JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menggabungkan seluruh bank BUMN syariah memiliki beberapa kelemahan. Salah satunya adalah berkurangny tingkat fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan dan berdampak pula pada pengurangan pegawai.

Anggota Komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno mengatakan resiko dari penggabungan bank adalah fleksibilitas atau kelincahan perusahaan dalam mengelola keuangan. Menurutnya perusahaan lebih kecil tergolong lebih lincah karena tidak dibebani dengan biaya overhead yang lebih besar.

Sedangkan perusahaan-perusahaan besar tentunya memiliki beban biaya operasional, misalnya biaya gedung yang cenderung lebih besar. Apalagi, dia menambahkan khusus bisnis syariah memiliki sifat bisnis yang masih unik, segmennya lebih spesifik dan segmentasinya tersebut membutuhkan fleksibilitas.
 
Menurutnya argumentasi pemerintah untuk melakukan merger bank BUMN syariah masih tergolong masuk akal, apalagi dalam menghadapi persaingan masyarakat ekonomi ASEAN. Sebab dalam persaingan masyarakat ekonomi ASEAN yang paling menentukan ada daya saing.

"Kalau banknya masih kecil-kecil menghadapi persaingan konteks global, bank-bank kita jadi kurang greget," kata Hendrawan kepada Gresnews.com, Jakarta, Kamis (18/2).

Sementara itu, Kepala Komunikasi Publik Kementerian BUMN Teddy Poernama mengatakan latar belakang pemerintah dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian BUMN melakukan merger bank BUMN Syariah karena melihat jumlah penduduk muslim mayoritas lebih dari 160 juta. Namun perkembangan ekonomi syariah sangat lambat, terlihat bank syariah penetrasi dari sisi aset hanya sekitar 4 persen dibandingkan dengan bank konvensional.

Maka dari itu, Teddy menambahkan untuk mempercepat pertumbuhan bank Syariah selain menata kembali regulasinya untuk mendorong pertumbuhan perbankan syariah, juga harus dipercepat dengan pertumbuhan non organik. Salah satu alternatifnya dengan menggabungkan tiga bank syariah yang merupakan anak perusahaan bank BUMN yaitu Bank Syariah Mandiri, Bank BRI Syariah, Bank BNI Syariah serta unit usaha syariah Bank BTN.

"Proses saat ini telah dibentuk tim untuk mengkaji kelayakan rencana konsolidasi anak perusahaan bank Syariah tersebut," kata Teddy.

Sejatinya isu penggabungan bank syariah ini sudah tercetus sejak dua tahun lalu. Gatot Trihargo saat itu menjabat sebagai Deputi Bidang Jasa Usaha Kementerian BUMN yang pertama kali melontarkan itu ke publik. Bahkan, menurut Gatot, awalnya sebelum ada unit syariah di bank BTN ada opsi untuk mengubah Bank BTN Tbk menjadi bank syariah. BTN hasil konversi inilah yang kemudian mencaplok bank syariah BUMN lainnya.

Selama ini kinerja bank syariah memang lamban. Berdasarkan data BI per Oktober 2014, total aset perbankan syariah baik Bank Umum Syariah (BUS) maupun Unit Usaha Syariah (UUS) mencapai Rp 260,36 triliun. Angka ini, hanya 4,78 persen dari total aset perbankan konvensional yang bernilai Rp 5.445,65 triliun.

Bahkan, pangsa aset perbankan syariah di akhir Oktober 2014 justru lebih sedikit jika dibandingkan Oktober 2013 yang sebesar Rp 229,55 triliun atau 4,86 persen dari total aset perbankan. BI pada akhir tahun 2013 menargetkan porsi aset bank syariah sebesar 5,25 persen–6,25 persen dari total aset bank umum konvensional.

Namun merger memang tak ubahnya buah simalakama. Di satu sisi, langkah itu akan memperkuat bank syariah BUMN. Karena selain modal dan asetnya tambah gede, bank hasil merger juga lebih efisien. Di sisi lain, apabila merger dilakukan, besar kemungkinan akan terjadi pengurangan jumlah pegawai.

Pengalaman membuktikan, ketika Bapindo, BBD, BDN, dan Bank Exim bergabung membentuk Bank Mandiri, banyak karyawan terpaksa dirumahkan. Hal yang juga terjadi ketika lima bank swasta bergabung membentuk Bank Permata. Dampak dari merger ini berimbas ke semua level, mulai dari karyawan biasa hingga posisi direktur. Itu semua harus dipertimbangkan benar oleh pemerintah.

BACA JUGA: