JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penurunan nilai ekspor berbagai produk Indonesia diprediksi akan terus terjadi melihat tren penurunan yang terjadi selama dua tahun berturut-turut yakni mulai tahun 2014 hingga tahun 2016 ini. Pemerintah menyatakan hal ini terjadi lantaran harga komoditas yang terus turun sehingga menyebabkan kontraksi pada nilai ekspor. Sebaliknya, ekportir menganggap regulasi pemerintah lah yang kurang mendukung.

Diketahui, nilai penurunan tahun 2015 sebesar 15 persen dari tahun 2014, dan tahun 2016 diprediksi akan turun 5 persen dari tahun 2015. Sektor perkebunan diketahui menjadi sektor yang paling terkena penurunan ekspor. Sejumlah pengusaha dari sektor ini mengeluhkan regulasi yang kurang mendukung.

"Salah satu faktor pengusaha tak tertarik ekspor karena regulasi pemerintahan," kata I Gede Putra Yasa, seorang pengusaha Kopi Luwak, kepada gresnews.com, Rabu (13/4).

Secara spesifik ia menyatakan, kurangnya pengetahuan terhadap produk ekspor menjadi salah satu penyebab regulasi yang kurang mendukung. Akibatnya, pemerintah banyak menyamaratakan harga.

Contohnya, kata Gede, terhadap komoditas kopi. "Mereka tak tahu jenis, grade dan cita rasa kopi tapi mereka pukul rata karena hanya mau tahu badan hukum dan aturan-aturan lainnya. Ini yang buat harga kopi jatuh," jelasnya.

Selain itu, standarisasi dan kendali mutu pun tidak ada, pemerintah dianggap membuat standarisasi sendiri dan hal itu berbeda dari kemauan pasar. Standarisasi pemerintah dianggap ngawur sehingga malah seperti tanpa standar

Menurutnya, untuk urusan ekspor seharusnya tidak dipegang pemerintah karena tidak tahu standarisasi pasar. "Mereka pukul grade-nya tapi tidak dengan cita rasa, jadi tak seimbang, kita butuh yang manajemen bukan pemerintah," katanya. Hal itulah yang menyebabkan banyak pengusaha ekspor juga menyelundupkan hasil ekspornya akibat regulasi yang tak mendukung.

Kopi memang merupakan salah satu komoditas ekspor yang tengah lesu darah. International Coffee Organization (ICO) mencatat produksi kopi di Indonesia terus menurun. Akibatnya, ekspor kopi juga ikut turun. Kondisi ini terjadi lantaran panen kopi pada akhir tahun terkendala karena cuaca yang kering panjang.

Dari data ICO, produksi kopi Indonesia sejak April 2014 sampai Maret 2015 diperkirakan mencapai 9 juta kantong, produksi tersebut turun 23% dibandingkan tahun sebelumnya. Satu kantong kopi memiliki berat 60 kilogram (kg). Dari sisi ekspor, ekspor kopi Indonesia turun hingga 5,6 juta kantong dari sebelumnya 10,2 juta.

Dalam hal ekspor, Indonesia mulai disalip Vietnam yang ironisnya pernah belajar menanam kopi ke Indonesia. Wakil Ketua Umun Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Pranoto Soenarto mengungkapkan, kurang terkenalnya kopi Indonesia, karena orang asing penyuka kopi lebih mengenal nama kopi daerah, bukan kopi Indonesia sebagai identitas nasional.

"Bukan kalah branding, tapi kopi kita yang kualitasnya sangat bagus beredar sebagai kopi dengan nama per daerahnya, bukan sebagai kopi Indonesia," kata Pranoto beberapa waktu lalu.

Karena itu wajar jika kopi Indonesia kalah populer. "Di kita banyak sekali Kopi Sulawesi, Kopi Toraja, Kopi Gayo, Kopi Jawa, Kopi Mandailing, dan lainnya. Kalau Brasil yah Kopi Brasil saja, Vietnam juga. Memang mereka punya merek, tapi branding-nya nasional," tambahnya.

Padahal, lanjut dia, Vietnam yang saat ini jadi produsen kopi terbesar dunia setelah Brasil pun malah belajar budidaya kopi dari Indonesia di tahun 1970-an. "Kopi kita sudah berkualitas sejak zaman VOC. Di bawa biji kopi oleh mereka dari Brasil ditanam di sini. Vietnam malah baru belajar dari kita di 1970-an, sekarang kita malah yang tertinggal dari mereka," tutup Pranoto.

HARGA KOMODITAS RONTOK - Pemerintah beralasan, turunnya nilai ekspor Indonesia dipicu turunnya harga komoditas ekspor di pasar internasional. Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Nus Nuzulia Ishak mengatakan, jika penurunan harga terus terjadi maka trend penurunan nilai ekspor ini akan berlanjut hingga tahun ini.

Nus memprediksi, nilai ekspor tahun 2016 akan mengalami penurunan sebesar 5 persen dari tahun 2015. Pada tahun lalu nilai ekspor diketahui mencapai US$142 miliar. "Ini karena kondisi ekonomi global belum terlalu baik sehingga ekspor 2016 terjadi kontraksi 0 sampai 5 persen," kata Nus.

Dia menegaskan, penurunan nilai ekspor terjadi karena turunnya harga komoditas. Ini menyebabkan kontraksi pada nilai ekspor, sebab pada dasarnya tidak ada penurunan volume ekspor. "Produk karet itu yang mengalami penurunan cukup tajam kemudian harga komoditas yang lain misal batubara," jelasnya.

Selain itu sektor komoditas perkebunan juga terjadi penurunan yang cukup tajam karena harga minyak dunia turun. Untuk diketahui, sekitar 60 persen produk ekspor Indonesia terdiri dari 10 komoditas utama yakni Crude Palm Oil, tekstil, karet, produk hutan seperti furnitur hingga makanan olahan, dan lain-lain. "Masalah penurunan, kalau volume tidak terjadi cukup tajam, tetapi karena nilai komoditas primer berdampak pada nilai ekspor," ujarnya.

Pada tahun 2015, kinerja ekspor Indonesia juga diklaim kurang menguntungkan lantaran terjadi penurunan sebesar 14 persen dibandingkan dengan total eskpor tahun 2014. Di dua bulan pertama tahun 2016 kinerja ekspor juga menurun hingga 14,3 persen dengan nilai US$21,7 miliar. "Ini menurun sekitar 14,3 persen dibandingkan periode yang sama di tahun 2015," katanya.

Walaupun terdapat klaim penurunan, ada juga kenaikan pada beberapa komoditas yang cukup signifikan. Misalnya saja sektor otomotif juga beberapa hasil manufaktur kapal laut. Pada  ekspor non migas sendiri nilainya mencapai US$19,56 miliar.

Nus mengatakan, untuk meningkatkan nilai ekspor, pemerintah akan memfasilitasi para eksportir yang ingin memasarkan produknya ke luar negeri. Dalam program yang disebut misi dagang, para pelaku usaha dapat memasarkan produk dalam negeri yang menjadi kebutuhan di negara tujuan.

Pihak Kementerian Perdagangan kemudian menjembatani antara para pelaku usaha dengan Kedutaan Besar di negara tujuan. Besaran dana yang akan diberikan Kementerian Perdagangan mencapai US$1.000 kepada setiap orangnya.

"Misi dagang biasanya koordinasi dengan KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) setempat. Kalau fasilitas dari kami sebagai Ditjen PEN (Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional) kami memberikan fasilitas seperti setiap peserta misi dagang kami berikan subsidi sebesar US$1.000," jelas Nus.

Komoditas yang dibawa dalam misi dagang merupakan produk yang dibutuhkan di negara tersebut. Hal ini bertujuan agar komoditas asal Indonesia dapat memenuhi kebutuhan negara-negara tertentu yang memiliki keterbatasan sumber daya. "Misalnya kemarin ke Oman mereka sukanya adalah elektrik, ada rubber good, process wood. Jadi sesuai apa yang diminta oleh negara tujuan," ujar Nus.

Dengan adanya Misi Dagang, diharapkan jaringan perdagangan ekspor Indonesia semakin luas sehingga dapat meningkatkan nilai ekspor dalam negeri. "Kita mencoba untuk networking, pelaku usaha kita sudah cukup bagus di negara tradisional. Mereka harus punya partner juga di negara modern, jadi networking," tutup Nus.

FASILITAS KREDIT - Selain itu, pemerintah juga berupaya mendongkrak jumlah eksportir dalam negeri dengan memberikan beberapa fasilitas bagi mereka yang ingin memasarkan produknya ke berbagai negara di dunia. Salah satunya adalah lewat pemberian Kredit Usaha Rakyat Berorientasi Ekspor (KURBE). Fasilitas itu diberikan melalui di Eximbank dengan hingga Rp50 miliar dengan tingkat suku bunga yang kompetitif.

"Tingkat suku bunga KURBE adalah 9% per tahun. Feature product KURBE untuk usaha kecil maksimal Rp25 miliar, menengah Rp50 miliar, jangka waktu 3 sampai 5 tahun," ujar Department Head Indonesia Eximbank Nila saat acara Gathering Primaniyarta di Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, Selasa (12/4).

Melalui Eximbank, para eksportir diberikan kemudahan dalam menambah biaya modal untuk menunjang ekspor. "Pembiayan yang sifatnya komersial khusus para pelaku ekspor. Jadi kami bisa menunjang kebutuhan terkait modal kerja maupun invetasi," terang Nila.

Melalui pinjaman tersebut, para pelaku ekspor juga mendapatkan fasilitas asuransi terkait risiko kegagalan usaha, kegagalan bayar, dan risiko politik si negara tujuan. "Produk yang kami miliki berupa asuransi, tidak common di lembaga perbankan. Kalau di tempat lainnya terpisah, kami bisa memberikan sekaligus fasilitas asuransi. Risiko kegagalan usaha, kegagalan bayar, risiko politik negara tertentu," tutur Nila.

Eximbank sebagai Bank BUMN menjalankan amanat UU Nomor 2 Tahun 2009 untuk memberikan pembiayaan ekspor nasional. "NIA (National Interest Account) mandat dari pemerintah untuk mendukung program ekspor nasional," pungkas Nila.

Untuk mendapatkan pinjaman tersebut, eksportir cukup melengkapi beberapa persyaratan yang cukup terbilang mudah. "Syarat pemenuhan debitur KURBE mengajukan surat permohonan dan legalitas perusahan," tutup Nila. (dtc)

BACA JUGA: