleh bandit peradilan," kata Dahnil.

Dahnil menegaskan, fakta demikian muncul sebagai dampak buruk sistem satu atap. Bagaimanapun, sistem tersebut memungkinkan MA untuk menangani berbagai persoalan, khususnya yang menyangkut manajerial serta birokrasi prosedur perkara, secara otonom tanpa pengawasan pihak luar.

Lantaran itulah demi mencegah munculnya bandit peradilan baru di kemudian hari, Dahnil mendukung adanya penguatan Komisi Yudisial. Saat ini, hal tersebut tengah diupayakan seiring adanya inisiasi DPR merevisi Undang-Undang Jabatan Hakim.

"Momentum Undang-Undang Jabatan Hakim seharusnya bisa digunakan untuk mendorong fungsi KY menjadi lebih luas lagi, terutama dalam konteks shared responsibility (berbagi tanggung jawab) antara MA dan KY," katanya.

Saat ini, tanggung jawab bersama antara MA dan KY baru sebatas pada rekrutmen calon hakim. Dahnil berharap ke depan KY bisa dilibatkan dalam kegiatan lain yang selama ini terkesan dimonopoli sepenuhnya oleh MA.

"Jangan sampai KY tidak ada bedanya dengan institusi-institusi lain yang hanya mengurus etik. Penting untuk mendorong KY agar punya kewenangan lebih terkait reformasi peradilan dan reformasi hakim. Salah satu caranya dengan melakukan revitalisasi fungsi-fungsk KY," tegas Dahnil.

REFORMASI ADMINISTRASI - Sementara itu, Marzuki Suparman menyebut revisi paket Undang-Undang peradilan-di antaranya UU Jabatan Hakim, UU MA, dan UU KY-memang memiliki pengaruh besar untuk membenahi lembaga peradilan. Namun demikian, mengingat hal tersebut membutuhkan waktu yang lama, Marzuki menyarankan agar upaya pembenahan lembaga peradilan dilakukan dengan lebih dulu melaksanakan reformasi administrasi.

"Salah satu celah penyalahgunaan wewenang di dalam lembaga peradilan adalah administrasi peradilan. Makanya, itu yang harus segera diperbaiki," kata Marzuki.

Marzuki juga mengimbau agar Kementerian Aparatur Negara bisa ikut andil memulai program ini. Terlebih dengan adanya kampanye reformasi birokrasi yang didengung-dengungkan pemerintahan Joko Widodo, Marzuki melihat hal tersebut sudah semestinya diimplementasikan juga di lembaga yudikatif.

"Mengaudit birokrasi dan prosedur-prosedur perkara, atau juga prosedur peradilan, adalah tugas aparat pemerintah. Hal itu tidak jadi soal sebab yang diaudit adalah persoalan administratif. Tidak ada kaitannya dengan penanganan perkara yang merupakan domain hakim," terang Marzuki.

Senada dengan Marzuki, Todung Mulya Lubis juga melihat persoalan administratif merupakan salah satu persoalan yang meruntuhkan citra lembaga peradilan di mata publik. Menurut advokat senior tersebut, setidaknya ada tiga persoalan yang membuat lembaga peradilan kemudian menempati peringkat ke-7 dalam konteks survei mengenai lembaga paling korup di Indonesia (versi Global Corruption 2017).

"Pertama, penanganan perkara lambat. Kedua, masyarakat sulit mengakses pengadilan. Terakhir, integritas aparatur lembaga peradilan rendah," kata Todung.

Lantaran itulah Todung pesimis jika marwah lembaga peradilan akan membaik dalam waktu cepat. "Kepercayaan publik tidak membaik sebagaimana yang kita harapkan. Padahal kepercayaan publik itulah yang dibutuhkan untuk mengembalikan marwah lembaga peradilan," katanya.

Hanya, lepas dari faktor internal yang melemahkan lembaga peradilan, Todung menjelaskan hal demikian tidak semata merupakan kesalahan oknum internal di lembaga itu sendiri. Pihak-pihak eksternal yang kerap berhubungan dan berkepentingan langsung dengan lembaga tersebut disebut Todung sebagai oknum yang juga punya andil sama besar dalam menjatuhkan citra dan marwah lembaga peradilan di mata masyarakat.

"Pekerjaan saya, advokat, merupakan profesi yang sangat signifikan melemahkan lembaga peradilan. Profesi ini sangat rentan menjadi mafia peradilan," kata Todung.

Todung menjelaskan, jumlah advokat yang demikian banyak membuat persaingan di antara advokat berlangsung ketat. Para advokat baru yang sulit bersaing dengan advokat senior terpaksa harus menghalalkan berbagai cara agar mendapat tempat sekaligus merebut pasar. Untuk itulah suap merupakan upaya paling praktis yang dapat mereka lakukan.

"Para advokat baru biasanya melakukan ini (suap-red) untuk membuktikan bahwa dia mampu memenangkan kasus-kasus litigasi yang tengah dia tangani, kata Todung.

Lepas dari mafia peradilan-baik di lingkungan internal maupun eksternal-Benny K Harman menyebut pembenahan lembaga peradilan harus dilakukan dengan dasar komitmen bersama antar-lembaga, yang dalam ini adalah DPR, MA, dan pemerintah. Tanpa komitmen bersama, Benny menilai membenahi lembaga peradilan adalah perkara yang mustahil.

"Lewat paket undang-undang DPR sudah berusaha mengembalikan lembaga peradilan pada rel yang berasaskan hukum. Tapi hasilnya memang jauh dari kata memuaskan. Perlu komitmen sungguh-sungguh antar-lembaga agar masalah-masalah di lembaga peradilan bisa diselesaikan bersama," kata Benny.

Benny juga menyebut bahwa salah satu persoalan latem yang dia temukan di lembaga peradilan berkaitan dengan komitmen atas suatu putusan. Menurutnya, banyak putusan yang sudah berkekuatan hukum namun tidak dilaksanakan oleh penegak hukum.

"Banyak putusan yang sudah inkracht berhenti di atas kertas. Dengan berbagai alasan, dia tidak bisa diimplementasikan. Dan itu terjadi di era reformasi," katanya.

Benny menyebut membenahi lembaga peradilan bukan perkara mudah. Selain butuh komitmen antar-lembaga, biaya yang dibutuhkan pun bakalan besar. Namun demikian, Benny sepakat bahwa KY harus diperkuat.

"KY harus diperkuat agar lembaga peradilan lebih akuntabel dan kredibel," pungkasnya.

PANDANGAN IKAHI - Bahwa sistem shared responsibility yang ditawarkan KY diapresiasi banyak pihak, hal demikian tidak berlaku bagi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI).

Sebelumnya, Ketua Umum PP Ikahi Suhadi menyebut bahwa lewat sistem shared responsibility, KY seolah ingin mengambil-alih sebagian kewenangan yang menjadi domain MA.

"Ada keinginan dari lembaga tertentu, yakni KY, yang ingin mengambil masalah organisasi administrasi serta finansial dari badan peradilan untuk dikelola oleh badan lain, yakni KY, yang istilah mereka, share responsibility. Jadi minta untuk berbagi tanggung jawab dalam bahasa mereka," kata Suhadi seusai bertemu Jokowi pertemuan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (27/3).

Menanggapi hal itu, Marzuki Suparman menilai apa yang disampaikan Suhadi sudah melampaui kapasitas IKAHI sebagai lembaga profesi.

"IKAHI itu kan ikatan hakim, artinya organisasi profesi. Harusnya dia bertugas menguatkan aparat-aparat kehakiman, serta memperjuangkan kesejahteraannya. Jadi itu (mempersoalkan konsep shared responsibility-red) menurut saya sudah kebablasan. Itu urusan MA," kata Marzuki.

Terakhir, Marzuki menekankan, upaya menguatkan KY harus dilihat sebagai upaya menguatkan MA. Keduanya tidak bisa dilihat secara parsial seolah dua kutub berseberangan.

"Jadi jangan dipisah-pisah. Menguatkan KY berarti menguatkan MA. Karena kalau MA bisa dikuatkan, Public Trust akan muncul. Jadi memang ada upaya KY diperkuat, diberi kewenangan yang bisa menunjang MA dalam rangka membuat MA lebih cepat lagi membangkitkan Public Trust," pungkasnya.

Lepas dari pendapat Marzuki, Wakil Direktur Madrasah Anti Korupsi PP Muhammadiyah, Virgo, menyebut gagasan diubahnya sistem satu atap (one roof system) menjadi pembagian tanggung jawab (shared responsibility) jangan sampai ditafsirkan sebagai upaya mengambil ahli peran dan kewenangan MA.

"Tidak ada perampokan kewenangan. Yang ada adalah pembagian peran dan tanggung jawab agar lembaga peradilan ke depan lebih akuntabel. Kewenangan pokok (memeriksa, mengadili, dan memutus perkara--red) tetap ada pada MA," kata Virgo, Kamis (30/3). (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: