JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ke mana sebenarnya dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan khususnya untuk Jaminan Hari Tua (JHT) diinvestasikan? Resminya, berdasarkan data tahun 2014 lalu, ada sekitar Rp187,02 triliun dana BPJS Ketenagakerjaan yang diinvestasikan ke berbagai instrumen.

Diantaranya adalah, deposito (sebesar Rp53,837 triliun), surat utang (Rp79,52 triliun), saham (Rp37,767 triliun), reksadana (Rp14,737 triliun), properti (Rp1,118 triliun) dan penyertaan modal (Rp42 miliar).

Hanya saja, tidak ada penjelasan lebih rinci terkait misalnya penyertaan modal atau deposito macam apa yang digunakan untuk mengelola dana para pekerja itu. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan para pekerja terhadap pihak BPJS Ketenagakerjaan dan juga Kementerian Tenaga Kerja terkait pengelolaan dana BPJS Ketenagakerjaan khususnya, dana Jaminan Hari Tua yang baru bisa diambil penuh setelah peserta berusia 56 tahun.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) Mirah Sumirat meminta seluruh pekerja untuk bersama-sama mengawasi kinerja Direksi BPJS Ketenagakerjaan. Alasannya, karena dana yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan adalah milik pekerja dan nilainya sangat besar.

Berdasarkan informasi yang berkembang, kata Mirah, pada Triwulan I 2015, total dana investasi yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp195,35 triliun, sedangkan hasil perolehan investasi tahun 2013 mencapai Rp15 triliun.

"Seharusnya pekerja diberitahu hasil pencapaian ini dan seluruh hasil perolehan investasi dikembalikan kepada peserta dalam bentuk dana pengembangan," kata Mirah dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Senin (6/7).

Hal ini, kata dia, seharusnya dilakukan secara transparan. "Berapa perolehan investasi yang diserahkan sebagai benefit kepada peserta? Berapa yang digunakan untuk biaya operasional BPJS Ketenagakerjaan? Jangan sampai perolehan investasi yang seharusnya menjadi hak pekerja justru banyak terpakai untuk biaya operasional dan fasilitas pejabat di BPJS Ketenagakerjaan!" tegasnya.

Pekerja juga harus diberi tahu tentang alokasi dana investasinya, apakah di surat utang, deposito, saham, reksadana atau investasi langsung. "Bagaimana kinerja pengembangan di setiap alokasi dana investasi?" ujar Mirah.

KASUS PENYIMPANGAN PENGELOLAAN DANA PEKERJA - Mirah menjelaskan, saat ini para pekerja sangat wajar tidak terlalu mempercayai BPJS Ketenagakerjaan dalam mengelola dana para pekerja. Dalam sejarah perjalanan PT Jamsostek hingga bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan, kata dia, banyak kejadian yang masuk kategori pelanggaran atau penyimpangan.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahkan pernah melansir adanya empat temuan BPK atas laporan keuangan tahun 2011 Jamsostek yang tidak taat aturan senilai lebih dari Rp7 triliun. Mulai dari pembentukan Dana Pengembangan Program Jaminan Hari Tua yang tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2004, adanya potensi penerimaan iuran yang hilang karena tidak menerapkan tarif jaminan kecelakaan kerja sesuai ketentuan, belum diselesaikannya aset eks investasi bermasalah jaminan Medium Term Notes (MTN), serta kelemahan dalam pemantauan piutang hasil investasi.

Pada akhir tahun 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan kajian dan menemukan adanya potensi yang sangat besar terjadinya korupsi dalam pengelolaan BPJS Ketenagakerjaan. Hasil kajian antara lain menemukan sejumlah potensi masalah dan kelemahan sistem dalam pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan. Beberapa hal bahkan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan kolusi di internal BPJS Ketenagakerjaan.

Mirah kembali mengingatkan pentingnya pengawasan dilakukan oleh semua pihak khususnya oleh serikat pekerja karena pekerja adalah pemilik dana amanat yang ada di BPJS Ketenagakerjaan. Dia menegaskan, jangan sampai terulang lagi Skandal Jamsostek yang terjadi pada tahun 2005, yang kasusnya berawal dari tindakan investasi pembelian surat utang jangka menengah (MTN) total senilai Rp311 miliar, yang dilakukan oleh Direksi PT Jamsostek secara melawan hukum, yang memperkaya diri sendiri atau orang lain serta mengakibatkan kerugian keuangan negara.

Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada 27 April 2006 memvonis Ahmad Djunaidi delapan tahun penjara. Atas putusan itu, Djunaidi mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. PT DKI Jakarta memvonis Djunaidi tetap delapan tahun penjara. Namun, jumlah denda dinaikkan dari Rp200 juta menjadi Rp500 juta.

Majelis banding juga menghapus uang pengganti kerugian korupsi yang harus dibayarkan Djunaidi sebesar Rp66,6 miliar. Sementara di tingkat Mahkamah Agung (MA), Djunaidi diputus delapan tahun penjara. Majelis kasasi MA yang dipimpin Hakim Agung Iskandar Kamil beranggotakan Rehngena Purba dan Artidjo Alkostar memutus perkara itu pada Februari 2007.

Selain vonis delapan tahun, MA mengharuskan Djunaidi membayar denda sebesar Rp 500 juta atau hukuman pengganti selama satu tahun. Dalam petikan putusan kasasi itu, disebutkan bahwa terdakwa terbukti melakukan korupsi.

Terkait beberapa penyimpangan ini, Mirah Sumirat juga mempertanyakan kelanjutan dari hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan terkait empat temuan penyimpangan atas laporan keuangan Jamsostek tahun 2011 senilai lebih dari Rp7 triliun. "Aspek Indonesia mendesak KPK untuk menindaklanjuti hasil temuan BPK tahun 2011 senilai lebih dari Rp7 triliun dimaksud," katanya.

Selain itu, kata dia, Aspek Indonesia juga meminta KPK untuk melakukan upaya yang maksimal demi melindungi ratusan triliun uang pekerja yang ada di BPJS Ketenagakerjaan. "Dengan karakter Direksi BPJS Ketenagakerjaan yang suka menafsirkan aturan sendiri, maka bukan tidak mungkin akan ditemukan praktik korupsi di internal BPJS Ketenagakerjaan," cetus Mirah.

Hal ini juga untuk menindaklanjuti hasil kajian KPK sendiri pada tahun 2014. "Aspek Indonesia SPEK Indonesia juga mengajak seluruh pihak yang peduli pada pencegahan dan pemberantasan korupsi, termasuk Indonesian Corruption Watch (ICW), untuk juga peduli pada pemasalahan ini, karena menyangkut dana ratusan triliun milik rakyat yang ada di BPJS Ketenagakerjaan dan sangat rawan dikorupsi," imbau Mirah.

INVESTASI MERUSAK LINGKUNGAN - Kecurigaan Aspek Indonesia atas tata cara pengelolaan dana pekerja oleh BPJS Ketenagakerjaan memang wajar. Pasalnya dalam beberapa kesempatan, selain kasus-kasus di atas, salah kelola dana pekerja di BPJS Ketenagakerjaan juga masih kerap terjadi.

Salah satunya adalah adanya dana pekerja yang diinvestasikan untuk proyek yang dinilai merusak lingkungan yaitu proyek pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia di kawasan Gunung Watuputih, Rembang, Jawa Timur. Berdirinya pabrik itu, oleh para aktivis lingkungan dan warga yang didukung para akademisi dinilai akan merusak kawasan Gunung Watuputih.

Ironisnya, BPJS Ketenagakerjaan justru menginvestasikan dana para pekerja untuk mendanai pembangunan PT Semen Indonesia. Hal itu diketahui dari dari Laporan Tahunan 2014 PT Semen Indonesia yang telah dipublikasikan melalui website resminya, www.semenindonesia.com, Kamis (23/4) lalu. Dana yang diinvestasikan itu adalah dana Jaminan Hari Tua yang saat ini tengah heboh diperbincangkan.

Dari laporan keuangan itu diketahui, BPJS Ketenagakerjaan masuk dalam 20 besar pemegang saham perusahaan tersebut. Bahkan, lembaga itu menjadi investor ketiga dengan jumlah saham terbesar, yakni sebanyak 156.661.700 lembar saham atau 2,69 persen, dari jumlah total semua saham sebanyak 5.931.520.000 lembar saham.

Setiap lembar saham itu bernilai Rp100 per lembar, sehingga total dana yang diinvestasikan oleh BPJS Ketenagakerjaan pada PT Semen Indonesia mencapai Rp15,666 miliar. Sedangkan pemilik saham terbanyak adalah Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan, dengan jumlah saham sebanyak 3.035.405.000 lembar saham atau 51,01 persen, dengan jumlah dana yang mencapai Rp303,54 miliar.

Masih dalam laporan tahunan yang sama, BPJS Ketenagakerjaan (sebelumnya Jamsostek) telah lebih dahulu mendanai PT Semen Indonesia. Pada tahun 2013, lembaga tersebut baru memiliki sebanyak 88.013.000 atau 1,48 persen. Jika dibandingkan dengan tahun 2014, angka itu naik sangat signifikan, hingga mencapai 68.648.700 lembar saham atau 56,18 persen, atau hampir dua kali lipat. Angka itu tentu saja sangat fenomenal, karena jumlahnya yang besar.

Disinilah imbauan Aspek Indonesia agar investasi BPJS Ketenagakerjaan agar dibuat transparan menemukan alasannya. Pasalnya, investasi seperti pada kasus PT Semen Indonesia dinilai justru akan membuat rakyat semakin menderita. Pabrik itu dinilai akan merusak lingkungan dan merampas lahan petani. Selain itu, pabrik semen tersebut juga dianggap akan mencemari 109 mata air yang menghidupi 600 ribu warga.

DANA PEKERJA HARUS JADI MILIK PEKERJA - Mirah Sumirat mengatakan, terbitnya PP 46/2015 tentang pencairan dana Jamina Hari Tua yang hanya dapat dilakukan setelah masa kepesertaan 10 tahun dan hanya bisa diambil 10% saja, serta sisanya baru bisa diambil setelah usia 56 tahun, membuktikan bahwa penyusun PP 46/2015 tidak memahami kondisi pekerja yang menjadi pemilik dana amanat yang sesungguhnya.

Penyusun PP 46/2015 dinilai Mirah juga mengabaikan hak pekerja yang menjadi peserta karena jika merujuk pada UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, khususnya Pasal 3 Ayat (3). Di situ tidak ada ketentuan tentang pembatasan 10% pencairan dana JHT.

"Penyusun PP 46/2015 menentukan besaran 10% tanpa melibatkan serikat pekerja dan menentukan sendiri seperti dana tersebut miliknya sendiri. Ini akibat dari mental pejabat yang orientasinya dilayani bukan orientasinya melayani, padahal yang dikelola adalah dana amanat milik pekerja," cetus Mirah.

Karena itulah, kata dia, Aspek menyerukan pencopotan Menteri Ketenagakerjaan dan Direksi BPJS Ketenagakerjaan pasca kisruhnya penerbitan PP tersebut. "Pejabat di kedua instansi tersebut telah mempermalukan Joko Widodo sebagai Presiden yang menandatangani PP 46/2015, karena Presiden harus merevisi PP 46/2015 satu hari setelah pemberlakuannya," kata dia.

Pembahasan rancangan PP 46/2015 pastinya melibatkan Kementerian Ketenagakerjaan dan Direksi BPJS Ketenagakerjaan. "Jadi tidak sekonyong-konyong ada di meja kerja Presiden," tegas Mirah Sumirat.

Terkait pengawasan atas penggunaan dana, kata dia, ada beberapa pintu masuk untuk melakukan pencegahan, pengawasan dan penindakan untuk mencegah penyimpangan. Pintu pertama adalah, prosedur dan transparansi investasi. Kedua, pengadaan barang dan jasa, antara lain pengadaan iklan televisi yang setahun ke belakang gencar dilakukan oleh Direksi BPJS Ketenagakerjaan.

"Iklan tersebut pasti bernilai miliaran dan ternyata hanya berisi pencitraan Direksi BPJS Ketenagakerjaan saja, tanpa sosialisasi program yang efektif," tegas Sumirat.

Ketiga adalah bisa dari kegiatan operasional BPJS Ketenagakerjaan, antara lain sosialisasi transformasi BPJS Ketenagakerjaan di seluruh Indonesia, yang ternyata juga tidak efektif. "Terbukti dari kisruh yang terjadi akibat diterbitkannya PP 46/2015," ujarnya.

Selain itu Mirah Sumirat juga meminta Direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk bertanggungjawab atas dihentikannya upah 86 pekerja BPJS Ketenagakerjaan secara sepihak oleh Direksi sejak bulan Mei 2015, tanpa dasar hukum yang jelas. Direksi bahkan juga menghentikan sepihak manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kematian dan Jaminan Kesehatan terhadap 86 pekerja dimaksud.

Sampai saat ini Aspek Indonesia masih mengadvokasi 86 pekerja dimaksud dan sudah melaporkan kasus ini ke Menteri Ketenagakerjaan. "Ini fakta yang dapat kami buktikan adanya pelanggaran UU Ketenagakerjaan yang dilakukan oleh Direksi BPJS Ketenagakerjaan. Direksi BPJS Ketenagakerjaan jangan suka main tafsir aturan sendiri!" pungkas Mirah Sumirat.

PENGAWASAN BERJALAN - Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G Masassya mengatakan, terkait masalah pengawasan dana pekerja, justru transformasi dari Jamsostek ke BPJS Ketenagakerjaan dapat membantu para pekerja dan keluarganya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

"Karenanya, pihak Kementerian mendukung penuh dan berkomitmen akan terus membantu pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan yang masih dalam tahap penyempurnaan. Baik aspek pelayanan bagi pekerja, kelembagaan, pengawasan ataupun regulasi," kata Elvyn kepada gresnews.com usai rapat koordinasi dengan Komisi IX DPR, Senin (6/7).

Untuk unit pengawas di BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn mengaku telah berkoordinasi dengan Ditjen Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan (PPK) Kementerian Tenaga Kerja dan Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI dan Jamsos).

"Memang perlu dibuat kebijakan khusus untuk mengatur masalah pengawasan ketenagakerjaan ini agar keduanya dapat berjalan secara efektif dan tidak terjadi tumpang tindih dalam menjalankan tugasnya. Tinggal dikoordinasikan dengan pengawas ketenagakerjaan yang selama ini berada di Kemenaker," paparnya.

Dengan kerjasama itu, Elvyn berpendapat, antara pengawas yang ada di BPJS Ketenagakerjaan dan Kementerian Tenaga kerja dapat berkoordinasi. Lebih lanjut, Elvyn menekankan ada tiga prinsip dasar yang harus menjadi patokan dalam penyelenggaraan BPJS Ketenagakerjaan.

Pertama, manfaat Jamsos yang diterima peserta tidak boleh berkurang dari sebelumnya. Kedua, pelayanan Jamsos yang selama ini berjalan tidak boleh berhenti. Ketiga, tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja terkait transformasi kelembagaan badan penyelenggara. "Pelayanan dan manfaat lebih baik, menjadi mutlak setelah transformasi BPJS Ketenagkerjaan beroperasi," tandasnya.

Sementara di tempat yang sama Dirjen Pembinaan, Pelatihan dan Produktivitas Ketenagakerjaan (PPK) Muji Handaya mengaku optimistis Kementerian Tenaga Kerja, Ditjen PPK dan BPJS Ketenagakerjaan dapat memberi manfaat lebih baik kepada peserta. "Apalagi, jaminan sosial yang akan dijalankan BPJS Ketenagakerjaan dinilai sebagai kebutuhan masyarakat saat ini," ujarnya di tempat yang sama. (Gresnews.com/Agung Nugraha)

BACA JUGA: