JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan dan Perindustrian dinilai masih menyimpan banyak kelemahan dan kekhawatiran. Pasalnya, mekanisme pasar masuk dalam landasan filosofi naskah akademik (NA) RUU ini. Bahkan, indikasi adanya liberalisasi perdagangan dalam RUU ini menjadi perdebatan hangat saat Komisi VI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan pakar ekonomi untuk meminta masukan dalam penyusunan RUU Perdagangan dan Perindustrian.

Dua pakar ekonomi yang hadir tersebut adalah Hendri Saparini dan Eranius Yustika dari INDEF. Anggota Komisi VI DPR Abdurrahman Abdullah mengatakan, kita memang harus hati-hati menyusun undang-undang (UU) ini agar tidak melanggar konstitusi. Jangan sampai pula setelah diundangkan, lalu diujimaterikan lagi ke MK. Abdurrahman sependapat dengan dua pakar ini bahwa kepentingan ekonomi nasional harus menjadi barometer dalam penyusunan UU.

Rapat yang dimulai pukul 13.00 WIB, Selasa (19/2) itu, dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi VI Erik Satrya Wardhana (F-Hanura), didampingi Wakil Ketua Komisi VI lainnya Aria Bima (F-PDI Perjuangan). Masukan dari dua pakar ini sangat penting untuk mengkritisi Naskah Akademik (NA) RUU Perdagangan dan Perindustrian. Kedua pakar juga memberi masukan signifikan dalam penyusunan UU ini agar menjadi ideal.

Ditambahkan Abdurrahman, Komisi VI memang perlu mengundang narasumber yang bisa memotret ekonomi Indonesia tanpa kepentingan apa pun. Sebelumnya, Komisi VI pernah mengundang asosiasi dan organisasi industri dan perdagangan. Tentu mereka ingin kepentingannya dilindungi dalam UU Perdagangan dan Perindustrian. Kehadiran para pakar ekonomi bisa lebih jernih mencermati RUU ini.
Sementara itu, Hendrawan Supratikno, anggota Komisi VI lainnya menyatakan, praktik-praktik ekonomi kita selalu dinegasi bahkan didistorsi. Namun, ia menyatakan setuju pula dengan dua pakar yang hadir tersebut soal kehati-hatian penyusunan UU agar tidak mengarah ke liberalisasi perdagangan atau menyerahkan ke mekanisme pasar. Padahal, kita punya Pasal 33 UUD 1945 sebagai pijakan perekonomian kita.

Sebelumnya, Hendri Saparini menilai, semangat RUU cenderung liberal tanpa mendasarkan pada industrial policy yang mengedepankan national interst. Liberalisasi tidak berarti buruk, lanjutnya, selama berbasis national industry. "Kalau ada UU yang semangatnya liberal, maka itu kerugian besar bagi kita," tandas Hendri seperti dikutip dari laman resmi DPR. Persoalan lain yang menjadi kritiknya adalah definisi industri strategis. Ini harus secara jelas dan eksplisit tertuang dalam UU Perdagangan dan Perindustrian.

Sementara Eranius Yustika berpendapat, RUU ini sangat vital buat perkembangan ekonomi nasional. Sektor makro tampaknya belum menjadi kerangka bahasan dalam RUU. Kata kunci dalam RUU ini adalah kepentingan nasional yang harus tercermin dalam NA dan pasal-pasal UU tersebut.

BACA JUGA: