JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang praperadilan antara Menteri Kesehatan periode 2004-2009 Siti Fadilah Supari dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berlanjut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Persidangan kali ini mempersoalkan apakah menteri mesti bertanggungjawab soal kebijakan teknis yang diputuskan oleh pejabat dibawah menteri.

I Gede Pantja Astawa dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) selaku saksi ahli pemohon menyatakan, menteri tidak bisa diminta pertanggungjawabannya kalau terjadi kesalahan dalam pelaksanaan kebijakan pada level yang telah diberi delegasi.

"Tidak ada pertanggungjawaban tanpa ada kewenangan. Kewenangan itu kan ujungnya pertanggungjawaban. Kalau seseorang tidak ada kewenangan, bagaimana diminta pertanggungjawaban," kata I Gede Pantja Astawa saat memberikan keterangannya di PN Jakarta Selatan Jalan Ampera Raya, Rabu (12/10).

I Gede Pantja Astawa merupakan ahli hukum administrasi negara dari Universitas Padjajaran. Dia memberikan keterangan terkait posisi jabatan dan kewenangan Menteri Kesehatan (Menkes) dalam konteks hukum administrasi negara. Dan persoalan wewenang itu, terkait dengan apakah Siti Fadilah harus mempertanggungjawabkan secara hukum kesalahan kebijakan dibawahnya.

Meskipun begitu, walaupun wewenangnya telah didelegasikan, menteri tetap memiliki kewenangan administratif. Hanya saja bentuk pertanggungjawabannya juga adalah pertanggungjawaban administratif bukan tanggungjawab pidana. Menurutnya, menteri hanya memiliki kewenangan pada level kebijakan bukan pada wewenang yang telah didelegaskan kepada bawahan pada tingkat inspektorat jendral dan lainnya.

"Tetap bertanggungjawab secara administratif. Tetapi tidak bisa diminta pertanggungjawaban hukum. Kalau ada penyimpangan itu yang telah didelegasikan yang bertanggungjawab," imbuh I Gede.

ALAT BUKTI TAK KUAT - Saksi ahli lainnya, Andi Hamzah pakar hukum pidana dari Universitas Trisaksi ini mengatakan, sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka mesti diperiksa terlebih dahulu. Kalau penetapan tersangka tanpa didahului pemeriksaan berlawanan dengan prinsip praduga tak bersalah.

"Tidak ada negara yang menetapkan orang sebagai tersangka tanpa pemeriksaan dulu. Kalau membuat penatapan itu berlawanan praduga tak bersalah. Tidak boleh," ujar Andi saat menyampaikan pendapatnya di persidangan Siti Fadilah Supari di PN Jakarta Selatan.

Pemanggilan itu, kata Andi, untuk memastikan alat bukti yang dipakai untuk menetapkan seorang sebagai tersangka. Lebih jauh dia menambahkan proses penetapan tersangka itu mesti mesti diawali dengan dua bukti permulaan yang cukup. Rentetannya, setelah didapatkan peristiwa pidananya baru dicarikan dua alat bukti setelah itu baru ditetapkan sebagai tersangka. "Dua alat bukti dulu baru ditetapkan sebagai tersangka," katanya.

Kuasa hukum pemohon juga menanyakan apakah putusan pengadilan dalam perkara yang lain bisa dijadikan alat bukti dalam perkara yang lain pula? "Tidak boleh menjadi saksi untuk dirinya sendiri. Tidak bisa karena perkara yang itu kan lain, tidak sama," jawab Andi Hamzah.

Pihak pemohon yakni Siti Fadlah Supari sempat mempersoalkan dua bukti permulaan yang cukup yang dimiliki KPK saat menetapkan Siti Fadilah sebagai tersangka pada 2014 lalu. Penetapan tersangka itu didasarkan bukti dari putusan perkara Rustam S. Pakaya untuk menetapkan Siti Fadilah sebagai tersangka.

Siti Fadilah sebelum ditetapkan sebagai tersangka pada 2014 lalu tak pernah dimintai keterangan sebagai saksi. Dia baru dipanggil oleh KPK pada 30 Agustus 2016 melalui surat pemanggilan Nomor Spgl-3470/23/08/2016.

Kuasa hukum Siti Fadilah, Achmad Cholidin juga menegaskan kliennya tak bisa diminta pertanggungjawaban terkait kasus yang menjeratnya. Menurutnya, tidak ada perintah menteri terkait kasus Alkes I untuk Pusat Penanggulangan Krisis Sekretariat Jenderal Depertemen Kesehatan dari Dana Isian Pelaksana Anggaran (DIPA) revisi APBN tahun anggaran 2007.

"Iya betul, Ibu Siti tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban sepanjang dia tidak memerintahkan berdasarkan kewenangan dia sebagai menteri," ujarnya.

Dengan dasar itu, kalau pun ada pertanggungjawaban yang diminta ke Menkes era SBY itu bukan bentuk pertanggungjawaban hukum tapi pertanggungjawaban administratif. "Kalaupun ada (pertanggungjawaban), kebijakan tersebut berdasarkan aturan yang berlaku dalam arti penyimpangan dari aturan, itu hanya bersifat administratif,"pungkasnya.

BACA JUGA: