JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisaris Jenderal Tito Karnavian resmi menjabat sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) menggantikan Jenderal Badrodin Haiti yang memasuki purnatugas. Pelantikan Tito telah dilakukan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Rabu (13/7).

Berbagai harapan publik terhadap Polri pun kini secara resmi tersandang di pundak Tito yang pangkatnya juga langsung dinaikkan menjadi jenderal polisi. Tugas Tito yang terutama adalah melanjutkan program reformasi kepolisian, seperti yang diamanatkan langsung oleh Jokowi saat menunjukknya menjadi calon tunggal Kapolri.

Terkait hal itu, Tito sendiri di hadapan DPR, juga menegaskan, dari delapan program besar yang akan dilakukannya, yang terutama adalah reformasi internal Polri. Tito diharapkan mampu mengubah wajah Polri yang masih terlihat militeristik menjadi lebih manusiawi, terutama dalam menangani kasus-kasus kejahatan.

Pengamat kepolisian dari Universitas Indonesia Bambang Widodo Umar mengatakan, reformasi di tubuh Polri memang harus menjadi agenda utama Tito selaku Kapolri. "Reformasi itu mencakup perubahan pola pikir dan tindakan aparat kepolisian dari gaya militeristik menjadi sipil. Selain itu pembenahan sistem pengawasan terhadap jajaran perwira polisi," kata Bambang.

Hal senada juga disampaikan Koordinator Riset The Indonesia Human Right Monitor (Imparsial) Gufron Mabruri. Dia mengatakan, ada empat langkah dalam upaya mendorong polisi menjadi aparat yang profesional, tidak militeristik, dan humanis. Tito diharapkan melakukan reformasi internal yang komprehensif sedemikian rupa.

Untuk itu, kata Gufron, yang perlu dilakukan pertama kali adalah mendorong perbaikan mulai dari proses rekruitmen dan pendidikan calon anggota polisi. Kafa Gufron, pendidikan sangat fundamental sebagai ruang untuk menginternalisasikan paradigma dan pemahaman dan kesadaran akan nilai-nilai baru seperti HAM, demokrasi ke dalam tugas-tugas kepolisian.

Berbagai kasus pelarangan dan pembatasan kegiatan berekspresi yang sah seperti pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta, diskusi, pembubaran demo, dan kriminalisasi aktivis, menunjukkan Polri masih mewarisi kultur polisi di masa otoritarian.

"Pola pendidikan kepolisian harus bersifat inklusif sehingga mampu membentuk polisi yang humanis dan peka dengan dinamika perubahan sosial," kata Gufron kepada gresnews.com, Rabu (13/7).

Langkah kedua, kata Gufron, Tito juga harus mendorong penguatan mekanisme kontrol dan pengawasan terhadap polisi. Hal itu penting sebab lemahnya aspek kontrol dan pengawasan membuka potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi.

Karena itu, fungsi berbagai lapis pengawasan terhadap Polri harus bekerja, mulai dari eksternal oleh parlemen dan publik hingga oleh internal Polri. Selain itu, Kapolri baru juga perlu membangun sinergi dengan Kompolnas dan Komnas HAM untuk memperkuat kontrol dan pengawasan terhadap kinerja polisi. "Polisi profesional tidak alergi untuk dikontrol dan diawasi," kata Gufron.

Ketiga, tambah Gufron, Kapolri baru dituntut untuk mendorong sistem di internal bekerja optimal untuk menindak tegas setiap bentuk penyimpangan oleh polisi. Melindungi setiap penyimpangan justru adalah kekeliruan dan bahkan akan merugikan Polri sebagai institusi.

Transparansi dan akuntabilitas oleh Polri justru sebaliknya berpotensi meningkatkan kredit Polri di mata publik. "Hal ini perlu dilakukan dengan cara mengungkap setiap dugaan penyimpangan dan kekerasan oleh aparat, serta menindak tegas pelakunya tanpa pandang bulu," kata Gufron.

Gufron menambahkan, langkah terakhir untuk mendorong perbaikan kinerja polisi agar lebih profesional dan humanis, Kapolri harus mendorong Polri ke depan mengembangkan kemitraan positif yang seluas-luasnya dengan berbagai elemen masyarakat sipil.

REFORMASI MASIH JALAN DI TEMPAT - Beban Tito untuk melakukan reformasi di kepolisian dan mengubah wajah Polri menjadi lebih manusiawi memang berat. Pasalnya, menurut Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa, reformasi Polri selama ini praktis jalan di tempat.

Polri, kata dia, tidak serius membenahi pola kerjanya yang ditandai dengan masih buruknya kinerja penegakan hukum dengan masih maraknya kasus seperti salah tangkap, kriminalisasi dan penyiksaan. Bahkan, kata Alghiffari, intensitas kasus demikian semakin ke sini semakin meningkat.

"Desakan agar Polri serius mereformasi diri menjadi institusi penegak hukum yang independen, profesional, transparan, akuntabel dan humanis yang mengedepankan prinsip hak asasi manusia muncul karena terus meningkatnya laporan dan pengaduan masyarakat atas buruknya kinerja kepolisian yang masuk ke LBH dari tahun ke tahun," ujarnya.

Dia juga merujuk pada data dari Komnas HAM yang pada tahun 2015 lalu mencatat selama tiga tahun berturut turut kepolisian menjadi institusi teratas yang dilaporkan masyarakat kepada Komnas HAM terkait dugaan pelanggaran HAM. Pengaduan terhadap kinerja Polri yang tertinggi adalah terkait hak untuk memperoleh keadilan (3.252 berkas aduan), hak atas rasa aman (646 berkas aduan), dan hak atas kesejahteraan (3.252 berkas aduan).

"Karena itu, LBH Jakarta berharap Kepolisian Republik Indonesia berupaya keras menjadi polisi sipil yang amanah mengemban tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dengan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, bukan sebaliknya," katanya.

Dalam penegakan HAM, yang menjadi sorotan memang soal penanganan kasus terorisme. Ketua DPR Ade Komarudin sendiri menegaskan, tugas Tito yang tak kalah berat adalah dalam pemberantasan terorisme. Dia menilai, usai dilantik, Tito bisa langsung fokus untuk mengatasi masalah tersebut.

"Pekerjaan rutin yang tidak akan cepat selesai adalah pemberantasan terorisme," kata Ade di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (13/7).

Ade menegaskan, dalam melaksanakan pemberantasan terorisme, Tito selaku Kapolri tentunya butuh koordinasi. "Tak bisa hanya bergantung pada satu institusi saja," katanya.

Selama ini, Polri dalam pemberantasan terorisme, memang banyak mendapat sorotan tajam, khususnya terkait aksi Densus 88 Antiteror, yang kerjanya dinilai kerap melanggar HAM. Salah satu yang paling disorot adalah saat menangani kasus Siyono. Dalam kasus ini, Komisi III DPR pun mengingatkan agar dalam penanganan terduga teroris, Polri tetap menjunjung HAM.

"Komisi III DPR RI mendukung sepenuhnya langkah-langkah pemberantasan tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia," kata Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman beberapa waktu lalu.

Komisi III memang sempat mempertanyakan standard operating procedure (SOP) kepolisian dalam menangani terduga teroris. Komisi III meminta agar SOP itu terus jadi pegangan. "Serta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penanganan terorisme sesuai SOP," ujar Benny.

Komisi III juga sempat menyoroti sistem rekrutmen Polri. Karena itu Polri didesak mengevaluasi sistem seleksi anggota Polri untuk semua jenjang. Dengan demikian prosesnya lebih akuntabel. "Agar lebih transparan, objektif dan akuntabel dalam upaya mewujudkan Polri yang profesional, bermoral dan modern," paparnya.

DATA KEKERASAN OLEH ANGGOTA POLRI - Dalam catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), polisi menjadi institusi yang dilaporkan masyarakat paling banyak karena melakukan pelanggaran hak masyarakat empat tahun berturut-turut dari 2012-2015.

Pada 2015, terdapat 2.734 berkas aduan terhadap polisi, jauh meninggalkan aduan terhadap korporasi sebesar 1.231 berkas, pemerintah daerah 1.011 aduan, dan lembaga peradilan 640 aduan.

Dari aduan tersebut, Komnas HAM memberikan rekomendasi terhadap 1.193 pengaduan dan hanya 556 yang diberikan tanggapan. Aduan tersebut meningkat dari tahun 2012 sebesar 1.938 aduan, 2013 ada 1.845 aduan, dan 2014 sejumlah 2.483 aduan.

Berdasarkan data Komnas HAM, pada 2015 terdapat 608 aduan masyarakat kepada polisi karena melanggar hak memperoleh keadilan. Aduan tersebut meningkat dari tahun 2014 sebanyak 596 aduan, 2013 sebanyak 447 aduan, dan pada 2012 sebesar 369 aduan.

Terhadap hak atas rasa aman, pada 2015, Komnas HAM menerima 117 aduan, lalu 2014 sebanyak 31 aduan, 2013 sebanyak 58 aduan dan 2012 sebesar 36 aduan. Sedangkan hak untuk hidup, Komnas HAM menerima aduan pada 2015 sebesar 32, 2014 sebanyak 8 aduan, 2013 yaitu 14 aduan, dan 2012 sebesar 10 aduan.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga merilis dan menempatkan polisi di peringkat pertama sebagai aktor yang sering melakukan penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi.

Aparat kepolisian tercatat melakukan 91 tindakan penyiksaan. Angka tersebut empat kali lipat lebih tinggi dari aparat TNI sebesar 24 tindakan, dan lima kali lebih tinggi dari petugas lembaga pemasyarakatan yaitu 19 tindakan.

Beberapa praktik penyiksaan yang dilakukan oleh polisi antara lain penyiksaan yang dilakukan oleh anggota Polsek Widang, Tuban kepada anak di bawah umur. Penyiksaan ini diawali dengan penangkapan sewenang-wenang korban atas tuduhan tindak pidana pencurian sepeda motor.

Pada 1 Agustus 2015, anggota Satnarkoba Polres Sungailiat, Kepulauan Bangka, menangkap Suharli dan mendapatkan tuduhan kepemilikan narkotika. Enam jam pasca dilakukan penangkapan, pihak keluarga mendapatkan informasi dari anggota penyidik polres bahwa korban telah meninggal dunia.

Pada 30 November 2015, anggota Resimen Brimob Polrestabes Makassar diduga melakukan penyiksaan kepada Abdullah dengan tuduhan pencurian sepeda motor dan laptop. Dari luka-luka di sekujur wajah dan tubuhnya, terdapat luka bekas sayatan silet pada bagian lengan dan paha serta luka pada bagian kaki korban.

Tanggal 4 Desember 2015, Marianus Oki ditemukan tewas di dalam sel tahanan Pospol Banat Manamas, Nusa Tenggara Timur. Pospol memberikan kabar pada keluarga bahwa Oki meninggal dunia di dalam sel tahanan dengan cara menggantung diri menggunakan ikat pinggang. Tapi saat diautopsi, ditemukan sejumlah luka diantaranya goresan luka pada bagian leher dan pendarahan pada bagian tulang belakang kepala.

Pada 8 Maret 2016, Siyono, warga Klaten yang diduga kuat tewas akibat penyiksaan yang dilakukan oleh Densus 88 Polri.

Pada 27 Maret 2016, polisi Polsek Percut Sei Tua, Sumatra Utara, menangkap Bambang Ismayudi atas tuduhan tindak pidana penggelapan. Bambang meninggal di Rumah Sakit Bhayangkara.

Tanggal 4 April 2016, Juprianto, tahanan Polres Luwu, tewas diduga akibat praktik penyiksaan terkait kasus pencurian kendaraan bermotor. Saat masuk tahanan, Jupri dalam kondisi baik, namun beberapa hari kemudian ditemukan tewas dengan luka di sekujur tubuh.

Tanggal 6 Juni 2016, anggota Badan Narkotika Nasional (BNN) diduga menyiksa Abdul Jalil hingga Tewas di Kendari, Sulawesi Tenggara. Kondisi tubuh Abdul penuh dengan luka-luka lebam di sekujur tubuh dan luka tembak di bagian kaki kanan.

Terakhir, penyiksaan menimpa Adlun Fikri, mahasiswa di Ternate, karena dianggap mengancam institusi Polri. Fikri mengunggah video dugaan suap yang dilakukan anggota Polres Ternate saat melakukan tilang kendaraan bermotor yang mengakibatkannya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polres Ternate.

Selama berada dalam tahanan, Adlun mengalami penyiksaan oleh anggota Polres Ternate seperti ditendang di bagian rusuk dengan sepatu lars, dipaksa push-up, dipukul di bagian lengan, dan kepala bagian belakang hingga memar.

BACA JUGA: