JAKARTA, GRESNEWS.COM – Mantan petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro telah resmi menyandang status tersangka kasus korupsi seiring dengan pengumuman yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa hari lalu. Eddy disangka turut memberi suap terkait pengajuan perkara Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Status tersangka Eddy Sindoro sebenarnya sudah diketahui sejak 21 November 2016 lalu melalui surat tuntutan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Jaksa, dalam surat tuntutan itu menyita barang bukti berupa alat penyimpan data elektronik atau flashdisk untuk perkara lain atas nama Eddy Sindoro.

Ketua KPK Laode Muhamad Syarif ketika itu membenarkan status tersangka tersebut. "Itu kan kemarin sudah dikatakan di persidangan ya. Karena sudah dikatakan bahwa sebagian yang disita itu adalah untuk dijadikan alat bukti kasus yang lain," kata Syarif 22 November lalu.

Namun baru sebulan setelahnya, status tersangka Eddy Sindoro diumumkan secara resmi oleh Juru Bicara KPK Febri Diansyah. Menurut Febri, sangkaan yang dikenakan kepada Eddy Sindoro adalah Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b, atau Pasal 13 UU Tipikor Juncto Pasal 64, Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana.

"ESI sebagai tersangka diduga memberikan hadiah atau janji tekrait pengurusan perkara pengajuan PK di PN Jakpus," kata Febri di kantornya, Jumat lalu.

Kasus ini, kata Febri merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK beberapa waktu lalu terhadap Doddy Aryanto Supeno serta Edy Nasution. Dalam penangkapan tersebut KPK menyita uang Rp50 juta di Hotel Accacia, Jakarta Pusat.

"Sudah divonis di tingkat pertama masing-masing 4 tahun dan 150 juta subsider 3 bulan untuk DAS dan vonis 5,5 tahun dan denda 150 juta subsider 2 bulan untuk EN karena terbukti mengurus perkara di PN Jakpus," terang Febri.
BEDA PERLAKUAN? - Penanganan perkara terhadap Eddy Sindoro ini tampak berbeda dengan beberapa kasus korupsi yang dikerjakan KPK. Pertama mengenai status tersangka yang terlampau lama diumumkan. Seperti dikemukakan diatas, status tersangka Eddy Sindoro diketahui melalui surat tuntutan Edy Nasution yang dibacakan 21 November, tetapi pengumuman resmi baru pada 22 Desember 2016.

Selain itu mengenai pemeriksaan para saksi, KPK juga tidak mempublikasikannya seperti perkara lain. Saat dihubungi gresnews.com, Febri mengaku telah memeriksa belasan orang yang terkait dalam perkara ini. Mereka terdiri dari beberapa unsur mulai dari petinggi perusahaan, hingga lembaga peradilan.

"Sejauh ini telah dilakukan pemeriksaan terhadap lebih dari 15 saksi. Dan akan ada pemeriksaan lebih lanjut terhadap sejumlah pihak jika keterangannya dibutuhkan untuk perkara ini. Saksi2 yang telah diperiksa berasal dari berbagai berlatar belakang, yaitu Karyawan Swasta, PNS/Juru Sita di MA dan PN, Panitera Muda, Direktur Utama, dan Advokat," kata Febri, Senin (26/12).

Febri pun memberikan alasan ada kesan tertutupnya penanganan perkara ini. Menurutnya tidak semua proses penyidikan dalam diungkap kepada publik. KPK, kata Febri mempunyai strategi dalam menangani setiap perkara yang mempunyai tingkat kesulitan berbeda.

"Ada yang disebut strategi penyidikan. Masing-masing perkara punya karakter. Namun pada prinsipnya semua dilakukan dengan memperhatikan hukum acara dan standar yang sama. Secara utuh informasi akan dikonstruksikan dalam dakwaan dan semua yang relevan akan dibuka di persidangan," tuturnya.

Saat ditanya apakah ada petinggi Lippo Group yang ikut diperiksa dalam perkara ini, Febri tidak membantah dan tidak membenarkan. "Saya harus cek satu persatu nama saksi yang diperiksa," imbuhnya.

Febri menampik jika tidak tercantumnya jadwal pemeriksaan atas nama Eddy Sindoro agar saham Lippro Group tidak anjlok. Menurutnya, KPK sama sekali tidak berurusan dengan hal tersebut karena merupakan lembaga independen yang menangani kasus korupsi.

"Tentu saja tidak seperti itu. Penyidik fokus sesuai tugas dan kewenangan yang ada. Untuk tersangka ESI baru kami umumkan Jumat lalu, dan terus diperdalam," jelasnya.

Dihubungi terpisah, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana Indriyanto Seno Adjo berpendapat jika KPK tentunya mempunyai berbagai pertimbangan untuk tidak mempublikasi kasus Eddy Sindoro termasuk lambatnya pengumuman status tersangka dan juga pemeriksaan para saksi yang tidak diumumkan.

"Saat tahap penyelidikan ke penyidikan dipastikan ada pemeriksaan saksi sehingga penetapan tersangka memang sudah ada begitu masuk awal proses penyidikan walau diumumkan resmi kemudian, karena berbagai pertimbangan, misal tidak diketahui keberadaannya atau in absensia atau dinyatakan DPO. Jadi memang ada pertimbangan strategis untuk diumumkan kemudian," kata Indriyanto kepada gresnews.com.

Sedangkan mengenai tidak dipublikasikannya pemeriksaan saksi, menurut Indriyanto hal itu merupakan salah satu strategi dalam proses penyidikan. Mantan pimpinan KPK ini sependapat dengan bekas bawahannya yaitu Febri yang menyatakan setiap perkara mempunyai kriteria masing-masing.

Menurut Indriyanto, tidak diungkapnya pemeriksaan saksi diperbolehkan dengan beberapa alasan salah satunya melindungi saksi itu sendiri. Apalagi, Eddy Sindoro disebut merupakan salah satu mantan petinggi Lippo Group dan kasus suapnya berkaitan dengan perusahaan besar yang digawangi James Riady itu.

"Iya physical protection of witness (melindungi saksi secara fisik). Apalagi kalau membahayakan korporasi, kadang dan seharusnya jadwal akan berubah bagi kepentingan lembaga. Ingat supir Nurhadi, yang sampai sekarang tidak bisa ditemukan?" jelas Indriyanto.

Eddy Sindoro saat ini memang belum berhasil ditemukan oleh KPK. Semenjak perkara ini mencuat, Eddy tidak pernah hadir dalam beberapa pemanggilan yang dilakukan saat dirinya masih menjadi saksi. Sama halnya dengan Royani, supir dari mantan Sekertaris MA Nurhadi yang hingga sekarang masih belum jelas keberadaannya.
PERAN EDDY SINDORO - Dalam surat dakwaan Doddy Aryanto Supeno, peran Eddy Sindoro terlihat cukup jelas. Jaksa Penuntut Umum KPK menjelaskan secara rinci mengenai pemberian suap tersebut dan untuk apa terjadinya pemberian suap. Selain itu, jaksa juga membeberkan cara-cara yang dilakukan oleh para pengusaha untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan dengan menyuap Edy Nasution.

Jumlah uang suap pertama adalah Rp150 juta dari dua termin perkara. Pertama Rp100 juta penundaan aanmaning perkara Niaga antara PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dengan PT Kymco. Aanmaning adalah tindakan peringatan dalam hukum perdata yang dalam arti singkatnya yaitu tindakan atau upaya yang dilakukan Ketua Pengadilan berupa teguran kepada pihak yang kalah dalam perkara agar melaksanakan putusan dengan sukarela.

Bahwa berdasarkan Putusan Singapore Internasional Abitration Centre (SIAC) dalam perkara Nomor 62 Tahun 2013 tertanggal 1 Juli 2013, ARB No. 178 Tahun 2010 PT MTP dinyatakan wanprestasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT Kymco sebesar US$11,1 juta.

Terhadap putusan SIAC tersebut PT MTP belum melaksanakan kewajibannya, sehingga PT Kymco pada 24 Desember 2013 mendaftarkan putusan tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar putusan tersebut dapat dieksekusi di Indonesia.

"Atas pendaftaran itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa Putusan SIAC dapat dilakukan eksekusi di Negara Kesatuan Republik Indonesia," terang Jaksa KPK Gina Saraswati.

Menindaklanjuti hal itu,, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melakukan pemanggilan aanmaning kepada PT MTP melalui Pengadilan Negeri Tangerang agar PT MTP hadir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 1 September 2015, namun PT MTP tidak hadir.

Selanjutnya PN Jakarta Pusat kembali melakukan pemanggilan kepada PT MTP untuk hadir pada tanggal 22 Desember 2015. "Mengetahui adanya panggilan aanmaning tersebut, Eddy Sindoro memerintahkan Wresti Kristia Hesti untuk mengupayakan penundaan aanmaning," ujar Jaksa.

Menindaklanjuti perintah itu, pada 14 Desember 2015 Wresti menemui Edy Nasution di kantornya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan meminta penundaan aanmaning PT MTP. Edy pun menyetujui menunda proses aanmaning sampai dengan bulan Januari 2016, dengan imbalan uang sebesar Rp100 juta.

"Selanjutnya Wresti melaporkan kepada Eddy Sindoro bahwa proses aanmaning dapat ditunda sampai dengan bulan Januari 2016 dan untuk itu Edy Nasution meminta imbalan uang sebesar Rp100 juta, kemudian meminta persetujuan Eddy Sindoro bahwa uang akan diminta dari Hery Soegiarto dan Eddy Sindoro menyetujuinya," pungkas Jaksa.

Pada 15 Desember 2015 Wresti menghubungi Hery Soegiarto untuk meminta uang sebesar Rp100 juta. Selanjutnya Wresto menyuruh Wawas Sulistiawan untuk mengambil uang tersebut sekaligus menyerahkannya kepada terdakwa untuk diserahkan kepada Edy Nasution.

Setelah menerima uang dari Wawan terdakwa pada tanggal 18 Desember 2015 melakukan pertemuan dengan Edy Nasution di Basemen Hotel Acacia, Senen, Jakarta Pusat, dalam pertemuan tersebut terdakwa menyerahkan uang sebesar Rp100 juta.

Berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor: 214/Pdt.Sus-Pailit/2013 tanggal 31 Juli 2013, PT AAL dinyatakan pailit dan putusan mana telah diberitahukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada PT AAL pada 7 Agustus 2015.

Atas putusan kasasi tersebut, sampai dengan batas waktu 180 hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 Ayat (2) UndangUndang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan, PT AAL tidak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali.

"Namun untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang sedang ada perkara di Hongkong, Eddy Sindoro pada pertengahan bulan Februari 2016 memerintahkan Wresti mengupayakan pengajuan Peninjauan Kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," kata Jaksa KPK lain, Joko Hermawan.

Menindaklanjuti perintah tersebut, pada 16 Februari 2016 Wresti kembali menemui Edy Nasution di Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk meminta agar menerima pendaftaran PK PT AAL meskipun waktu pendaftarannya sudah melewati batas waktu.

Atas permintaan dimaksud Edy awalnya tidak bersedia dengan alasan waktu pengajuan PK sudah lewat, sehingga Wresti menawarkan akan memberikan sejumlah uang sebagai imbalannya dan disetujui oleh Edy.

"Selanjutnya Wresti melaporkan kepada Eddy Sindoro, dimana Eddy Sindoro menyetujui dan menyampaikan uang akan disediakan oleh Ervan Adi Nugroho," terang Jaksa Joko.

BACA JUGA: