-
KIPP Indonesia: UU Pemilu Untungkan Parpol Besar
Sabtu, 23/09/2017 10:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia menilai, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, menguntungkan partai-partai besar. Sekjen KIPP Indonesia Kaka Suminta mengatakan, ketentuan ambang batas perolehan suara minimal partai politik (parpol) peserta Pemilu yang bisa memiliki kursi di parlemen (parliamentary trshold) sebesar 4% dari total suara sah secara nasional, "membunuh" peluang partai-partai kecil.
"Berdasarkan aturan dalam Pasal 414 itu, parpol yang tidak memperoleh minimal 4% suara dalam Pemilu 2019 tidak berhak memiliki kursi di Parlemen. Hal ini tentu akan semakin mengurangi peluang Parpol kecil untuk duduk di parlemen," kata kepada gresnews.com, Sabtu (23/9).
Di sisi lain, kata dia, juga terjadi perubahan dalam penghitungan perolehan kursi bagi parpol yang memenuhi ambang batas 4% tadi, yakni penggunaan penghitungan Sante Lague (SL), sesuai aturan Pasal 415. Dengan demikian penghitungan perolehan kursi tidak lagi menggunakan penghitungan dengan bilangan pembagi (BPP) sebagaimana dalam Pemilu 2014 lalu.
"Apa konsekwensi dari kedua ketentuan tersebut? Secara umum, hal ini akan mengurangi peluang parpol kecil untuk lolos ambang batas parlemen (PT). Bahkan kemungkinan parpol yang lolos ke parlemen bisa turun menjadi 8 sampai 9 partai, dibanding Parpol yang memenuhi PT dalam pemilu 2014 sebanyak 10 parpol," terangnya.
Demikian juga dengan Penghitungan SL, dalam simulasi ternyata lebih menguntungkan parpol besar. PDIP dan Golkar dalam sebuah simulasi dengan sistem SL naik secara signifikan perolehan kursinya. "Dengan demikian UU No 7 tahun 2017 lebih menguntungkan parpol besar," tegasnya.
Seain argumen di atas, ada beberapa analisa lain yang memperkuat pendapat itu. Pertama, kata Kaka, kader parpol yang tidak lolos karena parpolnya tak memenuhi PT pada tahun 2014 potensial akan berusaha loncat ke partai besar, yang diperkirakan akan tetap memiliki suara di atas ambang batas.
Kedua, parpol besar memiliki peluang untuk menyeleksi kader yang loncat partai tadi sehingga mendapatkan kader-kader yang dalam Pemilu 2014 memperoleh suara banyak di dapilnya, tetapi tak bisa duduk di kursi parlemen karena parpolnya tak memenuhi mabang batas tadi.
"Ketiga, dengan penghitungan perolehan kursi oleh parpol, metode Sainte Lague tadi, dari simulasi yang kami lakukan, dapat disimpulkan akan memberikan insentif kepada parpol besar, dengan tambahan kursi di parlemen, dibandingkan dengan penggunaan metode BPP seperti dalam Pemilu 2014, maka hal ini juga akan membuat kandidat anggota DPR maupun DPRD cenderung memilih partai besar," papar Kaka.
Keempat, dua ketentuan tentang ambang batas (PT) dan metode SL untuk penghitungan perolehan kursi di parlemen, yang menguntungkan parpol besar dan potensial memperkecil jumlah parpol di Parlemen. "Dalam simulasi kami diperkirakan hanya 7 sampai 9 parpol yang memperoleh suara di Parlemen," ujar kaka.
Dari analisa tersebut, menurutnya, bisa disimpulkan, pembuat undang-undang telah dengan sengaja memilih untuk memperkecil potensi jumlah parpol di parlemen dalam Pemilu 2019 nanti. "Dengan kata lain akan menggiring parpol-parpol menjadi lebih mengerucut pada parpol yang moderat, dan potensial menghilangkan parpol dengan ideologi alternatif, baik yang berafilisasi pada sosialisme maupu kekhasan ideologi tertentu lainnya," pungkas Kaka. (mag)
Partai Lama Tidak Perlu Verifikasi, PSI Gugat UU Pemilu ke MK
Senin, 21/08/2017 17:00 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tidak ada verifikasi terhadap partai politik yang pernah ikut pemilu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ajukan judicial review UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu.
Ketum PSI Grace Natalie mengatakan ada dua hal yang mereka gugat, yaitu soal verifikasi parpol peserta Pemilu dan keterwakilan perempuan di parpol.
"(Yang digugat) Pasal 173, tentang verifikasi parpol dan keterwakilan perempuan," ujarnya di Kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Senin (21/8).
Grace mengatakan sesuai putusan MK, seharusnya semua parpol peserta Pemilu dilakukan verifikasi sebelum ditetapkan menjadi peserta Pemilu. Hal itu harus berlaku terhadap parpol baru maupun parpol yang telah ikut Pemilu. Alasannya, ada perubahan demografi seperti perpindahan penduduk dan penambahan provinsi serta kabupaten karena otonomi daerah.
"Semua partai harusnya diverifikasi sebelum menjadi peserta pemilu. Dasar logikanya jelas, ada perpindahan demografis penduduk. Kemudian, dibanding Pemilu lalu ada pertambahan provinsi menjadi 34. Kabupaten juga tambah 19. disini ada dinamika baru," tuturnya.
Selain susunan anggota dan kepengurusan partai, juga menjadi salah satu pertimbangan mengapa verifikasi parpol perlu dilakukan. Sebab, bukan tidak mungkin dalam 5 tahun ada pengurus partai yang pindah ke partai lain. Internal sebuah partai juga harus dilihat oleh KPU apakah ada dualisme kepengurusan atau konflik internal.
"Dinamika internal parpol juga berubah, ada partai punya problem di dalam. Untuk itu harus diverifikasi. Jadi peserta pemilu benar-benar siap, ada kantor, pengurus dan internal juga siap," tegasnya.
Grace juga melihat proses, verifikasi KPU terhadap semua parpol tidak akan membebani anggaran. Hal disampaikannya setelah sempat mediasi dengan komisioner KPU Hasyim Asy´ari. Ini membantah anggapan DPR yang menilai verifikasi dilakukan pada partai baru dengan alasan untuk penghematan anggaran.
Menurutnya dalam UU Pemilu tahun 2017 yang baru disahkan, verifikasi parpol diatur pada Pasal 173 ayat (3). Disebutkan, parpol yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai partai politik peserta pemilu.
Adapun syarat dalam Ayat (2) di antaranya berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Parpol, memiliki kepengurusan di seluruh provinsi, memiliki kepengurusan di 75 persen jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, dan memiliki kepengurusan di 50 persen jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan. Selain itu juga ada sejumlah syarat lainnya. (dtc/rm)KIPP: UU Pemilu Bentuk Arogansi Pemerintah
Selasa, 25/07/2017 09:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia menilai, pengesahan UU Pemilu yang memuat aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold--PT) 20% adalah bentuk arogansi pemerintah. "Lebih arogan lagi karena Presiden Joko Widodo malah mengatakan pihak yang merasa tidak puas dengan Undang-undang Pemilu yang disahkan dipersilakan melakukan langkah hukum," kata Plt Sekretaris Jenderal KIPP Indonesia Kaka Suminta, kepada gresnews.com, Selasa (25/7).
Dalam hal ini, kata dia, DPR juga bertindak arogan. Pasalnya, pembahasan RUU Pemilu antara DPR dan Pemerintah merupakan pembahasan yang bertele-tele dan tak mengindahkan kepentingan yang lebih besar selain kepentingan politik pembuat undang-undang. "Sehingga baik isi maupun agendanya menjadi tidak memenuhi kepentingan pemilu dan demokrasi di Indonesia," tegas Kaka.
Dia menilai, pengesahan UU Pemilu juga menjadi sia-sia. Alasannya, dari sisi waktu pengesahan UU tersebut telah kadaluarsa. Akibatya, beberapa agenda penting, seperti rekrutmen penyelenggara pemilu dan verifikasi parpol peserta pemilu tidak dilaksanakan melalui UU Pemilu yang baru. "Proses itu dilaksanakan dengan menggunakan UU lama, yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi politik saat ini," ujar Kaka.
Kemudian, dari sisi konten UU, banyak pasal yang krusial dan penting tetapi tidak dibahas dengan seksama, seperti soal peran serta masyarakat dalam pemilu, soal politik uang, soal sosial media yang sebenarnya sudah dirasakan menjadi permasalahan serius dalam pemilu. "Hal-hal penting tak dibahas dengan baik, dan tak memberikan alternatif perbaikan dalam pemilu dan demokrasi di Indonesia," tegas Kaka.
Dia mengatakan, apa yang disebut isu krusial oleh para pembuat undang-undang seperti soal daerah pemilihan, penambahan kursi DPR dan Presiden Threshold tak lain merupakan tarik-menarik kepentingan politik parpol dalam pelaksanaan pemilu, yang tak terkait langsung dengan kepentingan umum. "Namun pembahasan hal-hal itu memakan waktu dan energi yang sangat besar, dan memboroskan sumberdaya," terang Kaka.
Kaka menilai, disahkannya Presiden Threshold merupakan pasal yang paling bermasalah. "Karena jelas-jelas bertentangan dengan keputusan MK nomor 14 tahun 2013, sehingga bukan hanya inkonstitusional tetapi juga sebenarnya tak layak dibahas oleh DPR dan Pemerintah sejak awal," ujarnya.
Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka KIPP Indonesia menilai, pembahasan RUU Pemilu merupakan pemborosan waktu dan sumberdaya, dengan hasil yang sangat mengecewakan. "Kita, perlu mengevaluasi batasan kewenangan pembuat undang-undang," kata Kaka.KIPP, kata Kaka, menilai UU Pemilu yang terbentuk merupakan UU yang kadaluarsa, karena tak bisa digunakan untuk pelaksanakan tahapan-tahapan pemilu yang sudah dan sedang berlangsung. "Pemerintah dan DPR perlu diminta pertangguangjawabannya terkait potensi buruk pelaksanaan dan kesinambungan demokrasi melalui apa yang mereka lakukan sebagai pembuat undang-undang," ujar Kaka.
Pembentukan UU pemilu dan pernyataan pemerintah merupakan arogansi kekuasaan dan potensial mengganggu masa depan demokrasi di Indonesia. Karena itu, kata Kaka, KIPP Indonesia, meminta kepada semua pihak yang peduli dengan demokrasi dan masa depan Indonesia untuk memikirkan agenda dan langkah untuk menyelematkan demokrasi Indonesia.
"UU Pemilu, kami nilai kadaluarsa dan berisi pasal-pasal yang tak sejalan dengan konstitusi, serta kesan arogansi pembuat undang-undang, yang potensial mengganggu pemilu dan kesinambungan dan poertumbuhan demokrasi di Indonesia," pungkasnya. (mag)
PKS-Gerindra Peercaya Diri Bisa Usung Capres
Senin, 24/07/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Pasca pengesahan UU Pemilu yang mematok angka Presidential Threshold sebesar 20% kursi DPR, Jokowi diyakini bakal mulus menjadi capres di 2019. Pasalnya dengan dukungan dari Golkar, NasDem dan PPP, total perolehan kursi ketiga partai tersebut di DPR mencapai 29,46%.
Meski begitu, Gerindra dan PKS yang selama ini menjadi oposisi pemerintah tetap percaya diri bisa mengusung capres sendiri yaitu Prabowo Subianto lewat koalisi dua partai itu. Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon mengatakan, Prabowo juga sudah mengantongi tiket ke Pilpres 2019 dengan menggandeng PKS.
Perolehan kursi Gerindra di DPR sebesar 13,04% dan PKS 7,14%. Gabungan kedua partai itu menghasilkan 20,18% kursi dukungan untuk Prabowo. "Jadi kan syaratnya 20 persen dukungan kursi dan 25 persen suara. Gerindra dengan PKS cukup (Capreskan Prabowo)," kata Fadli Zon, Minggu (23/7).
Soal kemungkinan koalisi Gerindra dengan PKS, Fadli belum memberikan kepastian. Namun sejak Pilpres 2014 lalu hingga sekarang Gerindra dan PKS sudah terjalin dalam sejumlah kerjasama. Misalnya di Pilkada DKI. "Ini kan masih lama. Mungkin tahun depan (ada kepastian). Insya Allah Pak Prabowo siap maju Pilpres 2019," kata Fadli.
Sementara itu, peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes melihat peluang Gerindra dengan PKS berkoalisi di Pilpres 2019 cukup kuat. "Peluangnya (koalisi) 75 persen," kata Arya.
Meski Prabowo sudah mendapat cukup dukungan, Gerindra dan PKS harus berusaha menggaet PAN atau Demokrat. "Atau mungkin Gerindra dan PKS harus bisa menggaet dua-duanya (PAN dan Demokrat)," kata Arya. (dtc/mag)
PAN Membela Diri Saat Penentuan RUU Pemilu
Minggu, 23/07/2017 06:16 WIBPartai Amanat Nasional (PAN) telah memilih walk out (WO) saat paripurna penetapan RUU Pemilu pada Kamis (20/7) lalu namun enggan disebut tak seirama dengan kubu parpol pendukung pemerintah. Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menjelaskan PAN hanya menginginkan pergantian dari sainte lague ke kuota hare.
"Bukan lain-lain. Saint lague diganti kuota hare, nah saya juga melalui pansus bertemu teman-teman partai koalisi pendukung pemerintah, itu kita minta. Satu saja," kata Zulkifli Hasan seusai menghadiri Harlah PKB ke 19 di Komplek DPR, Jakarta, Sabtu (22/7/2017).
Kuota Hare merupakan salah satu teknik penghitungan suara yang paling sering digunakan di Indonesia. Terdapat dua tahapan yang perlu dilalui untuk mengkonversi suara menjadi kursi melalui teknik penghitungan Kuota Hare. Pertama, menentukan harga satu kursi dalam satu daerah pemilihan dengan menggunakan rumus V (vote) per S (seat).
Kedua, menghitung jumlah perolehan kursi masing-masing partai politik dalam satu daerah pemilihan dengan cara jumlah perolehan suara partai di satu dapil dibagi dengan hasil hitung harga satu kursi.
Sedangkan, metode sainte lague murni menerapkan bilangan pembagi suara berangka ganjil seperti, 1, 3, 5, 7, 9, dan seterusnya. Metode sainte lague ini dalam melakukan penghitungan suara ini bersifat proporsional yaitu tidak ada pembedaan dan tidak memihak apakah itu partai kecil ataupun partai besar.
Zulkifli menjelaskan jika tetap memakai konversi suara sainte lague itu akan menyudutkan posisi PAN di parlemen. Untuk itu dia mendukung usul para kader PAN untuk mengganti dari saint lague ke kuota hare.
"Ini kan soal partai. Ini bukan soal lain-lain tapi ini soal hidup matinya partai. Kalau mendukung sainte lague saya bisa dimarahi kader. Abis nanti suaranya," kata Zulkifli.
Zulklifi menegaskan apa yang dilakukan PAN pada paripurna lalu bukan walk out melainkan abstain. Karena jika menyetujui metode konversi suara sainte lague itu akan membunuh partai PAN.
"Karena kita memang kalau sainte lague itu PAN ya bunuh diri. itu aja ya maklum. Oleh karena itu kami abstain, tolong diluruskan," ucap Zulklifi. (dtc/mfb)Pengesahan RUU Pemilu Sisakan Bara dalam Sekam
Jum'at, 21/07/2017 09:00 WIBTjahjo memastikan pelaksanaan Pemilu tetap berjalan. Meskipun nantinya UU Pemilu di-JR (judicial review).
Lima Opsi RUU Pemilu
Jum'at, 14/07/2017 16:00 WIBPanitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum bersama pemerintah telah menyepakati lima opsi paket untuk diputuskan dalam rapat paripurna tanggal 20 Juli mendatang.
Ngotot PT 20 Persen, Pemerintah Dituding Ingin Usung Calon Tunggal
Rabu, 12/07/2017 09:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Sikap pemerintah yang ngotot ingin mematok angka Presidentail Threshold di angka 20-25% disayangkan para anggota Pansus RUU Pemilu. Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu Ahmad Riza Patria menilai, jika pemerintah tak ngotot, sebenarnya tidak sulit untuk memutuskan RUU ini.
"Memang dalam RUU Pemilu ini dari lima isu yang muncul merucut kepada satu isu, yaitu ambang batas pencalonan presiden. Kalau pemerintah mengikuti putusan MK (Mahkamah Konstitusi) maka pemerintah tidak bisa ngotot dengan dua puluh persen. Sudah banyak pakar, ahli, menyatakan ini illegal kalau ada PT. Karena pemilu serentak ini memang baru pertama dilakukan," ujar Riza di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7), seperti dikutip dpr.go id.
Kalau tetap ada PT, lanjut politisi dari Fraksi Partai Gerinda ini, maka ia meyakini akan banyak pihak yang menggugatnya, karena bertentangan dengan keputusan MK. Dan ia akan menunggu apakah MK akan mengabulkan atau menolak jika kelak ada gugatan terkait hal itu.Dalam kesempatan itu pengamat politik dari LIPI Siti Zuhro mengatakan, niat pemerintah mengusung PT 20-25% disinyalir karena pemerintah ingin mengusung calon tunggal. Dia mewanti-wanti agar pemerintah mengurungkan niat itu. Karena jika itu terjadi maka akan dipertanyakan apa fungsi partai politik selama ini.
Menurutnya berdemokrasi itu bukan saja partisipasi, tapi juga harus ada kompetisi dan kontestasi. "Jika semua itu dipikirkan bersama maka tidak akan ada kata deadlock," tegas Zuhro.
Ia juga mengingatkan agar dalam merevisi Undang-Undang Pemilu ini juga harus berpikir jangka panjang. Kalau tidak,maka pada pemilu 2024 nanti akan menghadapi hal yang sama dan fatal.Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu Yandri Susanto menilai, sejatinya jika pemerintah bijak, tidak ada muncul isu kembali ke undang-undang yang lama, bahkan isu menerbitkan Perppu dengan menarik diri dari pembahasan pemilu. Karena ada mekanisme musyawarah untuk mufakat. Bahkan jalan terakhir voting atau pengambilan suara.
Di sini politisi fraksi PAN ini juga berharap jangan sampai ada semangat "menghabisi" pihak lain dalam pembahasan RUU Pemilu ini. "Jangan menarik dirilah, tidak elok. Apalagi RUU ini menyangkut kepentingan rakyat, jangan pula kembali ke UU Pemilu yang lama," tambah Yandri. (mag)
Presidential Threshold Bertemu di Titik Tengah?
Senin, 10/07/2017 13:00 WIBHal itu terbaca dari sikap beberapa partai yang mulai mempertimbangkan untuk menerima angka PT sebesar 10 persen.
Muhaimin: Dana Parpol Rp1000 per Suara Memadai
Minggu, 09/07/2017 07:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar mengatakan, dana Rp1.000 per suara cukup untuk menopang partai politik. Dia berpendapat wajar bila negara memberikan bantuan dana kepada partai politik.
"(Dana parpol) Dalam rangka menjaga kekuatan partai dan menjadi bagian dari kekuatan yang menopang negara. Sah-sah saja mendapatkan bantuan APBN. Rp 1.000 sudah bagus, apalagi kalau sejuta (Rupiah)" kata Muhaimin kepada wartawan di sela acara halal bihalal, di kediamannya, Jalan Warung Sila, Ciganjur, Jakarta Selatan, Sabtu (8/7).
Menurutnya, bantuan dana parpol dari Pemerintah yang sejumlah Rp108 per suara sangatlah kecil. Dengan adanya wacana menaikkan dana persuara menjadi Rp1.000, menjadi angin segar untuk partai. "Jumlah yang sangat kecil kan selama ini. Nah kalau diperbesar tentu berkah buat partai," ucap Muhaimin.
Pria yang akrab disapa Cak Imin ini mengucapkan sejatinya dana parpol bermanfaat untuk menjaga akuntabilitas keuangan sebuah partai. "Dengan adanya bantuan yang besar dari negara maka transparansi partai politik semakin terjaga," ujar dia.
Saat ini pemerintah mengeluarkan dana sekitar Rp13,42 miliar untuk 12 partai politik peserta Pemilu 2014. Jika dana bantuan parpol dinaikkan menjadi Rp 1.000 per suara, pemerintah harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp124,92 miliar. (dtc/mag)
Rayuan Dana Parpol Muluskan Pembahasan PT di RUU Pemilu
Rabu, 05/07/2017 12:00 WIBMeski begitu, suara-suara miring terkait motif pemerintah menaikkan dana parpol ini segera terdengar. Salah satunya dikaitkan dengan upaya melobi para elit partai agar memuluskan pembahasan RUU Pemilu, khususnya terkait PT.
Tegang DPR-Pemerintah Soal Presidential Threshold
Selasa, 04/07/2017 12:00 WIBDia menegaskan, tarik-menarik antara DPR dan pemerintah dalam pembahasan RUU Pemilu dinilai karena ada kecenderungan pemerintah yang menginginkan munculnya capres-cawapres tunggal.
Pendekatan Wiranto Sebelum Pengambilan Keputusan RUU Pemilu
Senin, 03/07/2017 19:57 WIBPembahasan revisi Undang-Undang Pemilu masih stagnan antara pemerintah dengan DPR. Untuk mencairkan hal itu Menko Polhukam Wiranto berniat menjalin komunikasi dengan para pimpinan partai politik untuk menyamakan persepsi.
"Saya sudah melakukan pendekatan dari semua parpol. Terutama parpol pendukung pemerintah. Masih ada waktu. Besok akan ketemu mereka lagi," kata Wiranto di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Senin (3/7).
Wiranto belum mau bicara kemungkinan jalan tengah yang akan dijajaki. Sejauh ini ada parpol yang menginginkan presidential threshold (PT) 0% dan ada pula yang menginginkan 20-25% seperti pemerintah.
"Ini bukan ngalah dan nggak ngalah. Ini cari sesuatu yang bermanfaat bagi negeri ini. Bukan kepentingan parsial, tapi kita ingin mengajak untuk kepentingan politik pemerintah atau politik nasional ke depan," ujarnya.
Pertemuan antara Wiranto dengan parpol kemungkinan dilakukan di DPR. Wiranto tak menyebut secara detail kapan dan di mana pertemuan akan dilakukan. "Tunggu saya ketemu mereka. Siang mungkin, di DPR," kata Wiranto. (dtc/mfb)Jakowi: Politik Negara Konsisten Menuju Penyederhanaan
Senin, 19/06/2017 14:00 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, Pembangunan politik negara harus konsisten menuju pada penyederhanaan. Hal itu disampaikan presiden terkait perdebatan masalah ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu.
"Politik negara ini akan semakin baik harus ada konsistensi, sehingga kita ingin kalau yang dulu sudah 20 (persen), masak kita mau kembali ke nol," kata Presiden Jokowi kepada wartawan usai santap malam di kawasan Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (17/6) malam, seperti dikutip setkab.go.id.
Penerapkan ambang batas yang konsisten, diyakini Presiden, akan terjadi penyederhanaan. "Baik parpolnya, baik dalam pemilunya," ujar Presiden. Ia menegaskan, kita harus konsisten seperti itu dan dirinya sudah menugaskan kepada Mendagri untuk mengawal itu.
Diketahui pembahasan RUU Pemilu masih terhambat sejumlah isu krusial yang belum memperoleh kesepakatan dalam pembahasan RUU Pemilu. Salah satunya masalah presidential threshold, yang menyisakan sejumlah opsi.
Terkait kemungkinan pemerintah akan menarik diri dalam pembahasan lanjutan RUU Pemilu itu. Presiden Jokowi menegaskan, hal itu belum akan dilakukan. "Kamu jangan manas-manasi," ujar Presiden menjawab wartawan.
Demikian pula mengenai kemungkinan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) jika tidak ada titik temu di DPR, Presiden Jokowi juga menegaskan, bahwa saat ini RUU tersebut masih dalam pembahasan.
"Kita sudah mengajak bicara fraksi-fraksi yang ada disana untuk bersama-sama. Jangan hanya kepentingan hari ini atau kepentingan pemilu ini atau jangan kepentingan pilpres ini. Tapi harusnya visi ke depan kita, politik negara harus seperti apa. Kita harus menyiapkan itu," tandas Presiden. (rm)UU Pemilu Mandeg di Presidential Threshold
Minggu, 18/06/2017 11:00 WIBMeski dinilai sudah tak penting karena Pemilu 2019 dilakukan serentak, nyatanya pembahasan masaah ambang batas suara partai untuk mengajukan calon presiden alias presidential threshlod (PT) masih menjadi salah satu "pengganjal" utama pembahasan revisi UU Pemilu.