JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang uji materiil mengenai "Gubernur Terpidana" kembali bergulir di Mahkamah Konstitusi. Pada sidang lanjutan yang digelar Kamis (24/11), Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis memberi keterangan sebagai saksi ahli yang dihadirkan Indrawanto Hasan. Bersama Hana Hasanah dan Fanly Katili, Indrawanto Hasan adalah warga negara perorangan yang mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam perkara ini. Selain mereka, Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu Demokrasi (Perludem), dan Badan Bantuan Hukum dan Advokasi (BBHA) PDI Perjuangan juga tercatat sebagai pihak terkait.

Dalam paparannya, Margarito menyatakan bahwa norma Pasal 7 Ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang digugat oleh Gubernur Gorontalo Rusli Habibie adalah norma yang konstitusional. Pasal 7 Ayat (2) huruf g UU Pilkada yang mengatur syarat-syarat Calon Kepala Daerah berbunyi, "Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana".

Margarito memaparkan bahwa norma tersebut, dengan alasan apa pun, tak mungkin inkonstitusional hanya karena membatasi kesempatan orang yang dipidana untuk maju sebagai Kepala Daerah. Pasalnya, frasa ‘tidak pernah sebagai terpidana’ dalam ketentuan tersebut tidak lain merupakan kualifikasi hukum atas status seseorang, dan sama sekali tidak berkaitan dengan cara-cara teknis bagaimana orang tersebut diberi hukuman.

Oleh karenanya, dampak langsung bagi siapapun yang menyandang status terpidana adalah privillage civilian-nya terbatasi. Dengan kata lain, walaupun yang bersangkutan tidak dikenakan hukuman pidana kurungan penjara, tetap saja status hukumnya adalah terpidana. Sekalipun terpidana percobaan.

Lebih jauh, Margarito menjelaskan bahwa dalam Pasal 10 KUHP hanya dikenal dua kategori hukum pidana, yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Sedang mengenai pidana percobaan, hal itu diatur dalam Pasal 14 KUHP. Dikatakan Margarito, dalam esensi dan sifatnya, norma Pasal 14 KUHP hanya mengatur persoalan jangkauan otoritas hakim saja.

"Apabila hakim hendak menjatuhkan pidana penjara yang lamanya tidak lebih dari satu tahun, maka hakim berwenang dan sah memerintahkan hukuman itu tidak usah dijalankan," katanya.

Terkait itu, Margarito menegaskan bahwa dalam konteks terpidana percobaan, hukuman telah dijatuhkan namun pelaksanaannya ditunda. Hukuman ditunda karena seiring dengan dijatuhkannya hukuman, terpidana juga diberi syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi. Barulah jika syarat-syarat tersebut dilanggar, terpidana dijebloskan ke penjara.

"Bila tidak ada hukum (syarat-syarat tertentu—red), maka tidak ada penundaan," tegasnya.

"Jadi, nalarnya, ada hukuman. Cuma dia tidak ada di dalam penjara. Dalam pandangan konstitusional, ini soal status. Status terpidana percobaan ini adalah orang terhukum sehingga hak sipilnya dikurangi. Hak-haknya dia yang dikurangi atau terbatasi itu salah satunya diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf g," kata Margarito, kepada gresnews.com.

PARADIGMA HUKUM PIDANA MODERN - Pada persidangan sebelumnya yang digelar Rabu (15/11), Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy O.S. Hiariej menilai, norma Pasal 7 Ayat (2) huruf g UU Pilkada bersifat diskriminatif. Pasalnya, dalam konteks paradigma hukum pidana modern, hukuman diberikan dengan berorientasi pada keadilan korektif, rehabilitatif, dan restoratif. Sedang sebelumnya, hukum pidana lebih berorientasi pada keadilan retributif, yakni hukuman diberikan sebagai sarana balas dendam.

"Keadilan korektif berhubungan dengan sanksi atas kesalahan pelaku. Sedangkan keadilan rehabilitatif berkaitan dengan perbaikan terhadap pelaku agar tidak mengulangi perbuatan pidana. Sementara keadilan restoratif bertalian dengan pemulihan atas kerugian yang ditimbulkan," tutur Eddy.

Lantaran hal itu, lebih jauh Eddy menjelaskan bahwa sifat pemidanaan terhadap seorang terdakwa dapat dilihat dari pidana yang dijatuhkan. Apabila pidana yang dijatuhkan sama dengan tindak pidana yang dilakukan, berarti hakim mengutamakan keadilan retributif yakni hukuman dijatuhkan sebagai sarana balas dendam. Jika hakim menjatuhkan pidana lebih berat dari tindak pidana yang dilakukan, berarti hakim mengutamakan tujuan pidana sebagai efek jera. Akan tetapi jika hakim menjatuhkan pidana lebih ringan dari tindak pidana yang dilakukan, berarti hakim mengutamakan keadilan rehabilitatif dalam hukum pidana yang bertujuan untuk memperbaiki pelaku.

"Termasuk dalam penjatuhan pidana yang mengutamakan keadilan rehabilitatif adalah pidana percobaan," kata Eddy.

Eddy menegaskan, adanya frasa "tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap" pada Pasal 7 Ayat (2) huruf g UU Pilkada bersifat diskriminatif karena telah menyamaratakan semua tindak pidana. "Padahal secara doktrin, masing-masing tindak pidana memiliki sifat dan karakter tersendiri. Demikian pula masing-masing tindak pidana memiliki tingkat bahaya dan dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut berbeda-beda pula," katanya.

Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 71/PUU-XIV/2016 ini diajukan oleh Rusli Habibie, Gubernur Gorontalo yang pada awal bulan Agustus 2016 mendapat putusan kasasi dengan pidana 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun atas tuduhan melakukan penghinaan dan fitnah terhadap mantan Kapolda Gorontalo Budi Waseso. Rusli dianggap telah melanggar Pasal 317 Ayat (1) KUHP.

Dengan status barunya sebagai terpidana, Rusli menilai Pasal 7 Ayat (2) huruf g UU Pilkada telah membatasi hak konstitusionalnya sebagai warga negara yang masih memiliki hak untuk dipilih kembali di Pilkada 2017 nanti.

Bagi Rusli, ketentuan tersebut sangat merugikan dirinya karena memperluas ketentuan yang ada sebelumnya. Tambahan, awalnya, pada Pasal 7 huruf g UU Nomor 8 Tahun 2015 disebutkan bahwa terpidana yang tidak bisa mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah adalah terpidana yang diancam 5 tahun penjara saja. Namun dalam ketentuan baru, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016, cakupan tersebut diperluas menjadi seluruh tindak pidana, termasuk tindak pidana yang diancam percobaan penjara.

Pemberlakuan ketentuan yang berbeda dari Pilkada serentak 2015 ke Pilkada Serentak Tahun 2017 tersebut juga dianggap Rusli telah melanggar hak persamaan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Atas hal itulah Rusli meminta MK agar menyatakan ketentuan a quo inkonstitusional.

Disinggung bagaimana kondisi Rusli di tengah kontestasi Pilkada Serentak 2017 yang sudah dimulai, salah seorang kuasa hukum pemohon, Heru Widodo, menyebut bahwa kliennya masih terdaftar sebagai Calon Gubernur Gorontalo yang diusung Partai Golkar.

"Karena dalam Peraturan Pemilu yang lama masih boleh (terpidana di bawah ancaman 5 tahun penjara mencalonkan diri dalam Pilkada--red). Tapi pemohon deg-degan juga soalnya dalam UU Pilkada yang baru ini tidak boleh. Makanya UU-nya kita uji di sini," kata Heru kepada gresnews.com, Kamis (24/11). (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: