JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tidak semua penanganan kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berjalan mulus. Selain sering adanya perlawanan melalui praperadilan, KPK juga kerap disulitkan dengan sikap para tersangka yang tidak kooperatif, bahkan sampai ada yang melarikan diri hingga ke luar negeri.

Setidaknya hingga saat ini ada dua tersangka KPK yang buron keluar negeri. Pertama, mantan petinggi Lippo Group Eddy Sindoro yang terjerat kasus suap penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan kedua, bos PT Melati Technofo Indonesia (MTI) Fahmi Darmawansyah.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana Indriyanto Seno Adji mengatakan aparat penegak hukum termasuk KPK mempunyai beberapa pilihan untuk meminta para buronan itu kembali ke Indonesia. Pertama, dengan menunggu dan memberi imbauan kepada pihak yang bersangkutan termasuk keluarganya; dan kedua, melakukan upaya paksa mengembalikan ke Indonesia.

"Kalau Daftar Pencarian Orang (DPO) diketahui negara yang tertuju, KPK melakukan kontak dengan negara yang berdasarkan Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLA)," kata Indriyanto kepada gresnews.com, Selasa, (20/12).

Pada 10 September 2012 lalu, KPK bersama beberapa negara ASEAN mempererat kerjasama antar negara untuk mempersempit ruang koruptor. Kerjasama yang disebut SEA-PAC merupakan kelompok lembaga antikorupsi di negara-negara Asia Tenggara, yaitu Anti-Corruption Bureau (ACB) Brunei Darussalam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indonesia, Malaysian Anti-Corruption Commission (MACC), Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura, Anti-Corruption Unit (ACU) Kamboja, Office of the Ombudsman (OMB) Filipina, National Anti-Corruption Commission (NACC) Thailand, Government Inspectorate Vietnam (GIV); dan State Inspection Authority (SIA) Laos. Mereka memiliki kesamaan misi yakni memerangi tindak pidana korupsi yang beroperasi secara lintas negara.

Melalui kerja sama SEAPAC, para negara dapat melakukan pertukaran informasi dan data, investigasi bersama, pelacakan aset, pertukaran barang bukti dan saksi, proses bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana (MLA), hingga dukungan untuk percepatan proses pengembalian buron.

Salah satu contohnya melalui mekanisme MLA dan atas bantuan lembaga-lembaga penegak hukum setempat, proses pengejaran dan pengembalian buronan antaranggota SEA-PAC yang termasuk jarang dan sulit dilakukan, berhasil mengembalikan beberapa tersangka buron KPK dari negara di Asia Tenggara melalui upaya luar biasa.

MACC dan NACC juga pernah membantu upaya pengejaran tersangka buronan KPK yang melarikan diri ke Malaysia dan Thailand. Selain itu, terkait pertukaran saksi, KPK pernah mengirimkan saksi warga negara Indonesia ke Brunei Darussalam, Singapura dan Malaysia. Sebaliknya, KPK menerima bantuan terkait pemeriksaan saksi di Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura, baik terhadap warga negara sendiri maupun warga negara setempat.

Terkait upaya paksa untuk mengembalikan para koruptor ini Indroyanto menjelaskan cara lainnya yaitu bekerjasama dengan Mabes Polri. Korps Bhayangkara ini bisa mengontak Interpol Internasional melalui larangan bepergian (Red Notice) di hampir 97 negara di dunia untuk menangkap atau menyerahkan kembali buronan itu ke Indonesia.

"Seharusnya tidak terlalu sulit dan akan mudah diketahui keberadaannya, kecuali DPO mengganti identitas dan menggunakan paspor palsu," terang mantan pimpinan KPK ini.

PASRAH DAN MENUNGGU - Sementara itu, saat dikonfirmasi gresnews.com mengenai hal ini, Juru Bicara KPK Febri Diansyah tidak bisa menjelaskan secara rinci bagaimana langkah yang dilakukan terkait dua tersangka yang tengah buron keluar negeri. Pihaknya saat ini hanya menunggu niat baik keduanya untuk kembali ke Indonesia.

Febri mengakui jika tak semua tersangka bersikap kooperatif dengan pulang ke Indonesia untuk menjalankan proses hukum yang tengah dijalani. Khusus untuk Fahmi, KPK menganggap belum ada indikasi yang bersangkutan untuk kabur atau tidak kembali ke Indonesia apalagi perkara ini masih dalam hitungan hari.

"Kalau kooperatif tentu kooperatif, benar tidak semua tersangka kooperatif, kita akan menunggu dulu untuk FD (Fahmi Darmawansyah), karena kita belum dapat indikasi yang bersangkutan akan misalnya buron atau kabur atau tidak kembali namun ketika indikasi sudah diketahui kita akan melakukan tindakan yang sepatutnya soal itu," kata Febri.

Lalu bagaimana dengan Eddy Sindoro yang saat statusnya masih menjadi saksi sudah lebih dari tiga kali tidak hadir dalam pemeriksaan. Tak hanya itu, Eddy juga telah dicegah keluar negeri semenjak Mei 2016 tetapi hingga statusnya menjadi tersangka pun ia tetap enggan memenuhi panggilan tim penyidik.

Terkait hal ini Febri tidak bisa menjelaskannya. "Indikasi yang lebih paham tim yang menangani, proses sepenuhnya sedang dilakukan tim penyidikan, " pungkas Febri.

Meskipun begitu, Febri memastikan jika pihaknya tidak akan melepas begitu saja para tersangka yang melarikan keluar negeri termasuk Fahmi dan Eddy Sindoro. "Kami pastikan buron-buron yang memilih tidak kooperatif tentu akan kita temukan meskipun ada yang butuh waktu ada yang relatif cepat. Selama ini kita selalu bisa memproses hal itu," tegas mantan aktivis ini.

BACA JUGA: