JAKARTA, GRESNEWS.COM - Untuk kesekian kalinya masa jabatan Hakim Mahkamah Konstitusi yang menjabat selama 5 tahun kembali digugat. Sejumlah pemohon tengah menanti putusan MK terkait uji materiil Pasal 22 dan Pasal 4 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, pasal tersebut telah digugat oleh tiga kelompok berbeda. Pertama, oleh seorang warga negara bernama Riyanti. Lalu oleh dua orang hakim dari kalangan Pengadilan Negeri, yakni Lilik Mulyadi dari Pengadilan Tinggi Medan dan Binsar Gultom Panjaitan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta oleh sekelompok peneliti dari Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI) atau Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas Indonesia.

Masing-masing pemohon memiliki pandangan sama bahwasanya ketentuan Pasal 22 UU MK mengenai masa jabatan hakim MK bersifat diskriminatif lantaran menimbulkan perlakuan berbeda antara Hakim Konstitusi dengan Hakim Agung pada Mahkamah Agung. Padahal, kedua lembaga kekuasaan kehakiman itu diatur oleh aturan yang sama yakni Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.

Riyanti, dalam permohonannya November tahun 2014 lalu, menyebut bahwa MK dan MA merupakan lembaga yang setara berdasarkan Putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012. "Sehingga menjadi aneh jika masa jabatan hakim pada kedua lembaga tersebut berbeda atau dibedakan," katanya.

Selain persoalan diskriminatif, alasan lain yang juga didalilkan para pemohon terkait masa jabatan hakim adalah persoalan independensi hakim. Hakim MK dinilai tidak bisa lepas dari pengaruh politis karena diangkat oleh presiden dan DPR. Para pemohon mendalilkan bahwa salah satu upaya untuk membentuk hakim yang independen adalah dengan memberi masa jabatan yang panjang.

Salah seorang peneliti CSSUI Tjip Ismail juga berpandangan serupa. Namun, Tjip mengatakan bahwa uji materiil yang ia ajukan ke MK terkait masa jabatan hakim titik tolaknya diambil dari kapasitasnya sebagai peneliti. "Kami untuk penelitian saja. Untuk bahan ajar hal ini membingungkan juga," kata Tjip saat dihubungi gresnews.com, Minggu (20/11).

Tjip menekankan bahwa sebagai pemohon ia tidak punya urusan dengan kepentingan hakim. Pernyataan itu diungkapkan Tjip karena bagaimanapun, jika dipandang sekilas, permohonan yang diajukan para pemohon terkait masa jabatan hakim ini dapat bisa disebut menguntungkan hakim.

"Terlepas dari magnet keuntungan, ini menarik karena hakim MK memutus untuk kepentingan dirinya sendiri," kata Tjip.

Tjip pun menambahkan bahwa aturan yang ada saat ini tidak memiliki kepastian hukum. Ditanya bagaimana jika permohonannya ditolak, Tjip menekankan bahwa hal terpenting telah ia lakukan. "Kami sudah bertindak menunjukkan bahwa hal ini tidak benar," pungkasnya.

PERSOALAN SESUNGGUHNYA - Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menilai mempersoalkan masa jabatan hakim bukanlah persoalan konstitusionalitas. Alasannya, baik masa jabatan Hakim MA maupun Hakim MK tidak diatur secara rigid di dalam konstitusi UUD 1945. Lantaran hal itulah persoalan jabatan hakim diserahkan kepada DPR selaku pembentuk undang-undang.

"Karena ini merupakan kebijakan pembentuk undang-undang, maka ini bukan persoalan konstitusionalitas. Saya tidak melihat adanya pertentangan yang bersifat konstitusionalitas," kata Margarito kepada gresnews.com, Minggu (19/11).

Margarito menambahkan, persoalan pendek-panjangnya masa jabatan hakim tidak ada kaitannya dengan prinsip kemerdekaan hakim. "Apakah mereka yang panjang masa jabatannya itu merdeka?" tanya Margarito.

Menurutnya, jika norma mengenai masa jabatan hakim ingin terus diuji, para pemohon lebih baik mereka cari argumentasi lain daripada terus menghubungkan masa jabatan itu dengan persoalan kemerdekaan hakim.

Margarito menyadari, dalam konteks aturan Amerika misalnya, salah satu bentuk memberikan kemerdekaan kepada hakim memang diaplikasikan dengan membiarkan masa jabatan hakim berlaku seumur hidup. Hanya, karena yang diuji di MK adalah persoalan konstitusi, membatasi masa jabatan bukanlah cara yang tepat untuk memastikan kemerdekaan atau kemandirian hakim.

"Begitu, saya tidak melihat ketentuan yang ada sekarang ini bertentangan dengan konstitusi. Karena kalau bertentangan dengan konstitusi, pasal apa yang mau dipakai sebagai batu uji?" katanya.

Senada dengan Margarito, Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Yunan Hilmy juga menyatakan bahwa merdeka atau tidak merdekanya seorang hakim hakim tidak ditentukan oleh masa jabatan, melainkan sangat ditentukan oleh integritas. "Mendalilkan bahwa kebebasan atau kemerdekaan Hakim MK tercipta dengan memberikan masa jabatan yang lebih lama, sesungguhnya adalah pemikiran yang meragukan kenegarawanan para Hakim Konstitusi," kata Yunan, saat memberikan keterangan pemerintah terkait permohonan CSSUI, beberapa waktu lalu.

Yunan menambahkan, setiap warga negara harus memiliki pemikiran positif bahwa Hakim Konstitusi mengabdi untuk kemajuan bangsa dan negara, dan akan mempunyai kemandirian bahkan jika mereka mengabdi dalam waktu yang singkat. "Dengan demikian, pemerintah menganggap dalil pemohon tidak relevan," pungkasnya.

SEGERA DIPUTUS - Pengamat konstitusi Victor Santoso Tandiasa menilai, tidak adanya kejelasan waktu mengenai pembacaan putusan MK tak lepas dari jumlah perkara yang masuk ke MK sendiri. Menurutnya, saat ini MK telah berkembang menjadi tempat menaruh harapan bagi orang-orang yang merasa terlanggar hak konstitusionalnya, sehingga beberapa putusan MK dikeluarkan atas dasar kebutuhan atau urgensi—bukan urutan registrasi nomor perkara.

"Dengan banyaknya harapan atau ekspektasi masyarakat tersebut, secara otomatis banyak pula perkara yang masuk. Persoalannya kemudian, banyaknya perkara yang masuk seiring pula dengan putusan yang harus segera diputus," kata Victor kepada gresnews.com, Senin (21/11).

Victor menambahkan, persoalan yang mesti diselesaikan MK sekarang salah satunya adalah memainkan putaran putusan. "Artinya, apakah dengan mengikuti registrasi nomor perkara, atau memang sesuai dengan kebutuhan?. Itu yang sampai sekarang belum jelas," katanya.

Ia menjelaskan bahwa di dalam UU MK tidak ada ketentuan bahwa setelah putusan setelah sidang berakhir, putusan harus segera dibacakan selambat-lambatnya dalam kurun waktu tertentu, berbeda dengan putusan di lembaga peradilan umum lainnya.

Dalam pengalamannya melakukan uji materiil undang-undang di MK, Victor menyebut bahwa perkara soal lambang negara yang ia ajukan tahun 2011 putusannya keluar setahun kemudian. Victor tidak mempersoalkan durasi setahun itu. Atau 6 bulan dalam perkaranya yang lain. Hanya menurutnya, saat MK tidak memberi kepastian mengenai waktu dibacakannya putusan, secara tidak langsung MK telah bertindak membiarkan ketidakpastian hukum berlangsung.

"Cuma masalahnya kalau kita bicara kebutuhan, apakah pencari keadilan harus menunggu selama setahun, walaupun hasilnya dikabulkan," ujarnya.

Victor pun menjelaskan bahwa saat pemohon menanti putusan, secara tidak langsung MK telah membiarkan ketidakpastian hukum berlangsung. Padahal orang datang ke MK untuk mendapat kepastian hukum tentang pemberlakuan norma, tapi kemudian MK malah memberi ketidakpastian hukum karena kapan perkara itu akan diputus, tidak jelas waktunya.

Hal tersebut seharusnya menjadi perhatian penting bagi MK agar merumuskan mekanisme terkait ditetapkannya putusan, supaya memenuhi kepastian dan keadilan.

Diminta pendapat mengenai belum dikeluarkannya putusan MK terkait masa jabatan hakim MK, Victor menilai hal itu cukup dilematis. Bisa jadi yang menjadi pertimbangan, jangan sampai nanti masyarakat melihat bahwa hakim MK terkesan ingin menguntungkan dirinya sendiri sehingga untuk memutus perkara itu membutuhkan waktu.

Dalam ilmu hukum ada satu dalil berbunyi, "Nemo judex in causa sua." Artinya, Hakim dilarang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang berkaitan dengan kepentingan dirinya. Dalam konteks masa jabatan hakim MK, secara langsung hakim MK tengah memeriksa, mengadili, dan harus memutuskan perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri.

Menanggapi dalil di atas, Victor berpandangan bahwa apa pun perkaranya, ketika perkara itu sudah menjadi kewenangan MK, hakim MK harus segera memberi putusan. "Hakim MK harus bertindak konsekuen dan konsisten, apabila itu menjadi kewenangan MK untuk mengadili, harusya MK segera memutus," katanya.

Victor pun menekankan bahwa meski berkaitan langsung dengan pribadi para hakim, entah itu dianggap menguntungkan atau merugikan para hakim, permohonan uji materiil mengenai masa jabatan hakim berkaitan erat dengan kepentingan orang banyak. Terlebih bagi mereka yang mendalilkan bahwa panjangnya masa jabatan hakim MK dapat melepaskan para hakim dari jerat kepentingan politik dalam bentuk apa pun. "Saya berharap MK bisa segera memutus perkara-perkara itu agar ada kepastian. Sehingga ke depannya kita tidak khawatir MK akan dikuasasi kepentingan-kepentingan politik," pungkasnya. (Zulkifli Songyanan)

 

 

BACA JUGA: