JAKARTA, GRESNEWS.COM - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, terbitnya Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional telah menghambat kinerja penegak hukum baik kejaksaan maupun kepolisian. Pasalnya, Inpres yang juga dikenal dengan nama inpres anti kriminalisasi itu membuat penegak aparat hukum ragu menyidik kasus korupsi terkait kebijakan pembangunan.

"Akibat yang terjadi, penegak hukum mulai menunda mengungkap status kasus atau status tersangka pada publik," papar Peneliti ICW Wana Alamsyah dalam catatan Kinerja Penanganan Kasus Korupsi Semester I 2016, Minggu (28/9).

Dampaknya, menurut Wana, kinerja aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi pada semester I ini 2016 melorot. Sekitar 82,8 persen kasus korupsi tidak jelas perkembangannya selama kurun waktu 2010 hingga 2015. Catatan ICW menyebutkan, selama kurun waktu 2010 hingga 2015 ada 911 kasus korupsi yang masih tetap berada di tahap penyidikan oleh penegak hukum, baik kejaksaan, kepolisian dan KPK.

Dari total kasus tersebut, jumlah terbanyak berada di kejaksaan sebanyak 639 kasus. Di urutan kedua ada kepolisian dengan 246 kasus dan KPK sebanyak 26 kasus. Dari jumlah itu, hingga tahu 2016 ini, hanya 156 kasus yang naik ke penuntutan. Sedangkan sisanya, 755 kasus masih mangkrak. Tunggakan kasus terbesar ada di Kejaksaan sebanyak 527 kasus. Sementara Kepolisian menunggak 211 kasus, dan KPK 17 kasus.

Terkait kerugian negara, kejaksaan menangani 133 kasus dengan kerugian negara sebesar Rp473 miliar dan nilai suap Rp14 miliar. Sementara kepolisian 59 kasus dengan kerugian negara Rp252,5 miliar. KPK tercatat menangani 18 kasus dengan kerugian negara Rp164 miliar dan nilai suap Rp28 miliar, Sin$1,6 juta, dan US$72 ribu.

ICW menyebut ada dua poin dalam Inpres tersebut yang dapat menghambat penyelidikan. Pertama, jika melibatkan pejabat harus melapor terlebih dahulu ke pimpinan terkait. Hal ini menurut ICW, berpotensi tindak pidana korupsi diselesaikan secara "adat" atau internal. Kedua, adanya poin untuk tidak mempublikasikan ke publik. Ini menghambat pemantauan yang dapat dilakukan masyarakat.

Menanggapi hasil kajian ICW itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung M Rum membantah banyaknya tunggakan kasus korupsi, khususnya di lembaganya terjadi karena terbitnya Inpres No.1/2016. Dia menegaskan, lewat Inpres itu, Presiden Joko Widodo memang memerintahkan aparat penegak hukum tidak memidanakan kepala daerah terkait kebijakan yang dibuatnya.

Namun, perintah itu tidak serta-merta membuat kejaksaan agung ragu untuk menyidik kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah. Menurut Rum, terkait inpres tersebut, kejagung sudah membentuk Tim Pengawal dan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan (TP4). Dengan adanya tim tersebut, kepala daerah bisa berdiskusi soal aspek hukum sehingga dalam melaksanakan kebijakan, kepala daerah tidak terjerat masalah hukum.

"Pembentukan tim itu sebagai respons atas terbitnya inpres tersebut, tetapi ini tidak ada kaitannya dengan penanganan perkara. Kan kita lagi ngomongin anggaran yang terserap optimal, supaya bermanfaat bagi masyarakat, supaya masyarakat tidak rugi. Karena muncul ketakutan (kepala daerah), tim arahkan ke yang benar bukan diarahkan ke yang salah," kata Rum di Kejaksaan Agung, Senin (29/8).

Saat ini TP4 yang dicanangkan Kejaksaan Agung masih terus bekerja memberikan berbagai masukan kepada kepala daerah. Kejaksaan telah melakukan sosialisasi dan pendampingan hukum kepada pemerintah baik di pusat maupun daerah agar tidak terjerat korupsi.

Rum juga menyebut tudingan ratusan kasus mangkrak di Kejaksaan perlu diperjelas. Apakah kasus tersebut mangkrak menahun atau dalam proses penyidikan. Rum mengatakan, jumlah ratusan kasus yang belum naik ke penuntutan bisa disebabkan banyak faktor.

Itu bisa terkait dengan waktu pembuktian, seperti menunggu hasil audit untuk mengetahui kerugian negaranya. "Itu kan ICW belum bikin klarifikasinya, dia hanya bilang ini semua tunggakan, padahal nggak begitu," kata Rum.

NOL TUNGGAKAN PERKARA - Rum mengakui, memang cukup banyak kasus yang mangkrak di Kejaksaan Agung. Makanya saat ini Jaksa Agung Muda Pidana Khusus tengah melakukan program yang disebut zero outstanding. Seluruh perkara korupsi menahun akan dilihat kembali. Bisa dihentikan atau lanjut ke persidangan.

Rum mencontohkan salah satu kasus mangkrak yang dilanjutkan ke penyidikan adalah dugaan korupsi pengadaan kapal kayu di Pemprov Banten. Disidik pada 2013 silam, baru dilimpahkan ke penyidikan Agustus 2016.

Kejaksaan Agung masih mengkaji sejumlah kasus mangkrak di Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung mengaku tak ingin menggantung kasus-kasus korupsi menahun di Gedung Bundar. Jika cukup bukti akan dimajukan ke pengadilan, bila tidak akan dihentikan.

Jaksa Agung M Prasetyo sebelumnya menegaskan jika semua perkara korupsi harus ada penyelesaiannya. "Kami tidak mau menggantung perkara. Kita sedang kerja keras untuk zero outstanding itu. Kita semua tidak mau menggantung perkara," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jumat (5/8).

Menurut Prasetyo dirinya tak ingin terbebani dengan kasus-kasus lama tersebut. Ditegaskannya, semua perkara yang ditangani harus ada penyelesaiannya. Apakah lanjut ke pengadilan karena cukup bukti atau dihentikan karena tidak cukup bukti.

DERETAN KASUS MANGKRAK - Dari data yang dihimpun gresnews.com, terungkap sejumlah kasus yang bisa disebut mangkrak di Kejaksaan Agung, yaitu kasus yang telah disidik lebih dari setahun, namun penyidik belum juga menetapkan tesangkanya apalagi dibawa di persidangan. Diantaranya adalah kasus penjualan cessie PT Victoria Securities International.

Dalam perkara ini, ada empat orang telah dikenakan pencekalan. Pemilik PT Bank Panin Mukmin Ali Gunawan juga telah diperiksa. Namun saat ini belum satupun dari para pihak itu yang ditetapkan sebagai tersangka.

Kemudian ada juga kasus manipulasi restitusi pajak oleh PT Mobile-8. CEO MNC Grup Harry Tanoesoedibjo juga telah diperiksa. Namun kasus ini juga belum ada tersangka.

Lalu kasus dugaan Papa Minta Saham yang terkait perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia. Dalam kasus Freeport, Kejaksaan telah meminta keterangan (ketika itu) kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin serta Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Namun kasus ini juga tak jelas penyelesaiannya.

Kasus yang lebih lama lagi adalah kasus Bank Mandiri dengan debitor PT Lativi Media Karya. Tiga tersangka yakni Abdul Latief, Hasyim Sumiana dan Usman Dja’far tak tersentuh.

Lalu kasus pembobolan dana Bali Tour Development Corporation (BTDC) di Bank Permata, Kenari, Jakarta Pusat, dengan tersangka Dwika Noviarti (Kepala Bank Permata Cabang Kenari) dan Direktur Keuangan BTDC Solichin. Kasus ini juga tak jelas penuntasannya.

Dalam kasus jaringan sampah di Dinas PU DKI, Kejaksaan Agung tengah menegaskan untuk tidak melanjutkan berkas perkara mantan Kepala Dinas PU DKI Jakarta Ery Basworo, padahal tersangka lain terbukti bersalah. Kemudiana ada juga kasus pembangunan BJB Tower dengan tersangka Dirut PT Comradindo Lintasnusa Perkasa Tri Wiyasa. Status Triwiyasa tak jelas setelah Pengadilan Jakarta Selatan menerima gugatan praperadilan Tri Wiyasa atas penetapan tersangka.

Kemudian kasus bioremediasi Chevron juga mangkrak. Satu tersangkanya, Alexia Tirtawidaja hingga kini masih buron. Sementara eksekusi uang pengganti sebesar Rp100 miliar baru dibayar Rp1 miliar. Namun jaksa terkesan diam saja dan tak mendesak pihak Chevron melunasi uang pengganti kerugian negara.

Terakhir, kasus penyalahgunaan frekuensi PT IM2 anak usaha PT Indosat. Saat ini masih ada empat tersangka yang berkas perkaranya belum dibawa ke pengadilan yakni Johnny Swandy Sjam, Hari Sasongko dan korporasi PT Indosat Tbk serta PT IM2 Tbk.

BACA JUGA: