JAKARTA, GRESNEWS.COM - Terhitung sejak kepemimpinan Agus Raharjo, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak lagi terlihat menjerat para saksi yang memberikan kesaksian palsu di persidangan. Padahal dalam beberapa kasus korupsi yang ditangani KPK kali ini, ada sejumlah saksi yang tidak konsisten memberikan keterangan di persidangan dan cenderung berbeda dengan saksi lainnya.

Contohnya dalam kasus suap pembangunan jalan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Dalam persidangan terdakwa Damayanti Wisnu Putranti, Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Fathan sempat memberikan keterangan berbeda dengan saksi lainnya.

Bahkan dalam kasus suap pembahasan Raperda reklamasi di Teluk Jakarta. Direktur Utama PT Kapuk Naga Indah Budi Nurwono yang merupakan anak perusahaan PT Agung Sedayu Group sempat mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang ditandatangani sendiri.

Kemudian dalam kasus suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Presiden Direktur PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) Rudi Nanggulangi kesaksiannya terus berubah-ubah. Saat menjadi saksi untuk Doddy Aryanto Supeno ia memberikan kesaksian dan pernyataan yang  berbeda saat menjadi saksi dengan terdakwa Edy Nasution.

Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha mengatakan salah satu alasan mengapa selama ini belum lagi menjerat para saksi yang memberikan kesaksian palsu di pengadilan,  karena  pihaknya masih menunggu amar putusan hakim. "Masih  tergantung putusan hakim, saksi tersebut berkata tidak sesuai fakta atau tidak," kata Priharsa, kepada gresnews.com. Senin (10/10).

Selain itu, menjerat para saksi dengan keterangan palsu juga bisa dilakukan dengan cara lain. "Atau misalnya perintah hakim bilang kalau kesaksiannya itu tidak sesuai fakta," tuturnya.

KESAKSIAN BERBEDA DIRUT PT KNI - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi sempat dibuat geram oleh ulah sejumlah saksi yang dihadirkan dalam sejumlah sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.  Antara lain oleh kesaksian Direktur Utama PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) Rudi Nanggulangi yang dihadirkan dalam persidangan terdakwa Edy Nasution terkait kasus penyuapan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.  

Dalam kesaksiannya Rudi  tidak mengakui pemberikan uang Rp100 juta untuk penundaan aanmaning (pemberian peringatan kepada tergugat untuk melaksanakan putusan pengadilan).  Padahal sebelumnya ia telah mengiyakan pemberian uang tersebut. Hingga jaksa pun harus mencecarnya.

"Saudara sudah disumpah ya, keterangan yang minggu lalu masih melekat sampai sekarang. Yang benar gimana?" tanya Jaksa Dzakiyul yang terlihat geram atas keterangan Rudi. Meskipun begitu Rudi tetap tak bergeming. "Untuk konsultasi Pak," jawab Rudi.

Ia berdalih jika uang tersebut digunakan untuk investasi kelapa sawit di Palembang. Tetapi saat ditanya mengenai pengeluaran secara rinci, Rudi tidak bisa menjelaskannya. "Itu untuk‎ investasi sawit," jawab Rudi keukeuh, Rabu (5/10).

Sedangkan pada persidangan 28 September lalu, Rudi awalnya memang membantah meminta kepada pegawai legal PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti agar aanmaning ditunda. Meskipun begitu, ia mengakui jika meminta ia mengakui permintaan tersebut agar aanmaning tidak terjadi.

"Saya bilang ke Wresti saya gak bisa hadir tolong diurus cari lawyer. Soal pending saya gak ngomong. Ya diurus jangan sampai terlaksana," kata Rudi pada persidangan 28 September 2016 lalu.

PT MTP memang tengah bersengketa dengan PT Kymco, dalam putusannya di Pengadilan Arbitrase Singapura, PT MTP dinyatakan wanprestrasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT Kymco sebesar US$11,1 juta.

Karena PT MTP tidak juga melaksanakan kewajibannya, PT Kymco mendaftarkan putusan itu di PN Jakpus, agar putusan arbitrase dapat dieksekusi di Indonesia. Menindaklanjuti hal itu, PN Jakpus kemudian mengajukan aanmaning, atau pemanggilan terhadap PT MTP, pada 1 September 2015 dan 22 Desember 2015. Mengetahui pemanggilan itu, Eddy Sindoro kemudian menugaskan Wresti untuk mengupayakan penundaan aanmaning.

Wresti kemudian bertemu Edy Nasution di Kantor PN Jakpus pada 14 Desember 2015, dan meminta dilakukan penundaan aanmaning. Namun, Eddy Sindoro dan Rudy Nanggulangi selaku Direktur Utama PT MTP tidak dapat memenuhi panggilan. Akhirnya, Eddy menugaskan Wresti untuk mengupayakan penundaan pelaksanaan aanmaning, dengan melakukan pendekatan kepada Edy Nasution. Edy Nasution kemudian menyetujui penundaan aanmaning sampai Januari 2016. Namun, ia meminta  imbalan sebesar Rp100 juta.

BOS PT KNI CABUT BAP - Sementara itu dalam kasus suap reklamasi Jaksa KPK membacakan BAP milik Direktur Utama PT Kapuk Naga Indah Budi Nurwono. Budi memang tidak bisa hadir dipersidangan karena alasan sedang menjalani perawatan kesehatan di luar negeri.

Dalam BAP nomor 18, Budi mengatakan bahwa pada Januari 2016, telah terjadi pertemuan di kediaman Aguan, di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara yang dihadiri Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Arisman Widjaja, anggota DPRD DKI Mohamad Sanusi, dan beberapa anggota dewan lainnya.

Menurut Budi, dalam pertemuan itu dibahas mengenai percepatan pengesahan RTRKSP di DPRD DKI Jakarta. "Untuk percepatan, agar menyiapkan Rp50 miliar. Aguan menyanggupi untuk anggota DPRD, lalu Aguan bersalaman dengan semua yang hadir," ujar Jaksa Ali Fikri saat membacakan BAP Budi Nurwono di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (3/8).

Selanjutnya pada BAP nomor 97, Budi menyatakan ia tidak mengenali siapa orang yang meminta langsung uang sebesar Rp50 miliar kepada Aguan. Meskipun begitu karena yang hadir saat itu hanya anggota DPRD dan pihak pengembang, maka kemungkinan besar permintaan datang dari pihak anggota DPRD DKI.

"Maka mungkin dari pihak DPRD DKI, yang menyanggupi Aguan, dalam rangka kelancaran sidang paripurna RTRKSP. Sudah dikasih atau belum, saya tidak tahu," ujar Jaksa Ali membacakan keterangan Budi kembali.

Namun belakangan Budi mencabut keterangannya. Tetapi Jaksa KPK dalam tuntutannya menolak pencabutan BAP itu karena dianggap tidak mempunyai alasan yuridis. Hal ini diperkuat dengan putusan hakim yang menolak pencabutan keterangan Budi di BAP yang ditandatanganinya.


DAMAYANTI LURUSKAN KESAKSIAN FATHAN - Dalam kasus korupsi di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan terdakwa anggota Komisi V DPR RI Damayanti Wisnu Putranti, Jaksa KPK menghadirkan Fathan Subchi yang tak lain adalah koleganya di parlemen.

Dalam persidangan Fathan mengatakan hanya mengikuti pertemuan di Hotel Ambhara, Jakarta Selatan termasuk beberapa anggota Komisi V dengan Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara, Amran HI Mustary hanya satu kali saja.

Selain itu, pertemuan tersebut juga atas undangan Damayanti. "Pertemuan di sekitar Blok M. Itu kami diundang Mbak Yanti (Damayanti) untuk ngobrol, lalu kami dikenalkan dengan Amran," ujar Fathan," kata Fathan 9 Mei 2016 lalu.

Selain itu, pertemuan juga sama sekali tidak membahas mengenai dana aspirasi karena hanya sebatas ajang silaturrahmi. "Yang saya tahu, kami cuma ngobrol ringan-ringan saja," ujar Fathan.

Namun pernyataan itu dibantah keras oleh Damayanti. Menurutnya, pertemuan tersebut tidak hanya berlangsung satu kali. Hal itu bisa dibuktikan dari bukti kamera pengawas (CCTV) yang ada di Hotel Ambhara serta dari keterangan anggota DPR lain Budi Supriyanto.

"Pertemuan di Ambhara itu tidak hanya satu kali, CCTV juga mengatakan demikian, Pak Budi Suprianto (Fraksi Golkar) juga bilang ada beberapa kali," ujar Damayanti.

Damayanti juga menampik keterangan Fathan perihal pertemuan itu atas undangan dirinya. Anggota Fraksi PDI Perjuangan itu berpendapat, ia dan Fathan bersama beberapa anggota Komisi V DPR lainnya melakukan pertemuan lebih dulu di ruang kerjanya di ruang 621 Gedung DPR Senayan.

Setelah pertemuan itu, semua sepakat untuk memenuhi undangan Amran untuk berkumpul dan membicarakan usulan program aspirasi di Maluku. "Kami sama-sama terima undangan Pak Amran untuk sama-sama mengusulkan aspirasi di Maluku. Jadi, sebelum ke Ambara, kami kumpul di ruangan saya," kata Damayanti.

Tak hanya itu, Damayanti juga membantah kalau pertemuan itu hanya sebagai ajang silaturrahmi. Menurutnya dalam pertemuan itu Kepala Seksi Perencanaan BPJN IX Octo Veri Silitonga menyerahkan kepada Amran judul program aspirasi di BPJN IX Maluku, lengkap dengan nama anggota Komisi V yang mengusulkan program.

"Ada nama saya, Fathan, Alamuddin Dimyati Rois (PKB), dan Budi Supriyanto. Saya minta Fery (staf Damayanti) mencatat, tapi Panjenengan (Fathan) bilang diketik saja," beber wanita politisi PDI P ini.

BACA JUGA: