JAKARTA, GRESNEWS.COM - Masalah integritas jaksa menjadi isu penting dalam peringatan hari ulang tahun kejaksaan agung atau yang dikenal dengan nama Hari Bakti Adhyaksa ke-56 yang jatuh pada hari Jumat (22/7). Presiden Joko Widodo sendiri dalam pesannya melalui akun twitter resmi miliknya @jokowi, mengungkapkan harapan agar para jaksa benar-benar menjadi profesionalisme dan integritas dalam bekerja.

"Jaksa yang jujur dan profesional idaman kita semua. Teruskan perubahan, lawan mafia kasus. Selamat Hari Bhakti Adhyaksa 2016 -Jkw," demikian cuitan Jokowi.

Hal senada juga disampaikan, Jaksa Agung HM Prasetyo. Prasetyo mengimbau jaksa memiliki sikap disiplin dan tidak melakukan tindakan tercela. "Sekali nama kita terpuruk diperlukan energi dan waktu yang lama untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat," ucap Prasetyo.

Sayangnya, untuk saat ini, harapan itu masih seperti menggantang asap. Kejaksaan Agung seperti tak putus dirundung berbagai persoalan integritas para jaksanya. Belum lagi soal penanganan kasus korupsi yang hingga saat belum ada gregetnya. Publik menunggu gebrakan Kejaksaan Agung di setengah abad usianya.

Soal integritas jaksa, setahun terakhir publik sempat tersentak atas dugaan pengamanan perkara terkait kasus korupsi bantuan sosial (bansos) yang melibatkan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho. Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus saat itu Maruli Hutagalung diduga menerima uang pengamaman sebesar Rp500 juta.

Belum usai kasus tersebut, pada 2016, jaksa Deviyanti Rochaeni dan Fahri Nurmallo tertangkap tangan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap PT Brantas Abipraya. Terakhir, kasus ini juga menyeret Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Sudung Situmorang, namun tak jelas bagaimana nasib Sudung dalam perkara ini.

Jaksa Agung M Prasetyo sendiri mengakui jika institusi yang dipimpinnya masih menghadapi banyak tantangan. Prasetyo menegaskan, jika ada jaksa yang terkena kasus, maka tidak akan mendapat ampunan dan toleransi.

"Kita sering kecewa dan sedih ketika ada yang tersandung kasus hukum baik narkoba dan korupsi. Oleh karena itu, pimpinan kita tidak akan mentoleransi bagi warga tersebut karena akan mencoreng nama martabat korps Adhyaksa. Sekali nama kita terpuruk diperlukan energi dan waktu yang lama untuk mengembalikam kepercayaan masyarakat. Penyelesaian perkara harus dilaksanakan secara konsisten dan kita harus pikirkan sanksi apa bagi siapapun yang main-main dengan perkara korban dan perkara lainnya," kata Prasetyo.

Dalam HUT Adhyaksa ini, Prasetyo juga mengimbau agar jaksa tidak melakukan tindakan tercela karena ada beberapa oknum yang tersangkut kasus. Sejak tahun 2015, ia mengatakan ada sekitar 60 jaksa dan pegawai yang tersangkut kasus narkoba, penggelapan, dan bolos kerja. Ia mengingatkan jajarannya untuk menjaga kehormatan dan profesi agar kejaksaan disenangi masyarakat.

"Sikap menahan diri dengan cara menjaga intergtiras dan menghindarkan diri agar tidak ketahuan dan agar tidak tertangkap tangan dan staregi lainnya. Sikap tegas ada beberapa jaksa dan pegawai yang tersangkut kasus," ujar Prasetyo.

MENGECEWAKAN - Sebuah jajak pendapat dari sebuah harian nasional menyebutkan, publik masih belum puas terhadap kinerja kejaksaan selama tidak kurang 7 tahun terakhir ini (November 2009-Juli 2016). Secara garis besar publik menilai kinerja kejaksaan selama ini belum memuaskan. Citra kejaksaan juga dinilai belum cukup positif, Kemudian publik juga menilai institusi kejaksaan belum mandiri dari campur tangan pihak luar (politik dan uang). Terakhir, kompetensi jaksa dalam penegakan hukum juga dinilai belum sepenuhnya baik.

Padahal pada acara Hari Adhyaksa ke–55 Presiden Joko Widodo sudah menitipkan pesan kepada kejaksaan untuk meningkatkan kinerja dalam bidang penegakan hukum. Untuk dapat mewujudkan itu, perlu dilakukan percepatan reformasi kelembagaan dari hulu sampai hilir. Jokowi menegaskan, penegakan hukum yang baik berada di tangan lembaga dan para penegak hukum yang baik pula.

Sayangnya amanat presiden yang disampaikan tahun lalu itu, hingga saat ini masih belum juga bisa terlaksana. Tak heran jika Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan catatan buruk atas kinerja kejaksaan selama ini, terutama dibawah kepemimpinan Jaksa Agung HM Prasetyo.

Anggota Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho mengatakan, saat Presiden Jokowi menunjuk dan melantik HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung pada 20 November 2014 lalu, banyak pihak yang pesimis mengenai kinerja dan reformasi Kejaksaan di masa mendatang. Latar belakang HM Prasetyo sebagai politisi menimbulkan kekhawatiran atau keraguan antara lain terkait independensi institusi kejaksaan.

Emerson mengatakan, kejaksaan rawan intervensi politik atau tersandera kepentingan politik dan loyalitas ganda. Keraguan banyak kalangan ini yang harus dijawab HM Prasetyo dengan kerja-kerja dan mempercepat agenda reformasi di kejaksaan serta tetap mengedepankan independensi institusi Kejaksaan.

"Dalam dua tahun terakhir kami melihat reformasi di kejaksaan timbul tenggelam. Kejaksaan tidak pernah secara terbuka menyampaikan capaian hasil reformasi yang sudah dilakukan," kata Emerson, Jumat (22/7).

Dia melanjutkan, hingga saat ini banyak muncul keluhan atau ketidakpuasan soal pembinaan di kejaksaan. Mulai dari rekrutmen, pendidikan untuk jaksa, mutasi, promosi dan penunjukkan pejabat struktural di Kejaksaan. Begitu juga merit system dianggap belum berjalan dengan baik.

Promosi jabatan di Kejaksaan seringkali dicurigai dilakukan tanpa ada tolak ukur yang jelas. Rekam jejak seringkali tidak digunakan untuk mempromosikan seorang jaksa. Jaksa-jaksa yang merasa berprestasi-giat memberantas korupsi tiba-tiba bisa "dilempar" atau dimutasikan. Sebaliknya, jaksa berkasus malah bisa naik jabatan. "Intervensi politik masih saja terdengar sebagai upaya menyingkirkan Jaksa yang berprestasi," kata Emerson.

PENANGANAN PERKARA KORUPSI TAK TUNTAS - Setali tiga uang dengan masalah integritas, Kejaksaan Agung juga dianggap buruk kinerjanya dalam penanganan perkara korupsi. Meski secara kuantitas jumlah perkara korupsi yang ditangani oleh kejaksaan sudah luar biasa, namun masih saja meninggalkan sejumlah catatan. Misalnya, penghentian sejumlah kasus korupsi besar. Karenanya, Emerson menantang Jaksa Agung untuk membuka kembali perkara korupsi yang dihentikan Kejaksaan.

"Minimal ada 15 perkara korupsi kakap yang dihentikan atau dipetieskan di tingkat penyelidikan dan penyidikan yang diduga melibatkan politisi, kepala daerah, obligor BLBI/swasta," ujarnya.

Kasus itu diantaranya cessie Bank Bali, penyaluran kredit Bank Mandiri terhadap beberapa perusahaan seperti PT Cipta Graha Nusantara (CGN), PT Kiani Kertas, PT Lativi Media Karya, PT Great River International, dan PT Artha Bhama Texindo.

Kemudian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ke BDNI dan BCA. Juga kasus divestasi saham PT Kaltim Prima Coal (PT KPC) sebesar Rp576 miliar. Lalu kasus Dana Mobilisasi Anggota DPRD Gorontalo, pembebasan tanah eks pabrik kertas Martapura 2002-2003.

Berikutnya ada kasus proyek optimalisasi pabrik PT Semen Baturaja, proyek pipanisasi BBM di Pulau Jawa dan JORR. Ada pula kasus penjualan dua tanker VLCC Pertamina, pemberian fasilitas kredit ke PT Texmaco, pengadaan PLTU Borang di Sumatera Selatan, dana reboisasi penanaman hutan oleh PT Musi Hutan Persada.

Lalu, kasus Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) di Kementerian Hukum dan HAM dan kasus dugaan korupsi di Kementerian Luar Negeri terkait dana operasional di KBRI Thailand dan Biaya Perjalanan Dinas.

BACA JUGA: