-
Sistem Peradilan Belum Berpihak pada Anak
Kamis, 23/07/2020 17:06 WIBSelain Hukum Pelaku Perdagangan Anak, Rehabilitasi Korban Tak Kalah Penting
Sabtu, 25/01/2020 14:18 WIBKasus Anak Berhadapan dengan Hukum Terbanyak Dilaporkan ke KPAI
Sabtu, 18/01/2020 15:12 WIBAnak-Anak Masih Berada dalam Bayang-Bayang Penjara
Rabu, 20/11/2019 12:30 WIBLPSK: Kasus Anak Tewas di PLAT Pontianak Perlu Diproses Hukum
Senin, 29/07/2019 23:17 WIBPasal Penjerat Pelaku Pornografi
Rabu, 07/03/2018 07:30 WIBPornografi adalah ancaman besar bagi bangsa ini. Bagaimana bentuknya? Apa saja pasal untuk menjerat pelakunya?
Simak selengkapnya dalam video ini.
Buat yang Masih Bingung soal Hak Asuh Anak
Senin, 12/02/2018 09:01 WIBMasih bingung soal Hak Asuh Anak? Bagaimana hukum di Indonesia mengaturnya? Bagaimana kedudukan suami dan istri dalam kasus-kasus semacam ini? Video ini menjelaskan secara ringkas dan jelas.
Keputusan Terbaik: Ahok-Vero Damai
Jum'at, 02/02/2018 15:55 WIBBasuki Tjahaja Purnama (Ahok) menggugat cerai istrinya, Veronica Tan (Vero). Sidang perdana akan berlangsung Rabu, 31 Januari 2018 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, dengan agenda mediasi. Bisakah keduanya berdamai?
Simak selengkapnya dalam video ini.
Mendorong Industri Pariwisata dan Perhotelan Memiliki Standar Hak Asasi Manusia
Minggu, 21/01/2018 08:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Keberhasilan Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat dalam mengungkap kasus eksploitasi seksual komersial yang melibatkan tiga orang anak laki-laki bersama dua perempuan dewasa melalui pembuatan video porno yang diduga dilakukan di salah satu hotel di Bandung patut diapresiasi.
"Keberhasilan Polda Jabar mengungkap kasus ini menunjukkan keseriusan Kepolisian RI dan Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi eksploitasi dan kekerasan terhadap anak," kata Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyu Wagiman, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Minggu (21/1).
Terungkapnya kasus eksploitasi seksual anak di Bandung ini memperlihatkan kerentanan anak-anak dari eksploitasi seksual komersial dengan memanfaatkan medium internet. Lebih jauh, pelibatan anak dalam eksploitasi seksual komersial tersebut juga menunjukkan kerentanan anak ketika berhadapan dengan orang dewasa.
"Faktor relasi kuasa yang tidak seimbang antara anak dan orang dewasa merupakan salah satu penyebab terjadinya eksploitasi anak, sehingga anak-anak tersebut tidak dapat menghindar dari paksaan dan ancaman yang dialaminya," tegas Wahyu.
Salah satu orang tua korban turut serta melakukan tindakan eksploitatif tersebut. Wahyu mengatakan, hal ini dapat terjadi karena anak seringkali dianggap sebagai aset bagi keluarga untuk memperbaiki perekonomian keluarga. "Motivasi untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi seringkali menjadi latar belakang anak dilibatkan dalam kasus eksplotasi seksual, seperti pornografi anak," ujarnya.
Dalam konteks hak asasi manusia, kasus pembuatan video pornografi yang melibatkan anak merupakan eksploitasi seksual anak. Eksploitasi seksual terhadap anak-anak berarti penggunaan anak-anak untuk kepuasan seksual oleh orang dewasa. "Bentuk utama eksploitasi seksual komersial anak, seperti pelacuran anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual," papar Wahyu.
Dalam kasus pembuatan video pornografi yang melibatkan anak di Bandung, yang dikenal sebagai tempat tujuan wisata, kasus tersebut juga menunjukkan adanya penggunaan fasilitas hotel untuk melakukan tindakan eksploitasi tersebut. Eksploitasi seksual komersial anak juga telah dilarang dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional.
Instrumen hukum itu diantaranya Konvensi Hak Anak, dan Protokol Opsional tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan Pornografi Anak, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Kemudian, Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisir dengan Protokol Khusus untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak.
Konvensi ILO 182 mengakui pelacuran anak dan pornografi anak sebagai salah satu bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. "Larangan tersebut juga dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, seperti undang-undang tentang perlindungan anak, undang-undang tentang pornografi, dan undang-undang tentang informasi dan transaksi elektronik," terang Wahyu.
Penggunaan hotel dalam kasus eksploitasi seksual komersial anak di Bandung dalam konteks hak asasi manusia merupakan bentuk keterlibatan terhadap dampak hak asasi manusia bukan karena aktivitas hotel atau berkontribusi secara langsung terhadap dampak yang merugikan hak asasi manusia. Keterlibatan tersebut disebabkan layanan jasa hotel tersebut menjadi sarana (lokus) terjadinya tindakan eksploitasi seksual terhadap anak.
Hotel merupakan salah satu penunjang industri pariwisata Indonesia. Hotel sebagai sarana akomodasi umum sangat membantu para wisatawan yang sedang berkunjung untuk berwisata dengan nyaman dana man. Sehingga industri perhotelan dengan industri kepariwisataan memiliki kaitan yang erat. Hotel merupakan sarana pokok kepariwisataan (main tourism superstructure) yang berarti hidup dan kehidupannya sangat tergantung pada jumlah wisatawan yang datang.
Sehingga, terang Wahyu, apabila hotel digunakan untuk tindakan-tindakan yang melanggar hukum seperti eksploitasi seksual anak, akan mengganggu keamanan dan kenyamanannya wisatawan. "Akibatnya jumlah wisatawan yang datang dan menginap di hotel akan berkurang dan merugikan industri pariwisata Indonesia," ujarnya.
Keterlibatan hotel dalam hal ini bertentangan Kode Etika Global Untuk Pariwisata (Global Code Of Ethics For Tourism) yang diadopsi melalui resolusi A / RES / 406 (XIII) Majelis Umum Organisasi Pariwisata Dunia (World Tourism Organization) yang ketigabelas pada 27 September-1 Oktober 1999, di Santiago, Chili). Pasal 2 Ayat (3) kode etik itu menegaskan, eksploitasi manusia dalam bentuk apapun, terutama seksual, terutama bila diterapkan pada anak-anak, bertentangan dengan tujuan mendasar pariwisata dan merupakan negasi terhadap pariwisata.
Mencermati kasus eksploitasi seksual komersial anak di Bandung yang memanfaatkan layanan korporasi sektor pariwisata, maka ELSAM dan ECPAT Indonesia mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan beberapa langkah. Pertama, melaksanakan Peraturan Menteri Tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan Eksploitasi Anak di Lingkungan Pariwisata melalui pengawasan yang insentif dalam rangka mencegah pemanfaatkan hotel sebagai sarana untuk melakukan eksploitasi seksual komersial anak.
Kedua, membentuk sistem yang sinergis dari pihak-pihak terkait agar tercipta upaya pencegahan eksploitasi seksual anak di lingkungan pariwisata. Ketiga, mendorong korporasi untuk mengembangkan kebijakan dan prosedur untuk melawan eksploitasi seksual terhadap anak. Keempat, mendorong industri pariwisata untuk mengembangkan strategi dan komitmennya terhadap hak asasi manusia.
Kelima, mendukung kolaborasi dan keterlibatan para pemangku kepentingan industri pariwisata dalam pencegahan eksploitasi seksual terhadap anak, termasuk keterlibatan Komnas HAM dan LPSK untuk memberikan pemulihan terhadap korban.
Di samping itu, ELSAM dan ECPAT Indonesia mendesak agar Badan Pimpinan Pusat (BPP) Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI) untuk mengambil langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, mendorong seluruh anggota untuk mengadopsi Prinsip-Prinsip Panduan mengenai Bisnis dan Hak Asasi Manusia sesuai dengan karakteristik industri pariwisata.
Kedua, mendorong seluruh anggota untuk meningkatkan kapasitas karyawan mengenai prinsip-prinsip hak asasi manusia, termasuk hak perempuan dan hak anak, pencegahan eksploitasi seksual dan cara-cara penanganan kasus eksploitasi seksual komersial anak.Ketiga, mendorong seluruh anggotanya untuk mengembangkan kebijakan hak asasi manusia, termasuk dan prosedur untuk melawan eksploitasi seksual terhadap anak; melakukan uji tuntas hak asasi manusia untuk mencegah eksploitasi seksual komersial anak. Keempat, mendorong seluruh anggotanya untuk mengembangkan mekanismse pemulihan yang efektif, mudah diakses, dan responsif dengan karakteristik anak yang menjadi korban. (mag)
Kekerasan Seksual Pada Anak, Momentum Kedepankan Rehabilitasi Korban
Senin, 15/01/2018 09:00 WIBTerkait kasus kekerasan seksual terhadap anak misalnya, pemerintah kembali menghadirkan wacana pemberian hukuman kebiri kepada pelaku dan bukan pemberian layanan yang maksimal kepada korban.
KPAI: Waspada Kejahatan Seksual di Tahun Baru
Minggu, 31/12/2017 07:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta masyarakat untuk waspada terhadap kejahatan seksual kepada anak pada malam tahun baru. Untuk itu, KPAI mengimbau agar masyakaray mengawasi hotel atau wisma selama perayaan tahun baru 2018.
Ketua KPAI Santoso mengatakan, tempat-tempat itu rentan dimanfaatkan pelaku kejahatan seksual untuk melancarkan aksinya. "Sebagian kelompok sosial menyambut perayaan tahun baru dengan euforia bahkan rentan mengarah kepada kejahatan seksual. Menginap di area wisata, dalam sejumlah kasus, bagi pelaku kejahatan seksual dijadikan momentum untuk melancarkan aksinya," ujar Santoso, Sabtu (30/12).
KPAI meminta perhatian dan dukungan semua pihak termasuk manajemen hotel maupun penginapan untuk lebih selektif dalam memberikan promo. Agar tidak disalahgunakan oleh oknum pelaku kejahatan seksual.
"Hotel, penginapan, wisma, losmen, cottage, villa jangan sekali-kali memberikan promo khusus, diskon khusus, untuk kepentingan pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Perketat manajemen layanan agar anak tidak dijadikan obyek seksual oleh para pelaku kejahatan," paparnya.
Lebih lanjut, Santoso meminta pemerintah daerah untuk bersikap tegas bila ada hotel maupun tempat penginapan yang melanggar. "Maka jika ada hotel, villa, wisma, losmen, cottage, memberikan diskon khusus untuk menfasilitasi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Agar pemerintah daerah tegas memberikan punishment, jika perlu cabut izinnnya," tambah Santoso.
Akhir kata, KPAI mengimbau agar momentum pergantian tahun disambut dengan hal-hal yang berbau positif. Dirinya berharap agar Indonesia ramah anak dapat segera terwujud di tahun baru 2018.
"Kami berpesan bahwa momentum tahun baru harus disambut dengan positif, tatap tahun 2018 dengan visi besar, harapan besar dan langkah besar, bukan hura hura, apalagi euforia yang justru menodai spirit positif tahun baru," katanya. (dtc/mag)Anak Korban Tindak Pidana Bisa Minta Ganti Rugi
Rabu, 01/11/2017 19:11 WIBPemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2017 pada 16 Oktober 2017 tentang restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana. Korban dapat meminta ganti rugi kehilangan materiil hingga pergantian biaya medis dan psikologis.
"Yang bisa dituntut dari restitusi adalah ganti kerugian atas kehilangan kekayaan, akibat tindak pidana, dan pergantian biaya medis dan psikologis," ujar Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak Hasan di kantor LPSK, Jalan Raya Bogor, Jakarta Timur, Rabu (1/11).
Untuk mengajukan restitusi, pemohon dapat menunjukkan identitas korban dan pelaku, uraian peristiwa yang dialami, uraian kerugian yang diderita, serta besaran atau jumlah restitusi yang hendak diajukan.
"Nanti penyidik setelah memberikan penjelasan kepada pihak korbannya, nanti korban bisa melengkapi syarat-syarat yang ditentukan dalam mengajukan restitusi. Korban harus melengkapi dalam waktu 3 hari," kata Hasan.
Jaksa penuntut umum dan penyidik juga dapat berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) jika korban mengalami kerugian psikis. Korban melalui LPSK juga dapat mengajukan restitusi ke pengadilan.
"Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku pidana," ujar Ketua (LPSK) Abdul Haris Semendawai.
Nantinya hasil penilaian LPSK akan dilampirkan di berkas perkara jaksa penuntut umum dan akan diajukan ke tahap penyidikan. Penuntut umum juga dapat mengajukan penilaian besaran permohonan restitusi kepada LPSK.
"Permohonan restitusi bisa diajukan sebelum atau sesudah putusan pengadilan. Sebelum putusan, diajukan melalui tahap penyidikan atau penuntutan," ucap Haris.
Tindak pidana yang diatur dalam PP Nomor 43 Tahun 2017 adalah anak yang berhadapan dengan hukum, korban eksploitasi ekonomi atau seksual, korban pornografi, korban penculikan atau perdagangan orang, korban kekerasan fisik atau psikis, serta korban kejahatan seksual. (dtc/mfb)Implementasi PP Restitusi Anak Korban Butuh Kemauan Aparat Penegak Hukum
Rabu, 25/10/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Pada tanggal 17 Oktober 2017 lalu, Presiden Joko Widodo telah menandatangi sebuah regulasi baru terkait restitusi korban tindak pidana khususnya terkait anak korban. Peraturan Pemerintah dengan Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana (PP Restitusi Anak Korban) memiliki muatan 23 Pasal.
Regulasi ini dimandatkan berdasarkan ketentuan Pasal 71D Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. PP ini merupakan 1 dari 5 Peraturan Pemerintah yang harus dibuat oleh Pemerintah dalam pelaksanaan UU Perlindungan Anak, setelah sebelumnya Pemerintah baru mengesahkan 1 PP dibawah UU Perlindungan Anak, yaitu PP No 54 tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak. Aturan ini akan melengkapi mekanisme ganti rugi dan restitusi baik di KUHAP dan UU TPPO, UU PKDRT dan UU No 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Terkait terbitnya PP Restitusi Anak Korban, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menegaskan, mendukung langkah-langkah pemerintah dalam menyusun legislasi yang memperkuat hak-hak korban tindak pidana. "Diharapkan regulasi ini akan menutup celah kosong pelaksanaan restitusi atau ganti kerugian bagi korban tindak pidana anak yang dibebankan kepada pelaku," kata Peneliti ICJR Maidina Rahmawati, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Rabu (25/10).
Dalam PP ini, restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya. Dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa setiap anak yang menjadi korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi mencakup (a). Anak yang berhadapan dengan hukum; (b). Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; (c). Anak yang menjadi korban pornografi; (d). Anak korban penculikan, penjualan dan/atau perdagangan; (e). Anak korban kekerasan fisik dan (f) Anak korban kejahatan seksual.
Muatan Restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana (Pasal 3) berupa: (a). ganti kerugian atas kehilangan kekayaan; (b). ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana; dan/atau (c). penggantian biaya perawatan dan/atau psikologis. "Pemberian restitusi tersebut, selain sebagai penggantian biaya yang dikeluarkan juga dimaksudkan untuk meringankan penderitaan dan menegakkan keadilan bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagai akibat terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku," terang Maidina.
Dalam PP ini, restitusi dapat diajukan oleh orang tua atau wali anak yang menjadi korban; atau ahli waris anak yang menjadi korban; atau orang yang diberi kuasa oleh orang tua, wali, atau ahli waris anak yang menjadi korban, permohonan juga dapat diajukan oleh lembaga. Permohonan restitusi diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai kepada pengadilan.
Dalam PP itu juga diatur, permohonan restitusi kepada pengadilan yang diajukan sebelum putusan pengadilan dapat diajukan kepada penyidik dalam tahap penyidikan; ataupun kepada penuntut umum pada tahap penuntutan. Permohonan Restitusi juga dapat diajukan melalui LPSK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Maidina mengakatan, ICJR menilai, salah satu kelebihan PP ini adalah dapat mendorong partisipasi aparat penegak hukum (penyidik dan penuntut) untuk mendorong terlaksananya restitusi bagi korban. Dalam Pasal 9 dan Pasal 14 diatur ketentuan bahwa penyidik dan penuntut umum dapat memberitahukan tentang hak mengajukan restitusi kepada korban, walaupun semestinya aturannya harus mewajibkan penyidik dan penuntut umum untuk memberitahukan hak ini kepada korban.
"PP ini juga mengatur tentang teknis pelaksanaan restitusi yang dilakukan oleh jaksa. ICJR memandang bahwa hal ini merupakan satu langkah maju," tegas Maidina.
Selama ini umumnya, aparat penegak hukum tidak terlalu mendorong pelaksanaan restitusi, kecuali dalam hal restitusi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Butuh dorongan yang kuat untuk meningkatkan minat aparat penegak hukum dalam memfasilitasi restitusi korban. Disamping itu PP ini juga memberikan mandat yang kuat kepada Lembaga perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk membantu menilai kerugian yang dimohonkan (Pasal 13 dan Pasal 17). Mandat ini harus dilaksanakan LPSK secara maksimal tanpa syarat.
Meski begitu, kata Maidina, ICJR juga memberikan beberapa catatan atas PP tersebut. Pertama, syarat administratif bagi permohonan restitusi anak korban cukup memberikan beban baru bagi korban atau keluarga korban. "ICJR melihat berbagai syarat administrasi yang seharusnya tidak dibebankan kepada korban, hal tersebut seharusnya difasilitasi oleh aparat penegak hukum," ujarnya.
Dalam PP ini pada Pasal 7 diatur bahwa Pengajuan permohonan Restitusi yang diajukan oleh pihak korban, paling sedikit harus memuat: identitas pemohon; identitas pelaku; uraian tentang peristiwa pidana yang dialami; uraian kerugian yang diderita; dan besaran atau jumlah restitusi. Permohonan restitusi juga harus melampirkan: fotokopi identitas anak yang menjadi korban pidana yang dilegalisasi oleh pejabat berwenang; bukti kerugian yang sah; fotokopi surat keterangan kematian yang telah dilegalisasi pejabat yang berwenang jika anak yang menjadi korban tindak pidana meninggal dunia; dan bukti surat kuasa khusus jika permohonan diajukan oleh kuasa orang tua, wali, atau ahli waris Anak yang menjadi korban tindak pidana.
"Jika dilihat, syarat-syarat tersebut dapat dikatakan terlalu banyak dan menyulitkan korban tindak pidana dalam hal ini anak dan, atau orang tua. Syarat-syarat tersebut akan menjadi beban ganda korban untuk mengajukan permohonan restitusi," kata Maidina.
Misalnya syarat: identitas pelaku, uraian tentang peristiwa pidana yang dialami. "Syarat-syarat ini seharusnya difasilitasi dan disediakan oleh aparat penegak hukum dan LPSK untuk menjamin dapat terlaksananya restitusi tersebut," ujarnya.
Kedua, dalam praktik saat ini, tidak ada jaminan bahwa restitusi bisa segera dibayarkan kepada korban. Yang biasanya terjadi adalah bahwa pelaku tidak mau membayar dan tidak sanggup membayar.
Dalam monitoring ICJR, sangat jarang pelaku mau membayarkan restitusi, kecuali dalam kasus Tindak pidana Perdaggangan Orang (TPPO, hal ini dikarenakan ada mekanisme pemaksa yang dapat diberikan kepada pelaku, misalnya perampasan aset. "Sedangkan dalam restitusi di luar TPPO, umumnya pelaku yang tidak mau membayar hanya dikenakan pidana subsider penjara 2-3 bulan," papar Maidina.
Dengan adanya sutuasi ini maka pada implementasinya, korban tetap tidak dapat memperoleh ganti kerugian secara finansial. Sayangnya, PP ini pun masih belum memberikan solusi atas situasi tersebut.
Harusnya pengaturan dalam PP ini memuat tentang solusi apabila restitusi tersebut tidak dibayarkan, apakah dengan mekanisme perampasan aset ataupun mekanisme kompensasi seperti yang diatur dalam PP No 44 tahun 2008. "ICJR mengingatkan pemerintah untuk tidak hanya fokus kepada restitusi namun harus berupaya untuk memberlakukan kompensasi bagi korban, karena mekanisme restitusi sangat bergantung pada pelaku, pengadilan dan sangat sulit diakses oleh korban, dalam hal ini korban anak," urainya.
Oleh karena itu, ICJR merekomendasikan beberapa hal. Pemerintah sesegerakan mungkin mengefektifkan sosialisasi PP ini kepada korban, keluarga korban ke seluruh wilayah Indonesia agar akses atas restitusi ini dapat diketahui oleh korban dan keluarga korban yang saat ini kasusnya sedang disidik kepolisian ataupun dalam proses penuntutan ataupun kasus yang sudah diputus
"Kedua, mendorong aparat penegak hukum aktif dan responsif dalam mendukung permohonan korban atas hak restitusi dan harus memfasilitasi kebutuhan korban khususnya dalam administrasi permohonan," pungkas Maidina (mag)Hari Anak Nasional, KPAI Sorot Masalah Bullying
Minggu, 23/07/2017 14:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Memperingati Hari Anak Nasional, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti maraknya kasus perundungan (bullying), terorisme dan kejahatan siber. Ketua KPAI Asrorun Ni´am Soleh mengatakan, ketiga kejahatan itu merupakan suatu kasus serius yang harus memperoleh priorotas dalam penanganannya.
Asrorun mengatakan, masalah-masalah ini bisa ditangani dengan revolusi mental yang dimulai dari pemenuhan hak dasar seseorang anak. "Komitmen penyelenggaraan perlindungan harus menjadi kesadaran kolektif kita. Membangun revolusi mental harus dimulai dari pemenuhan hak dasar anak dan perlindungan khusus dari kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi," kata Asrorun dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (22/7).
Menurutnya walaupun ada kemajuan dalam penyelenggaraan perlindungan anak, kasus pelanggaran anak masih dianggap kompleks. Kasus pelanggaran anak mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, pada tahun 2014 mencapai 5.066 kasus, tahun 2015 sebanyak 4.309 kasus dan tahun 2016 mencapai 4.620 kasus.
"Anak menjadi korban dan pelaku kekerasan masih menjadi persoalan serius. Kasus bullying, anak menjadi korban terorisme dan anak korban cyber serta pornografi menjadi cacatan penting. Khusus pornografi merupakan kasus yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Data tahun 2016, anak korban pornografi mencapai 587 kasus. Hal ini menduduki rangking ke-3 setelah kasus anak berhadapan dengan hukum mencapai 1.314 kasus dan kasus anak dalam bidang keluarga 857 kasus," jelasnya.
Dia juga menyampaikan, maraknya kasus bully dalam lingkup pendidikan diperlukan langkah-langkah perfentif, antisipatif, serta rehabilitatif. Maka, KPAI meminta Mendikbud serius dalam melakukan pencegahan dan menanggulangi langkah radikal dalam satuan pendidikan.
"Pemerintah memiliki janji yang terhutang untuk penerbitan Peraturan Presiden tentang Pencegahan dan Penanggulangan terhadap perundungan di satuan pendidikan. Leading sectornya adalah Kemdikbud, dan hingga kini belum selesai. Keberulangan terjadinya perundungan, secara langsung atau tidak langsung, diakibatkan lambannya Kemdikbud menyelesaikan aturan ini," tutur Asrorun.
Pelaku kekerasan yang tergolong dalam usia anak-anak harus memperoleh penanganan khusus dengan melakukan pendekatan pemulihan, atau restoratif. Jangan sampai pendekatan yang digunakan malah mematikan masa depan anak, menghilangkan hak dasarnya, serta mendorong anak untuk terus melakukan tindakan salah tanpa pemulihan.
"Kebijakan tidak boleh emosional, seperti memecat atau mencabut KJP dan sejenisnya. KPAI meminta pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar serius melakukan langkah radikal untuk mencegah dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran anak. Apalagi dalam UU Pemerintahan daerah, perlindungan anak merupakan kewenangan wajib pemerintah daerah," imbuhnya.
"KPAI juga meminta semua pihak untuk membangun budaya ramah anak sejak usia dini. Pola pengasuhan positif perlu dikembangkan sebagai langkah prefentif. Selain itu, masyarakat agar tidak abai atas potensi pelanggaran anak di lingkungannya, karena kapanpun dan dimanapun kekerasan dapat terjadi," sambungnya.
Terkait terorisme dan kejahatan siber, Asrorun mengatakan, negara juga harus memastikan proteksi agar anak tidak terpapar pornografi, radikalisme, serta kejahatan lainnya yang berbasis cyber. "Intervensi pencegahan dan penanganan terhadap anak masih menjadi pekerjaan rumah. Banyak lembaga layanan berbasis masyarakat, namun mengalami kendala SDM, pembiayaan, bahkan sarana dan prasarana layanan. Dampaknya, maraknya korban pelanggaran anak di berbagai titik daerah kurang mendapatkan layanan penyelesaian secara komprehensif," ujarnya.
Maka diharuskan perlindungan anak berbasis masyarakat bisa berjalan dengan baik, agar kasus kejahatan dan pelanggaran anak di masyarakat bisa ditekan dan pembudayaan ramah anak bisa ditumbuhkan. Menurutnya, respons publik terhadap isu anak ini juga semakin baik, namun spirit perlindungan anak belum sepenuhnya berjalan.
"Banyak viral kasus anak, dishare ke berbagai kalangan dengan semangat agar mendapatkan atensi. Padahal, penyebaran video kekerasan anak merupakan pelanggaran hukum. KPAI meminta untuk tidak terus memviralkan video kekerasan, bullying, karena akan semakin merugikan anak, baik korban maupun pelaku," tegas Asrorun. (dtc/mag)
Merintis Peta Jalan Penghapusan Pekerja Anak
Rabu, 28/06/2017 15:00 WIBKementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) meluncurkan Kampanye Indonesia Bebas Pekerja Anak (KIBPA) sebagai upaya menangani dan menghapuskan pekerja anak.