Teng..Teng...Teng..suara lonceng berbunyi nyaring, memecah kesunyian sebuah Panti Jompo di kawasan Jakarta Selatan. Suasana pun perlahan ramai. "Ayo oma-opa mandi dulu, siap-siap doa sore," ujar Mistinah (50) sembari memasuki kamar para penghuni panti. Tangan perawat asal Purworejo ini pun sigap membantu penghuni panti untuk berdiri dan lalu memandikan serta merapikan kamar mereka.

Beberapa orang perawat pun sigap melakukan hal yang sama. Mereka terlihat sabar dan telaten merawat penghuni panti layaknya merawat orang tua mereka sendiri. Meski bekerja di lingkungan panti yang notabene adalah panti milik yayasan Katolik, Mistinah dan beberapa rekan perawat yang kebetulan beragama Islam tetap bekerja dengan sepenuh hati.

"Jumlah karyawan termasuk perawat itu 21 yang muslim 11 sisanya katolik jadi untuk tahun ini kami mayoritas muslim karyawanya," ujar Mistinah mengawali pembicaraan dengan gresnews.com, beberapa waktu lalu.

Sembari melakukan tugasnya, Mistinah menceritakan pengalamanya mengabdikan dirinya di sebuah yayasan Katolik yang telah berdiri sejak awal tahun 80-an ini sebagai perawat. "Saya sudah kerja di sini selama 23 tahun dari tahun 1995. Dulu waktu awal saya masuk ditawari mau di kantor apa dimana saya pilih untuk melayani karena saya suka, niatnya memang melayani oma-opa di sini," lanjut wanita dengan tutur kata yang halus dan ramah ini.

Meski mengabdikan diri di yayasan milik umat nasrani ini, Mistinah merasa memiliki ikatan yang kuat dengan penghuni dan karyawan panti. "Saya masuk di lingkungan yang terbilang lingkungan Katolik tapi di sini kekeluargaan, tidak ada paksaan dari pemilik yayasan, tidak melihat agama. Semua kegiatan kami ikuti. Lagu-lagu Katolik dan cara beribadahnya juga saya hapal karena sudah terbiasa kan," kata Mistinah.

Mistinah melanjutkan, meski bekerja di lingkungan nasrani, dia tetap bisa menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinanya sebagai umat muslim. "Waktu dulu itu perawat atau pegawai di sini yang muslim hanya dua orang, jadi saya waktu puasa ya biasa aja tetap puasa sahur, begitu pun kalau ada Katolik saya wajib mengingatkan mereka untuk beribadah," ucapnya.

Suka duka pun sudah banyak dirasakannya selama mengurus dan merawat 45 lansia di yayasan ini. Sifat-sifat para lansia yang dirawatnya justru membuatnya semakin senang dan tetap sabar merawat mereka. "Senang bisa mewakili merawat orang tua di sini. Dukanya ya namanya juga orang tua kadang sudah dikasih makan dibilang belum, ada barang ilang dibilang diambil ya gitu rewel," ujarnya sembari tertawa.

Mengabdikan separuh hidupnya untuk merawat para lansia yang sebagian besar berlatar belakang berbeda keyakinan dengan dirinya tidak membuat Mistinah dan beberapa orang rekannya yang beragama Islam memberikan perlakuan yang berbeda kepada mereka. Hal ini justru membuatnya semakin menjunjung tinggi makna toleransi yang belakangan semakin terkikis di kalangan masyarakat kebanyakan.

"Saling menghormati agama yang satu dengan yang lain, di sini ada 3 kali misa dalam seminggu kadang juga kami yang muslim wajib membantu menyiapkan untuk misa itu sudah biasa," ucapnya.

Menurut Mistinah perbedaan keyakinan bukanlah suatu halangan dalam melakukan pengabdian dan pelayanan. Mistinah mengaku semuanya dilakukan dengan iklas dan dengan hati karena merasa memiliki panggilan hati.

"Kalau cari gaji atau materi bukan di sini tempatnya, gaji kami kecil tapi kita senang karena bisa melayani. Melayani dengan hati kalau tidak ada kemauan, panggilan tidak bisa. Intinya harus ada hati dan panggilan untuk melayani," tutur Mistinah sembari tersenyum tulus. (Gresnews.com/Edy Susanto)

BACA JUGA: