JAKARTA, GRESNEWS.COM - Taji Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa kali tak teruji ketajamannya. Salah satunya putusan MK yang diabaikan, soal larangan pengajuan peninjauan kembali (PK) oleh Jaksa.

Lewat uji materi Pasal 263 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimohonkan Anna Boentaran, istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali Djoko S Tjandra senilai Rp 904 miliar. Anna mengajukan permohonan penafsiran pasal tersebut ke MK. Pasal itu berbunyi:

Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

Anna meminta pasal itu ditafsirkan bahwa jaksa tidak berwenang mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Permohonan itu dikabulkan. MK menyatakan Jaksa Penuntut Umum tidak bisa mengajukan permohonan PK, kecuali terpidana atau ahli warisnya.

"Pasal 263 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo," ucap Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan bernomor No. 33/PUU-XIV/2016 di ruang sidang Mahkamah Konstitusi dikutip dari website MK, Kamis (12/5).

Sontak saja putusan ini menimbulkan beragam pendapat di kalangan akademisi dan praktisi hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat). Namun sikap kejaksaan tak mengindahkannya. Jaksa Agung M. Prasetyo menegaskan tetap akan mengajukan PK meski hal itu sudah dilarang oleh Mahkamah Konstitusi. Kejaksaan berpegang pada yurisprudensi dari Mahkamah Agung (MA).

"MA memberi akses untuk kita memberikan PK dari putusan yang mereka keluarkan atau yurisprudensi. Ke depan kami akan tetap ajukan PK karena jaksa mewakili kepentingan korban kejahatan dan negara," kata Prasetyo saat rapat Komisi III di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (6/6).

Prasetyo mengaku telah menelpon langung MK mempertanyakan kenapa jaksa tak bisa mengajukan PK. Jawaban yang diterima Prasetyo adalah untuk melindungi keadilan bagi terpidana. Ia mengaku tak terima dan menimpali bahwa pencari keadilan bukan hanya para pelaku kejahatan tapi juga korban kejahatan yang dalam hal ini diwakili Jaksa.

Jaksa Agung lalu meminta bantuan ke Komisi III terkait polemik ini. Ke depan saat pembahasan revisi UU KUHAP, Prasetyo berharap Komisi III mempertimbangkan kewenangan jaksa untuk mengajukan PK ini.

"Kami mohon dengan sangat ketika membahas revisi KUHAP, tetap bisa mendukung kami agar jaksa tetap bisa mengajukan PK. Demi terciptanya keseimbangan," ujar Prasetyo.

TAK KONSISTEN - Mantan Wakil Ketua MK Harjono mengatakan putusan MK yang melarang jaksa melakukan PK tidak konsisten dengan putusan MK sebelumnya yang menyatakan PK boleh diajukan berkali-kali.

Maksud Harjono soal putusan MK yang tidak konsisten adalah putusan MK yang mengabulkan gugatan eks Ketua KPK Antasari Azhar yang menyatakan PK boleh berkali-kali. Dalam putusan itu, MK yang diketuai oleh Hamdan Zoelva menyatakan, PK boleh berkali-kali demi kepastian hukum baik bagi penuntut umum atau pun terdakwa.

"Ini bertentangan dengan putusan yang sudah pernah diputus MK. Putusan yang menyatakan PK berkali-kali itu demi kepastian hukum, bukan masalah PK boleh diajukan oleh siapa," tegas Harjono, Rabu (18/5).

Ia mengatakan putusan ini juga tidak belajar dari praktik proses hukum di Indonesia. Dia mencontohkan kasus yayasan Supersemar yang harus membayar Rp 4,4 triliun karena tindakannya merugikan negara. Di tingkat kasasi, putusan itu salah ketik.

Yayasan milik mantan presiden Soeharto itu harusnya dihukum membayar Rp 185 miliar tapi pada saat salinan putusan putusan itu berubah menjadi Rp 185 juta. Tentu saja salah ketik itu membuat jaksa sebagai penggugat yayasan Supersemar kelimpungan. Untuk menyelesaikannya Jaksa Agung saat itu Basrief Arief mengajukan PK dan putusan itu diperbaiki oleh MA menjadi Rp 185 miliar pada Juli 2015.

"Dengan adanya putusan MK seperti ini, hal seperti ini tidak bisa dilakukan lagi karena jaksa tidak boleh ajukan PK. Inilah yang mungkin luput dari panel MK kemarin yang menyatakan jaksa tidak boleh ajukan PK," ucapnya.

Harjono berpendapat, putusan ini juga tidak memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang berpekera. Namun, dia tetap meminta semua pihak untuk menghormati putusan MK karena putusan tersebut bersifat mengikat.

SIKAP MA - Sikap MA terhadap larangan Jaksa mengajukan PK dikembalikan pada sikap Kejaksaan. Hal itu bergantung dari Kejaksaan apakah akan menaati putusan MK itu atau tidak.

"Putusan MK ini lebih mengikat lembaga Kejaksaan karena Jaksanya yang dilarang mengajukan PK," ujar Juru Bicara MA Suhadi di gedung MA, Jum’at (20/5).

Suhadi mengakui adanya judicial review Pasal 263 Ayat (1) KUHAP ini lantaran MA pernah menerima pengajuan PK yang diajukan Jaksa yang dianggap sebagai yurisprudensi. Upaya pengajuan PK Jaksa kerap diterima MA. Pasalnya, MA merujuk putusan No. 55/PK/PID/1996 tanggal 25 Oktober 1996 dan putusan No. 3/PK/PID/2001 tanggal 2 Agustus 2001.

Namun, ia belum bisa memastikan apakah MA akan mentaati putusan MK itu karena hal ini otoritas Majelis Hakim Agung yang memeriksa dan mengadili pengajuan PK. Di MA majelis yang punya otoritas menerima atau mengabulkan PK yang diajukan Jaksa.

MA tidak bisa menolak pengajuan PK khususnya yang diajukan Jaksa. Nantinya, kalau proses pendaftaran pengajuan PK Jaksa lolos, Majelislah yang menyatakan putusan tidak dapat diterima. "Kalau Kejaksaan tidak mentaati putusan MK ini, ya silahkan itu kan keputusan lembaga, tetapi diharapkan Kejaksaan mentaati putusan MK itu seperti halnya ketentuan undang-undang," ungkapnya.

MEREDUKSI PENCARI KEADILAN - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebut jaksa tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) menuai kontroversi. Putusan itu dianggap mereduksi pencari keadilan. wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut bahwa putusan MK tersebut sebenarnya memberikan efek positif.

"Secara implisit Pasal 263 ayat 1 KUHAP menyebut bahwa hak mengajukan PK hanya ada pada terpidana maupun ahli warisnya. Ada semangat untuk mendorong agar jaksa bekerja profesionalisme dalam putusan MK, kalau benar jaksa tidak boleh PK," kata Alex, Rabu (18/5).

Alex juga menyebut larangan PK oleh jaksa itu bisa juga memberi sinyal agar ada peningkatan kualitas hakim dalam membuat putusan. Selain itu, Alex mengatakan harus ada perbaikan sistem peradilan secara keseluruhan apabila jaksa dilarang PK.

Namun, Alex mengkritisi Mahkamah Agung (MA) sebagai benteng terakhir keadilan yang belum bersih benar dari praktik curang malah akan mereduksi nilai-nilai keadilan. Ditambah lagi, putusan MK yang melarang jaksa untuk mengajukan PK.

"Jika MA sebagai benteng terakhir keadilan belum bersih dari unsur hakim lacur, maka larangan mengajukan PK oleh jaksa justru akan mereduksi pencari keadilan," kata Alex. (dtc)

BACA JUGA: