JAKARTA, GRESNEWS.COM - Proyek reklamasi Pantai Pluit, Jakarta terus berjalan. Kendati tak mengantongi izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan PT Muara Wisesa Samudra (MWS), anak usaha PT Agung Podomoro Land Tbk telah menjadwalkan pembangunan pulau G seluas 160 hektare. Muara Wisesa merasa cukup mengantongi izin dari Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk memulai pembangunan pulau G di Pantai Utara Jakarta  pada akhir 2015 dengan biaya Rp 4,9 triliun pembangunan pulaunya saja.

Dalam rapat kerja antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan Komisi IV , Selasa (15/9), anggota dewan mempertanyakan sikap Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti terkait masalah reklamasi pantai ini di berbagai daerah termasuk di Jakarta. Susi menjelaskan bahwa kementeriannya tak kuasa membendung reklamasi-reklamasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Pemda). Izin reklamasi dikeluarkan oleh Pemda, bukan oleh KKP.

"Nggak bisa kita tindak (reklamasi pantai), persoalannya daerah yang ngasih izin," kata Susi usai rapat kerja dengan Komisi IV di Gedung DPR, Jakarta.

Sejatinya KKP yang berwenang memberikan izin pelaksanaan untuk reklamasi pantai. Namun,  kenyataannya kewenangan KKP ini tak bertaji karena reklamasi tetap dapat berjalan dengan hanya mengantongi izin dari Pemda. Akibatnya, banyak reklamasi pantai yang sebenarnya merusak sumber daya perikanan tetapi tetap dijalankan terus.

Susi mengeluhkan ketiadaan wewenang KKP untuk menghentikannya. "Makanya saya bilang, KKP punya izin pelaksanaan, tetapi apa pun suara kita tidak digubris. Nggak bisa ngapa-ngapain, impoten," keluhnya.

Dalam kasus reklamasi pantai di Jakarta, sempat terjadi perbedaan pandangan antara KKP dengan Pemda DKI Jakarta. Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan perpanjangan izin reklamasi berdasarkan Keppres Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Sementara itu KKP menegaskan proyek tersebut harus mendapatkan izin dari Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) karena masuk kawasan strategis nasional (KSN).

KKP mengacu pada UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Untuk pesisir pantai kurang dari 12 mil dan bukan termasuk kawasan strategis nasional, sehingga setiap perizinan di zona ini menjadi wewenang gubernur atau pemda. Sedangkan untuk zona atas 12 mil sampai 200 mil menjadi kewenangannya menteri kelautan dan perikanan. Menurut pihak KKP, pesisir Teluk Jakarta masuk dalam KSN, sehingga kewenangan perizinannya ada di KKP meski zonasinya di bawah 12 mil dari pantai.

MENOLAK REKLAMASI -  Susi, menteri asal Pangandaran tersebut punya alasan tersendiri sehingga tetap konsisten keberatan soal reklamasi. Menurutnya, sebuah proyek pembangunan reklamasi dapat mendatangkan berbagai konsekuensi berupa efek domino terhadap kawasan di sekitarnya. "Sah-sah saja kalau dampak lingkungannya diperhitungkan dan diikuti prosedurnya," kata Susi di gedung KKP, Rabu (16/9).

Susi menilai, persoalan reklamasi utamanya terkait dengan masalah pembuangan tempat wilayah air. Reklamasi melibatkan aktifitas pengerukan dalam hal ini penggalian atau pengambilan tanah dan batuan dasar baik di daratan maupun di bawah air. Sehingga, kata dia, bilamana wilayah air dikeruk atau diambil maka harus ada penggantinya.

"Saya belum tahu kondisinya. Namun, berdasarkan hasil kajian Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KKP,  kita sudah memprediksi itu akan ada degradasi lingkungan," ujarnya.

Menurut Susi, menyangkut hal perizinan dan prosedur perlu melibatkan berbagai pemerintah lintas lembaga. Seluruh pemerintah terkait, lanjut Susi, perlu duduk bersama untuk mengantisipasi konsekuensi dari degradasi lingkungan yang dihasilkan dari adanya pembangunan reklamasi.

Sesuai Pasal 1 (ayat) 24 Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah mewajibkan prosedur perizinan melalui analisis mengenai dampak lingkungan hidup dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.

MENGGUGAT KE PTUN - Keberatan akan reklamasi juga datang dari sejumlah aliansi dan pemerhati masyarakat nelayan yang tergabung dalam Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia  (KNTI) baru-baru ini mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN).

"Kami gugat Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang pemberian izin reklamasi Pulau G," kata Ketua Dewan Pimpinan KNTI Jakarta Muhammad Taher dihubungi gresnews.com, Jumat (18/9).

Gugatan tersebut sebagai bentuk protes pengadaan proyek reklamasi yang selama ini dianggap membawa potensi buruk bahkan kerugian bagi masyarakat pesisir maupun nelayan. Taher menegaskan, segala upaya akan ditempuh untuk menolak proyek tersebut karena efek domino dan ancamannya bagi eksistensi profesi nelayan tradisional di teluk Jakarta.

Terkait berlakunya surat perizinan reklamasi, Taher menilai sebagai salah satu bentuk ketidakpedulian pemerintah terhadap masyarakat nelayan. Menurutnya, statement maupun wacana soal upaya pemerintah mengkaji ulang proyek tersebut hingga kini tidak terealisasi. "Proses kajian itu tidak ada sementara proses pengerukan berjalan terus," tegasnya.

Poin tuntutannya, lanjut dia, mempersoalkan sekaligus mempertanyakan SK Gubernur Jakarta yang tetap memberikan ruang bagi reklamasi. Sebab, Ia menilai tidak ada sinergi dan sinkronisasi antara Pemprov DKI dan pemerintah pusat dalam hal ini KKP. "Bisa-bisanya proyek itu berjalan sementara KKP masih belum memberikan izin," katanya.

Berdasarkan aturan, KKP sebagai perwakilan pemerintah pusat memiliki kewenangan dalam mengendalikan kegiatan pengelolaan pesisir. Pasal 1 (ayat) 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebutkan bahwa kawasan strategis nasional tertentu adalah kawasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional.

REKLAMASI ANCAM NELAYAN - Proyek reklamasi dinilai sudah semakin nayata mengancam kehidupan nelayan. Bahkan, Taher sebagai perwakilan nelayan tradisional Jakarta menyebut saat ini nelayan semakin sulit akibat pengerukan lahan untuk reklamasi. Sesekali nelayan pun nekat mencari ikan ditengah air keruh hasil pembuangan limbah industri proyek reklamasi.

Disamping itu, pembangunan reklamasi membuat ruang gerak nelayan semakin sempit. Selain area tangkap, ungkap Taher, nelayan juga mendapat ancaman dan pengusiran dari petugas ketika hendak melaut. Ia enggan berkomentar dan memberitahukan identitas petugas maupun oknum tersebut. "Petugas mungkin suruhan perusahaan," ungkapnya.

Lebih lanjut, ada berbagai keluhan dari nelayan di Teluk Jakarta sejak lahan tangkapnya dikapling untuk kepentingan bisnis. Taher menuturkan, reklamasi khususnya di teluk Jakarta dalam lima tahun belakangan telah menyulitkan banyak nelayan.

"Biasanya, sebelum direklamasi hasil tangkapan nelayan masih cukup baik. Satu hari melaut, nelayan bisa memperoleh penghasilan Rp 300 ribu - Rp 500 ribu di luar biaya transportasi. Namun, sekarang per bulan pendapat nelayan cuma Rp 30 ribu. Memang sangat turun drastis," keluhnya.

Proyek reklamasi diprediksi mengancam cukup banyak nelayan. Berdasarkan data yang dihimpun, sebut Taher, total nelayan ada sekitar 16.855 KK yang bermukim di teluk Jakarta termasuk Kepulauan Seribu. Namun, yang saat ini paling terkena dampak langsung mencapai 8.000 nelayan di teluk Jakarta seperti Muara Angke, Muara Baru, Kalibaru dan Marunda. Taher berharap kondisi laut dapat dikembalikan seperti dulu sebagai ladang kehidupan nelayan. Untuk alih profesi, menurutnya tidak mungkin terjadi karena sudah merupakan profesi secara turun-temurun. (dtc)

BACA JUGA: