JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus persidangan terkait kasus pencucian uang yang melibatkan mantan bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin kembali membawa kejutan. Kali ini, kejutan berasal dari mantan Wakil Direktur Keuangan Anugrah Group Yulianis, yang merupakan anak buah Nazaruddin. Yulianis dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta itu, mengungkapkan nama beberapa politisi yang diduga menerima duit dari Nazaruddin untuk memuluskan proyek-proyeknya.

Pengakuan Yulianis itu bermula ketika jaksa KPK Kresno Anto Wibowo menanyakan perihal dana yang disebut sebagai additional support yang tertera dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Yulianis. Dana tersebut, disebutkan dalam BAP itu, dibagi-bagikan kepada pihak ketiga dalam hal ini panitia pengadaan lelang pada proyek dan juga sejumlah anggota DPR RI.

"Agar lebih smooth proyeknya. Tidak diganggu-ganggu nantinya," kata Yulianis memberikan alasan pemberian uang tersebut saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu (24/2).

Jaksa Kresno pun penasaran dengan kesaksian Yulianis ini. Ia meminta Yulianis menjelaskan maksud perkataannya tersebut. Apalagi dalam BAP-nya untuk pertanyaan di nomor 22, Yulianis menjelaskan bahwa para anggota DPR diberi jatah sesuai anggaran yang diawasinya.

"Di BAP nomor 22, untuk proyek diknas, ada beberapa pengeluaran. Diserahkan kepada siapa saja?" tanya Jaksa Kresno. Yulianis kemudian menjawab beberapa nama yang menerima aliran dana, yaitu Angelina Patricia Pinkan Sondakh dan I Wayan Koster.

Kemudian Yulianis juga mengungkap nama lain yang menerima aliran dana sesuai dengan tupoksinya. "Depkes Pak Said, agama komisi berapa lupa, ada juga Tamsil Linrung. Kalau di Perhubungan itu Freddy Numberi, Muhidin, Yoseph," kata Yulianis.

Yulianis yang bekerja di Permai Group sejak September 2008 mengatakan, setiap pengeluaran fee untuk anggota dewan pasti atas persetujuan Nazaruddin. "Harus (izin). Saya akan mengajukan ke Pak Nazar. Orang marketing misal bilang Rp 5 miliar, bisa dibayarkan Rp 5 miliar itu, ada juga yang dikoreksi Pak Nazar menjadi Rp 2 miliar," ungkap Yulianis.

Meskipun Yulianis mengungkap nama-nama anggota DPR yang kecipratan uang Nazar, tetapi ia tidak merinci berapa gelontoran uang yang diberikan kepada mereka. Tetapi ada satu nama yang dengan jelas diungkapkan dalam persidangan termasuk jumlah uang yang diberikan.

Kejadian ini bermula ketika Nazaruddin bertanya kepada Yulianis mengenai adanya pertemuan dengan Wakil Ketua DPR saat ini Fahri Hamzah. Nazar, memang sempat menutupi penerimaan uang oleh Fahri Hamzah saat sidang Anas Urbaningrum kala itu.

Nazar menyebut bahwa yang bertemu dengannya ketika itu adalah Fahmi, bukan Fahri. Hal ini pun menjadi senjata Yulianis untuk menyindir Nazaruddin. Sebab, secara tak langsung, Nazar mengakui bahwa orang yang bertemu dengannya adalah Fahri Hamzah, bukan Fahmi.

"Seingat saya itu Pak Fahri, tetapi bapak meralat itu Pak Fahmi. Pertemuan itu di lantai 6 ruangan Bapak, di sana saya disuruh kasih US$25 ribu," terang Yulianis. Nazar pun terdiam dan hanya tersenyum mendengar perkataan mantan anak buahnya itu.

Usai sidang, awak media meminta kejelasan Yulianis tentang aliran uang ke Fahri Hamzah. Menurutnya, ketika itu ia diminta Nazar untuk datang ke ruangannya dan membawa uang US$25 ribu untuk diberikan kepada Yulianis. "Katanya buat DP mobil. Tapi saya enggak tahu mobilnya dibeli atau enggak, saya hanya disuruh nulis dicatatan seperti itu," imbuhnya.

Yulianis sendiri sangat yakin bahwa orang yang diberikan uang itu adalah Fahri Hamzah, meskipun Nazar pada awalnya mencoba menutupi dengan mengatakan pria itu adalah Fahmi. Tetapi dipersidangan, Nazar tidak mengelak, bahkan membuka pertanyaan mengenai pertemuan dengan Fahri tersebut.

Menurut Yulianis, sebenarnya masih banyak lagi anggota DPR yang menerima uang. "Banyak, masih banyak kok," imbuhnya tanpa mau menyebut siapa lagi pihak yang menerima uang tersebut.

Tetapi dari informasi yang beredar, ada nama Wakil Ketua Komisi VII DPR RI periode 2014-2019 dari Fraksi Partai Demokrat, Mulyadi. Ketika kasus in bergulir, Mulyadi berada di Komisi V, dan untuk Komisi V, Nazar mengalirkan uang cukup besar yaitu US$4 juta. Mulyadi sendiri menerima US$1 juta.

KONTRAK PALSU - Selain membuka nama-nama politisi dan pejabat yang diduga menerima uang dari Nazaruddin, Yulianis juga membuka borok Nazaruddin dalam berbisnis dengan PT Duta Graha Indah (DGI). Hal itu terungkap ketika jaksa membacakan dakwaan terhadap Nazaruddin. Dalam dakwaan disebutkan, DGI memberi fee senilai Rp 23,1 miliar kepada Nazar dalam bentuk 9 lembar cek pada proyek tahun 2010.

Rupanya, setahun sebelumnya, perusahaan konstruksi tersebut pernah membayar fee proyek kepada Nazar dalam bentuk kontrak palsu. Soal kontrak palsu itu juga diungkapkan Yulianis dalam persidangan. Kontrak palsu tersebut, kata Yulianis dibuat seolah PT DGI membeli barang kepada perusahaan milik Nazar untuk keperluan proyeknya.

"Tahun 2009, kita bikin kontrak palsu, 2010 dia (PT DGI) ngasih cek. Kontrak seperti ada pembelian barang. PT DGI itu pura-puranya, kan mereka itu sedang membangun sesuatu, ada jual beli, entah itu semen, entah itu besi ulir," ungkap Yulianis.

"PT DGI waktu itu belinya ke Mahkota (PT Mahkota Negara), PT Anak Negeri, Niaga (PT Mega Niaga)," jelasnya. Ketiga perusahaan tersebut berada di bawah naungan Permai Group, perusahaan milik Nazaruddin.

"Jadi barangnya tidak ada?" tanya Ketua Majelis Hakim Ibnu Basuki Widodo. "Tidak ada," jawab Yulianis.
 
Yulianis menjelaskan, fee yang diberikan PT DGI ke Nazar senilai 7,5 sampai 22 persen dari nilai proyek. Angka yang berbeda bergantung kepada hasil negosiasi langsung antara PT DGI dengan Nazar. Ia menambahkan, Nazar memantau langsung rekanan mana saja yang belum menyetor fee dan mana yang sudah. Jika ada yang belum, maka Nazar akan memerintahkan Yulianis untuk melakukan follow up.

"Waktu itu pernah kejadian. Yuli, kamu pernah dapet belum dari PT DGI? Belum Pak. Kamu telepon. Jadi saya telepon Pak Idris. Pak Idris, kata Pak Nazar ada yang musti saya terima. Oh iya Bu, 1-2 hari lagi saya akan ngadep Ibu. Itu salah satu contohnya sih Pak," tutur Yulianis saat ditanya Jaksa Penuntut Umum

"Beliau (Nazaruddin) akan tanya di meeting internal itu. Siapa yang sudah bayar, sudah bayar berapa. Tahun 2010 ada yang sudah lunas ada yang belum. Kalau cek yang mencairkan itu staf keuangan," imbuhnya.

Dalam surat dakwaan jaksa, pemberian-pemberian PT DGI kepada Nazar pada tahun 2010 merupakan imbalan karena Nazaruddin telah mengupayakan PT DGI dalam mendapatkan proyek pemerintah. Proyek-proyek tersebut antara lain pembangunan gedung di Universitas Udayana, Universitas Mataram, Universitas Jambi, Badan Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Surabaya tahap 3, RSUD Sungai Dareh Kabupaten Darmasraya, gedung Cardiac RS Adam Malik Medan, Paviliun RS Adam Malik Medan, RS Inspeksi Tropis Surabaya, RSUD Ponorogo.

SUMBER KEUANGAN PERMAI GROUP - Yulianis di persidangan itu juga membuka sumber keuangan yang dimiliki perusahaan milik mantan bosnya, M Nazaruddin. Yulianis bersaksi, Nazaruddin memiliki brankas khusus untuk menyimpan uang dari hasil sejumlah proyek pemerintahan.

Berdasarkan keterangan Yulianis, Nazaruddin memiliki 4 brankas yang diberi nama brankas X dan brankas IN. Kedua brankas ini digunakan untuk menyimpan uang selain di rekening bank. "Pada tahun 2009 tidak ada pemisahan brankas. Tapi tahun 2010 saya diperintahkan Ibu Neneng (istri Nazar) untuk memisahkan uang tersebut," kata Yulianis.

Yulianis menjelaskan, brankas IN berisi uang operasional untuk keperluan sehari-hari yang bersumber dari APBN, atau proyek dengan kementerian-kementerian. Sedangkan brankas X berisi selisih kontrak X dan IN dari proyek-proyek yang dikerjakan PT Permai Group. "Misalnya di setiap kontrak APBN kita ada kontrak dengan vendor, jadi ada 2 kontrak, pertama 40 persen, atau yang kita mau, dan yang 7 persen yang dipublish. Misal kita bayar vendor Rp 1 miliar, ternyata sebenarnya kita hanya membayar Rp 700 juta. Sisanya masuk dalam selisih yang masuk ke brankas X," jelasnya.

Yulianis menyebut, perusahaan-perusahaan Nazar mayoritas bergerak di bidang konstruksi, ada juga di bidang money changer dan sektor jasa wisata. Dalam mencari dana, khususnya perusahaan di bidang konstruksi yaitu dengan mencari proyek di kementerian-kementerian. "Untuk proyek, misalnya Kamenpora lah, kita menghubungi Pak Wafid (Wafid Muharam), Pak Paul Nelwan. Itu perintahnya dari Pak Nazar. Nantinya akan ada arahan dari Pak Nazar," tutur Yulianis.

Beberapa perusahaan kemudian mengikuti lelang proyek yang sebetulnya semuanya merupakan perusahaan milik Nazar. "Panitia lelang biasanya awalnya tidak tahu bahwa itu perusahaan Pak Nazar semua, tapi ketika telah menang tahu juga," ungkap Yulianis.

Jika perusahaan-perusahaan milik Nazar tak mampu mengerjakan sendiri proyek yang diberikan kementerian saking banyaknya, Nazar bekerja sama dengan perusahaan pihak lain dengan pihak tersebut membayar fee sejumlah tertentu kepada Nazar.

"Ada perusahaan-perusahaan itu mendapat pekerjaan dari Pak Nazar. Secara kasarnya seperti itu. Perusahaan-perusahaan itu membayar fee kepada Pak Nazar atas fee yang sudah dinegosiasikan dari awal. Kalau mau ngerjain, fee-nya itu harus sekian. Realisasinya antara 7,5-22 persen. Targetnya sih maunya semuanya 22 persen," imbuhnya.

Jaksa penuntut umum mendakwa Nazar dengan 3 dakwaan. Pertama, Nazar didakwa menerima hadiah berupa 19 lembar cek yang jumlah seluruhnya senilai Rp23.119.278.000 (Rp23,1 miliar) dari PT Duta Graha Indah (DGI) dan uang tunai Rp17.250.750.744 (Rp17,25 miliar) dari PT Nindya Karya yang diserahkan oleh Heru Sulaksono.

Dakwaan kedua dan ketiga yaitu terkait dugaan pencucian uang. Nazar didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang mencapai Rp627,86 miliar selama 2010-2014. Selain itu ia juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang Rp83,59 miliar dalan waktu 2009-2010. (dtc)

BACA JUGA: