JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung bergerak cepat menyelidiki dugaan korupsi dalam perjanjian kerjasama PT Hotel Indonesia Natour (HIN) dengan PT Citra Karya Bumi Indah (CKBI) dan PT Grand Indonesia. Dari perjanjian ini potensi kerugian negara mencapai Rp1,2 triliun.

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah menyatakan langkah penyelidikan dilakukan karena ditemukan indikasi pembangunan gedung di luar perjanjian. Jaksa penyelidikan bergerak cepat dengan menyita dokumen kerja sama tersebut di kantor PT Hotel Indonesia Natour.

"Secara umum kita belum bisa menjelaskan, dalam perkara ini ada pembangunan di luar perjanjian. Nah kemudian dibangun, kemudian dijual di luar perjanjian, gak ada pembayaran ke badan hukumnya BUMN-nya, itu indikasinya. Selanjutnya tunggu aja‬," kata Amirsyah di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (19/2).

Armin mengatakan pada Rabu (17/2) jaksa penyelidik mendatangi kantor PT HIN dan menyita sejumlah dokumen terkait akta perjanjian tersebut. Armin tak menjelaskan lebih jauh karena baru penyelidikan. Armin hanya menegaskan objek kasusnya terkait pembangunan gedung, salah satunya Menara BCA Jakarta.

Untuk menindaklanjuti temuan di HIN, sepekan ke depan penyelidik akan memanggil pihak untuk dimintai keterangan. Sebab jika kerja sama itu diformalkan, harus ada yang dibayarkan kepada negara.

"Itu yang sedang kami hitung kerugiannya. Nanti kami panggil untuk kita tanyakan dan mintai keterangan," jelas Armin.‬

Dugaan korupsi ini dilaporkan oleh salah satu Komisaris PT HIN Michael Umbas ke Kejaksaan Agung awal Februari 2016. Michael Umbas merupakan relawan Jokowi saat Pilpres 2014.


TEMUAN BPK -
Kasus ini mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah temuan terkait perjanjian yang tak semestinya oleh PT HIN, Badan Usaha Milik Negara di bidang properti. BPK menyatakan dari kerjasama itu ada potensi kerugian negara yang dialami PT HIN.

Kerjasama itu adalah pengembangan lahan di kawasan Hotel Indonesia melalui perjanjian Build, Operate and Transfer (BOT). Dalam hal ini CKBI menerima hak BOT tersebut. Dalam kontrak BOT yang ditandatangani 2004 disepakati empat objek fisik bangunan di atas tanah negara atas nama PT Grand Indonesia. Pertama, Hotel Bintang 5 seluas 42.815 meter persegi. Kedua, pusat perbelanjaan seluas 80.000 meter persegi. Ketiga, pusat perbelanjaan II seluas 90.000 meter persegi. Keempat, fasilitas parkir seluas 175.000 meter persegi.

Namun realisasinya dalam berita acara penyelesaian pekerjaan pada 11 Maret 2009 ada tambahan bangunan yakni gedung perkantoran Menara BCA dan Apartemen Kempinski, Jakarta. Kedua bangunan itu belum diperhitungkan besaran kompensasinya ke PT HIN.

Dan audit BPK memperkuat itu. Dalam resume hasil pemeriksa dokumen BPK bernomor 02/AUDITAMA VII/01/2016 disebutkan kerjasama HIN dengan CKBI tidak sesuai proses awal. Di antara yang bermasalah, masa kontrak yang melebihi 30 tahun, kompensasi tidak sesuai dengan persentase pendapatan, serta sertifikat hak guna bangunan dijaminkan CKBI dan Grand Indonesia ke pihak lain untuk mendapatkan pendanaan.

Dalam perpanjangan kontrak, awalnya PT HIN mengembangkan CKBI untuk mengembangkan kawasan Hotel Indonesia selama 30 tahun dengan perhitungan kompensasi Rp355 miliar atau 25 persen dari NJOP. Kurun waktu kerjasama 2004-2033.

Lalu kontrak diperpanjang 20 tahun menjadi 50 tahun. Perjanjian perpanjangan dilakukan pada 2010 dengan kompensasi sebesar Rp400 miliar. Nilai kontrak ini, menurut BPK, tak layak. Lainnya, perpanjangan tidak lagi ditandatangani dengan CKBI tetapi dengan PT Grand Indonesia. Padahal dalam perjanjian awal, CKBI tidak boleh mengalihkan atau melepas tanggung jawab pelaksanaan kerja sama kepada pihak lain.

Terlebih sertifikat HGB telah diagunkan Grand Indonesia ke salah satu bank untuk memperoleh pendanaan. Padahal dalam ketentuan, mitra kerja sama CKBI dan Grand Indonesia tidak boleh mengagunkan tanah untuk mendapat pendanaan.

Komisi VI DPR juga merespons cepat dugaan korupsi di BUMN ini. DPR telah membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk menelisik kasus kerjasama PT HIN, CKBI dan Grand Indonesia. Ketua Komisi VI Achmad Hafiz Thohir dalam keterangannya beberapa waktu lalu menyatakan serius mendalami dan mencermati kasus kerjasama tersebut.

Dalam waktu dekat, DPR segera memanggil PT HIN dan Menteri BUMN untuk menjelaskan duduk persoalannya.

BACA JUGA: