-
Monster Politik di Balik Berita Hoax
Sabtu, 03/03/2018 07:20 WIBBerita palsu (hoax) marak dan polisi pun langsung menangkap mereka yang diduga produsen dan penyebarnya. Kelompok Saracen dan Muslim Cyber Army (MCA) menjadi sasaran. Seperti apa peta pertempuran berita hoax di Indonesia? Siapa para aktornya? Motif dan tujuan apa yang hendak dicapai?
Selengkapnya tersaji dalam video ini.
Fahri-PKS Kritik Kepala BSSN Soal "Hoax Membangun"
Kamis, 04/01/2018 09:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Pernyataan Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Mayor Jenderal TNI Djoko Setiadi soal "hoax membangun" mendapatkan kritik keras dari Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Fahri mengatakan, pernyataan itu merupakan preseden yang buruk. "Itu preseden buruk," ujar Fahri kepada wartawan lewat WhatsApp, Rabu (3/1).
Fahri menyimpan kekhawatiran atas pembentukan BSSN. Fahri menduga sesuatu terkait pembentukan BSSN, salah satunya BSNN dianggapnya bisa jadi ´alat´ pemerintah. "Saya khawatir BSSN mau dipakai sebagai alat penggalangan," ucapnya.
"Ya itu saya dengar dia pengin dibolehkan bikin hoax dan boleh nangkap. Itu bahaya," imbuh Fahri memerinci soal kata ´penggalangan´.
Kritik senada juga disampaikan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). "Kalau yang dimaksud adalah hoax yang dibuat oleh aparat, ya nanti akan ditiru rakyat juga. Sebaiknya disudahi soal hoax-lah. Masih banyak pekerjaan besar BSSN ini," ujar Sekretaris F-PKS Sukamta kepada wartawan, Rabu (3/1).
Menurut anggota Komisi I DPR ini, masyarakat dapat dengan bijak memanfaatkan media sosial untuk memilah antara informasi hoax dan sebaliknya. Sukamta menjelaskan hoax merupakan sampah teknologi.
"Nanti akan hilang dengan perbaikan kinerja dan komunikasi pemerintah dan ketika masyarakat makin pintar menggunakan media sosial. Hoax ini adalah sampah teknologi, jadi nanti akan hilang sendiri," ucap Sukamta. "Kalau soal SARA, agitasi, terorisme, kekerasan via siber, semua sudah ada di UU ITE. Sudah komplet," tambahnya.
Sebelumnya, Djoko Setiadi menyebut hoax ada yang negatif, ada pula yang positif. Djoko pun mengatakan, apabila hoax sifatnya membangun, tak jadi masalah.
"Kalau hoax itu membangun, ya kita silakan saja, tapi jangan terlalu memproteslah, menjelek-jelekanlah, ujaran-ujaran yang tidak pantas, saya rasa bisa dikurangi," ujar Djoko di Istana Negara, Jalan Veteran, Jakarta Pusat.Presiden Joko Widodo membentuk BSSN melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 133 Tahun 2017 membentuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Badan tersebut bertugas mendeteksi dan mencegah kejahatan siber dengan menjaga keamanan siber secara efektif dan efisien dengan memanfaatkan, mengembangkan dan mengonsolidasikan semua unsur yang terkait dengan keamanan siber. (dtc/mag)
Bareskrim-Polda Metro Koordinasi Kasus Postingan Ade Armando
Selasa, 02/01/2018 07:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus postingan dosen Universitas Indonesia Ade Armando sudah masuk proses penyelidikan. Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Mohammad Iqbal mengatakan, saat ini pihak Bareskrim akan berkoordinasi dengan jajaran Polda Metro Jaya saat saat penyidik menemukan bukti-bukti tindak pidana.
"Kalau proses penyelidikan sudah berjalan, bukti-bukti pidana sudah dapat, penyidik akan melakukan supervisi. (Laporan) di mana pun akan kita kumpulkan, entah di Bareskrim atau di Metro Jaya," jelas Iqbal di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (1/1).
Iqbal menggambarkan penanganan atas laporan dugaan penistaan agama dapat ditangani Bareskrim, dapat pula ditangani Polda Metro Jaya, mengingat Ade Armando masih berstatus tersangka dari kasus yang sebelumnya di sana. "Jadi bisa saja Bareskrim melimpahkan ke Polda atau bisa saja Bareskrim menarik (penanganan kasusnya). Tunggu, ini ada tim supervisinya. Biarkan kami memproses penyelidikan di Bareskrim sebentar. Nanti, ketika tindak pidana itu dikatakan oleh penyidiknya ada dan sama, kita akan lakukan koordinasi," terang Iqbal.
Iqbal mengatakan kepolisian masih menyelidiki kelima laporan tersebut dan, bila ada bukti tindak pidana, polisi akan menegakkan hukum yang berlaku. "Bila terdapat bukti pidana sesuai laporan, kita akan lakukan proses. Prinsipnya, hukum akan ditegakkan," tegas Iqbal.
Sebelumnya, Ade dilaporkan oleh lima pihak berbeda terkait postinganya yang dinilai mengandung SARA dan hoax terkait imam besar FPI Habib Rizieq Syihab. Para pelapor diantaranya perorangan atas nama Ratih Puspa Nusanti, Front Mahasiswa Islam (FMI), LSM Kebangkitan Jawara dan Pengacara (Bang Japar), FPI DPD DKI Jakarta dan perorangan atas nama Michael.
"Bahwa pernyataan akun Facebook Ade Armando amat sangat melecehkan hadis Rasulullah SAW. Bahwa Al-hadis atau As-sunnah adalah sumber kedua setelah Alquran, yang menjadi rujukan umat Islam dalam beribadah, sehingga memiliki kedudukan mulia pada keyakinan umat Islam," ujar Ketua Umum Pimpinan Pusat FMI Ali Alatas, Jumat (29/12) lalu.
"Jadi kami membuat laporan. Ada tiga, dari pribadi atas nama Michael. Mewakili umat Islam, FPI DPD DKI Jakarta, Bang Japar. Masing-masing kami membawa dua saksi," kata pengacara dari Bantuan Hukum FPI DKI, Mirza Zulkarnaen, Sabtu (30/12).
Atas laporan itu, Ade Armando angkat bicara. Ade pun memberikan penjelasan. Terkait unggahan gambar mengenai Habib Rizieq yang tampak mengenakan atribut Natal, Ade menyatakan bahwa itu dibuatnya justru untuk menjelaskan bahwa hal tersebut adalah hoax.
"Saya tidak pernah menghina agama dan ulama, yang sering jadi sasaran serangan saya adalah orang yang disebut ulama tapi menyebarkan kebencian, seperti Rizieq Shihab. Saya menghormati para ulama, seperti KH Quraisy Shihab, Prof Syafii Maarif, Gus Mus, dan KH Said Aqil," kata Ade, Minggu (31/12).
"Soal gambar rombongan ulama beratribut Natal, jelas saya tulis ´ini hoax´," tegasnya. (dtc/mag)Jokowi Kritik Masyarakat yang Senang Kabar Buruk
Sabtu, 30/12/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo mengkritik sebagian kelompok masyarakat yang justru merasa senang jika ada kabar-kabar yang mengkhawatirkan. Kritik itu disampaikan Jokowi saat menutup Perdagangan Bursa Efek Indonesia Tahun 2017, di Main Hall Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jumat (29/12) sore.
"Menikmati, terus menjadikan kita pesimis. Ini yang dari dulu saya paling enggak senang ini," ujar Jokowi, seperti dikutip setkab.go.id.
"Saat tahun 2015 lalu, katanya wait and see karena ada Pilkada. Ia menambahkan tahun 2016 ada lagi Pilkada, wait and see lagi, tahun 2017 ada Pilkada, wait and see. Tahun depan ada Pilkada lagi kan, wait and see. Tahun depannya lagi ada Pilpres, wait and see. Apa kita mau seperti itu terus? Yang politik silakan politik, yang ekonomi kita garap bersama-sama urusan ekonomi," tegas Jokowi.
Dia mengakui, berita yang mengkhawatirkan, menakut-nakuti sangat seru untuk komoditas jualan dan membuat situs internet mendapatkan banyak klik. "Tapi masalahnya, kalau kita sampai terjebak pada ketakutan terhadap risiko-risiko, kita akan kehilangan peluang, kita akan kehilangan kesempatan, kita akan kehilangan opportunity secara cepat. Padahal kesempatan itu kadang datangnya hanya sekali. Momentum-momentum seperti ini yang harus kita gunakan," terang Jokowi.
Jokowi mengemukakan, di awal tahun semua analis mewanti-wanti soal kenaikan suku bunga dolar di Amerika. "Saya ingat betul, semuanya wanti-wanti, hati-hati, hati-hati. Banyak kalangan mengatakan dengan kenaikan suku bunga dollar oleh Bank Sentral Amerika, The Fed, semua mata uang yang lain akan rontok. Semua kan ngomong seperti itu semuanya," ujarnya.
Kemudian, kata Jokowi, banyak kalangan khawatir akan adanya stimulus fiskal besar-besaran oleh Presiden Amerika terpilih, Donald Trump. "Semuanya juga berbicara mengenai itu. Banyak orang bilang, arus modal akan berbondong-bondong pulang kampung lari kembali ke Amerika," paparnya.
Lebih lanjut, Jokowi menyampaikan, banyak juga analis di awal tahun yang mewanti-wanti mengenai naiknya sentimen proteksionisme di seluruh dunia mengenai risiko yang akan terjadinya perang dagang. Apalagi, ada beberapa pemilu di beberapa negara Eropa di mana tokoh-tokoh garis keras dikhawatirkan bisa menjadi presiden atau perdana menteri, baik pemilu legislatif di Belanda, pilpres dan pemilu legislatif di Perancis, dan pemilu legislatif di Jerman.
Tapi apa yang terjadi akhirnya? Jokowi menyampaikan, dolar AS justru melemah sepanjang tahun 2017. Ia melanjutkan bahkan sudah kembali di bawah titik saat kemenangan Presiden Trump di pemilu Amerika tahun lalu. Arus modal ke negara-negara berkembang, tambah Jokowi, termasuk ke Indonesia juga mencapai sebuah rekor.
Selain itu, Presiden mengingatkan, yang terpilih di Eropa malah pemimpin-pemimpin yang sudah ada terpilih kembali. Bahkan di Perancis yang terpilih adalah tokoh reformis, yaitu Presiden Emmanuel Macron.
Presiden melanjutkan, ekspor negara-negara berkembang, khususnya di Asia malah melonjak. Ia menambahkan bahwa tahun 2017 adalah tahun di mana laju pertumbuhan perdagangan dunia kembali di atas laju pertumbuhan ekonomi dunia, pertama kalinya dalam 7 tahun.
"Angka-angka seperti ini harus kita ikuti terus, sehingga memberikan rasa optimisme kita untuk menyampaikan hal-hal yang positif, menyampaikan hal-hal yang optimis," tutur Jokowi.
Ekspor Indonesia sendiri, lanjut Presiden, tahun ini naik doubel digit, sekitar 15-17 persen. Ia menambahkan bahwa investasi internasional ke Indonesia tahun ini juga double digit, di sekitar 13-14 persen. Rating Indonesia, lanjut Presiden, mendapatkan upgrade, yang pertama, SMI kembali ke layak investasi atau investment grade, terakhir dari Fitch rating juga BBB- menjadi BBB.
Karena itu, Presiden menekankan agar hal yang optimis ini harus terus disampaikan. Ia menegaskan jangan yang tidak baik terus disampaikan, agar ada keseimbangan. "Yang kita inginkan rasa optimisme sehingga menanamkan modal itu menjadi sebuah semangat kita semuanya," ujar Jokowi. (mag)Fadli Zon: Politik Identitas Menguat Karena Pemerintah Abaikan Keadilan Sosial
Sabtu, 30/12/2017 09:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Plt. Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, menguatnya politik identitas belakangan ini terjadi karena pemerintah mengabaikan keadilan sosial. Hal itu ditandai dengan beberapa kata kunci yang telah meramaikan jagat politik Indonesia sepanjang 2017, yaitu hoax, SARA, toleransi, politik identitas, dan UU Ormas.
"Semuanya bukanlah isu yang menyenangkan. Wajah dunia politik kita sepanjang tahun 2017 sepertinya sangat dipengaruhi oleh wajah Pilkada DKI. Hampir seluruh isu yang mewarnai Pilkada DKI, mulai dari isu SARA, politik identitas, atau isu hoax, yang oleh para pengamat di-framing sebagai kebangkitan populisme kanan, kemudian bergema secara nasional," kata Fadli seperti dikutip dpr.go.id, Jumat (29/12).
Dia menegaskan, sebagai bangsa majemuk, bangkitnya wacana politik identitas memang pantas membuat kita berkaca diri. "Politik identitas erat kaitanya dengan proses aksi reaksi di lingkungan masyarakat. Mengeksploitasi kekhawatiran sangatlah tak berguna. Kita mesti bertanya, apa yang telah membuat politik identitas seolah kembali bangkit belakangan ini?" ujarnya.
Sejak awal, Fadli berpandangan, jika benturan keras yang terjadi selama periode kampanye Pilkada DKI kemarin terlalu gegabah jika hanya didudukkan semata sebagai persoalan "sektarian versus kebhinekaan. Meminjam analisisnya Inglehart dan Norris, populisme biasanya berkembang karena dua faktor, yaitu kesenjangan ekonomi dan terjadinya benturan kebudayaan.
"Itu sebabnya saya berpandangan jika bangkitnya politik identitas yang terjadi belakangan ini tak berangkat dari tergerusnya komitmen masyarakat terhadap kebhinekaan, tetapi karena dipancing oleh meningkatnya ketidakadilan sosial. Jangan lupa, indeks ketimpangan ekonomi tertinggi sepanjang sejarah Indonesia terjadinya di masa pemerintahan Pak Jokowi ini," kata Fadli.
Dia mengutip studi Amy Chua, yang mengatakan, pasar bebas dan demokrasi yang hanya dikuasai oleh sekelompok kecil masyarakat sangat rentan melahirkan konflik dan instabilitas. "Jadi, soal ketimpangan ekonomi ini memang tidak bisa diabaikan," tegasnya.
Di luar soal ekonomi, benturan kultural juga bisa jadi pemicu munculnya populisme. "Kenapa populisme sangat mewarnai Pilkada DKI kemarin, misalnya, juga karena gesekan kebudayaan ini. Di balik hutan beton Jakarta, sebagaimana halnya kota-kota tua lainnya, banyak orang lupa bahwa Jakarta juga adalah sebuah tempat yang memiliki identitas dan jejak historis yang panjang," papar Fadli.
Ketika identitas dan jejak historis itu dipinggirkan, dikaburkan, dan bahkan—entah secara sengaja maupun tak sengaja—sedang coba dikuburkan melalui sejumlah agenda ekonomi dan politik ruang oleh Gubernur DKI yang lama, tentu akan ada resistensi dari mereka yang merasa terikat pada identitas-identitas tradisional tersebut. Resistensi itulah yang kemudian telah melahirkan apa yang oleh para pengamat disebut sebagai kebangkitan populisme tadi.
Itu sebabnya, resep untuk mengatasi gejala menguatnya politik identitas bukanlah dengan melakukan kegiatan indoktrinasi, melainkan dengan menata kebijakan ekonomi dan politik, termasuk politik tata ruang, yang lebih adil dan mengakomodasi kepentingan mereka yang selama ini termarjinalkan.
"Kita akan segera menginjak tahun politik. Penting buat pemerintah untuk menjaga situasi agar tetap kondusif. Untuk itu, ruang publik kita mestinya makin bersih dari hoax dan ujaran kebencian. Sayangnya, pemerintah kadang justru menjadi pihak yang turut mengeruhkan suasana. Kita lihat kasus Saracen, misalnya. Polisi awalnya mengekspose kasus Saracen seolah ini adalah kasus besar terkait industri hoax dan penyebar kebencian di media sosial. Masyarakat kita dulu menanggapinya dengan heboh," kata politikus Partai Gerindra itu.
Sayangnya, lanjut dia, yang bisa kita baca dari proses peradilan yang tengah berjalan, tuduhan-tuduhan polisi yang bombastis tadi tak ada yang masuk dalam dakwaan jaksa. Artinya, tuduhan-tuduhan tadi sama sekali tidak bisa dibuktikan. "Kita tentu berharap agar ke depannya bisa lebih profesional dan fair dalam menjalankan tugasnya, agar tidak memancing spekulasi dan berkembangnya fitnah di masyarakat," ujarnya.
Menguatnya politik identitas mestinya dijawab oleh pemerintah dengan kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial, bukan dijawab dengan represi dan produksi stigma."Upaya represif terhadap para ulama dengan pelarangan-pelarangan justru memperkuat perlawanan politik identitas," pungkas Fadli. (mag)Ketua Yayasan Tamasya Al-Maidah Terkait Saracen
Selasa, 14/11/2017 18:21 WIBDirektorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri akan memanggil Ketua Yayasan Tamasya Al-Maidah, Ustaz Ansuri ID Sambo. Sambo akan dimintai keterangan soal hubungan anggota Tamasya Al-Maidah dengan anggota grup penyebar ujaran kebencian, Saracen.
"Iya, nantilah kalau diperiksa dikabarin," kata Kepala Subdirektorat I Tindak Pidana Siber Bareskim Polri Kombes Irwan Anwar di Jakarta Pusat (14/11).
Irwan mengatakan Yayasan Tamasya Al-Maidah tidak memiliki hubungan secara langsung dengan kelompok Saracen. Yayasan Tamasya Al-Maidah hanya menggunakan jasa Saracen untuk mempublikasikan kegiatan Tamasya Al-Maidah. Dua di antaranya ialah undangan mengawas di sejumlah TPS saat Pilkada DKI Jakarta 2017 dan persiapan menjelang Pilpres 2019.
"Yang pasti memang Saracen ini digunakan Yayasan Tamasya Al-Maidah untuk mempublikasikan undangan untuk ikut kegiatan melalui sarana publikasi," ucap Irwan.
Meski demikian, Irwan yakin anggota Yayasan Tamasya Al-Maidah saling terhubung dengan anggota kelompok Saracen. "Kalau bicara Tamasya dan Saracen, tak ada kaitan. Yang berkaitan itu orang-orangnya," ucap Irwan.
Ia menilai para anggota Yayasan Tamasya Al-Maidah dan anggota kelompok Saracen juga saling terkait. Selain itu, para anggota memiliki agenda yang sama dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019. Tetapi Irwan enggan membeberkan lebih jauh keterkaitan anggota kedua kelompok dan agenda itu.
"Pastilah (kedua kelompok memiliki agenda yang sama dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019), nanti dengarkan saja sidangnya (tersangka bos Saracen, Jasriadi)," ujar Irwan.
Dalam perkara Saracen, polisi telah menetapkan empat tersangka, yakni Jasriadi, Sri Rahayu, Muhammad Faisal Tonong, dan M Abdullah Harsono (MAH).
Sri Rahayu telah menjalani sidang di Cianjur pada 16 Oktober lalu. Sedangkan Muhamad Abdullah Harsono menjalani sidang di PN Pekanbaru, Jl Teratai, Senin (6/11). Berkas perkara Asma Dewi juga dinyatakan P21 dan akan segera disidangkan. Sedangkan berkas perkara Jasriadi, kata Irwan, masih diteliti pihak kejaksaan.
"Kemarin dikembalikan jaksa, sudah kita serahkan lagi, semoga dinyatakan lengkap (P21)," tutur Irwan.
(dtc/mfb)Literasi Media Menangkal Hoax
Jum'at, 13/10/2017 17:00 WIBFenomena kemunculan hoax atau berita-berita palsu, informasi bohong yang sengaja disebar di media-media sosial, bahkan media massa sudah semakin mengkhawatirkan.
Alasan Polisi Lambat Ungkap Kasus Ujaran Kebencian
Kamis, 12/10/2017 15:00 WIBKapolri Jenderal Tito Karnavian membeberkan alasan lamanya pengusutan suatu kasus ujaran kebencian di media sosial. Tito mengatakan pengungkapan kasus ujaran kebencian atau hate speech di media sosial tergolong sulit. Ini karena mereka menyebarkannya melalui perangkat teknologi Informasi dan Teknologi (IT).
"Hate speech menggunakan IT tak begitu mudah," ujar Tito dalam rapat bersama Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/10).
Menurut Tito, para pelaku menggunakan cara hit and run saat menjalankan aksinya. Usai menyebar kebencian, kata Tito, para pelaku menghapus akun mereka.
"Banyak pelaku hit and run. Buka akun kemudian hate speech, provokatif, hoax, setelah itu run," sebut Tito.
Tito mengatakan banyak kasus hit and run ujaran kebencian. Tito menyebut salah satu kasus seperti ini yang paling menonjol ialah Saracen. "Salah satu yang menonjol Saracen yang ada 6 tersangka," kata dia.
Polisi telah mengantongi fakta hukum adanya hubungan antara Jasriadi bos Saracen dan Asma Dewi dalam perkara produksi dan distribusi konten ujaran kebencian, isu SARA dan hoax kelompok Saracen. Fakta tersebut berupa jejak digital.
Namun Partai Gerindra mengkritik polisi dalam rapat kerja Komisi III DPR bersama Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Gerindra mengkritik cara Polri menangani kasus ujaran kebencian oleh Asma Dewi yang dinilai mereka tendensius ke Prabowo Subianto.
"Kami menyoroti kasus ujaran kebencian yang terjadi beberapa waktu lalu. Pertama, kinerja Polri menangani… kami khawatir ada gejala Polri mengarah menjadi alat kekuasaan," ujar anggota Komisi III F-Gerindra Sufmi Dasco Ahmad di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/10).
"Dalam kasus Asma Dewi, kami mendapat info bahwa pada saat ditangkap, beliau ditanya apakah anggota Gerindra. Kemudian ditanya juga apakah beliau menerima dana dari yayasan Pak Hashim Djojohadikusumo (saudara Prabowo)," imbuhnya.
Dasco mengaku tak habis pikir mengapa Polri menanyakan kaitan Asma Dewi dengan Gerindra dan keluarga Prabowo. Menurut Dasco, hal itu tak adil.
"Nah yang kami tanyakan, atas dasar apa penyidik Polri menanyakan hal tersebut dan mengapa sangat tendensi kepada kami, Partai Gerindra, dan keluarga Pak Prabowo dengan tuduhan membabi buta seperti itu, Pak Kapolri? Apakah karena kami partai di luar pemerintah? Itu perlu dijawab," ucapnya.
Dasco meminta polisi profesional menangani kasus Asma Dewi. Dia menilai polisi tak profesional dalam kasus Asma Dewi.
"Penyidik sampaikan ke media soal Asma Dewi yang jadi anggota WhatsApp group Gerakan Merah Putih Prabowo Subianto lalu menyatakan tak menutup kemungkinan tersangka memiliki peran penting dari rentetan kebencian yang dipersiapkan untuk Pilpres 2019. Hal ini kami sayangkan karena anggota Polri memberi umpan media untuk berspekulasi dan menuduh tanpa dasar sama sekali," protesnya.
"Katakanlah Asma Dewi ada di grup WhatsApp itu dan seharusnya penegak hukum tak main-main dengan asumsi," sambungnya. (dtc/mfb)Maraknya Hoax dan Ancaman Terhadap Kebebasan Sipil
Kamis, 28/09/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Internet dan perangkat teknologi digital yang hadir menyertainya, telah menjadi instrumen penting dan transformatif, yang mendukung kemampuan individu untuk mengakses, mengolah, serta menyebarluaskan informasi dan gagasan. Berkat internet, pertukaran informasi berlangsung sangat cepat dan konvergen, tanpa mengenal lagi jeda ruang dan waktu.
Namun demikian, besarnya ruang baru ini, juga sekaligus telah memfasilitasi kian massifnya peredaran beragam bentuk disinformasi dan propaganda. Praktik propaganda yang pada masa lalu banyak digunakan oleh agensi-agensi intelijen, dalam rangka penyesatan informasi dan mempersuasi publik, hari ini justru banyak digunakan oleh kelompok-kelompok tak-bertanggungjawab dan intoleran, untuk menciptakan kepanikan publik.
"Imbasnya, justru kebebasan sipil, seperti kebebasan berpendapat, berekspresi dan berkumpul, yang terganggu penikmatannya, akibat kekacauan tadi," kata Deputi Direktur Riset Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Kamis (28/9).
Wahyudi memaparkan, maraknya propaganda dalam bentuk disinformasi dengan varian fake news dan hoax, tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi merupakan fenomena global, seiring dengan menguatnya kelompok-kelompok berhaluan ultra kanan di Eropa dan Amerika Serika, maupun kelompok ekstremisme dengan kekerasan di Timur Tengah. Situasi inilah yang melahirkan fenomena "Post-Truth", suatu keadaan ketika fakta objektif tidak terlalu mempengaruhi pendapat pubik dibandingkan dengan kepercayaan emosional dan personal. "Post truth memungkinkan seseorang untuk merasa benar tanpa menganggap dirinya tidak jujur," terangnya.
Di Indonesia sendiri, situasi ini meningkat setidaknya bersamaan dengan pelaksanaan Pemilu Presiden 2014, ketika hoax dan fake news bertebaran untuk mempengaruhi preferensi pemilih. Kian memanas pada pelaksanaan Pilkada 2017, khususnya dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta, dan hari ini semakin tidak terkendali menjelang pelaksanaan Pilkada serentak 2018 dan Pemilu serentak 2019.
"Praktiknya di Indonesia, hoax dan fake news yang bertebaran umumnya bersendikan sentikan politik, ideologi, dan agama, yang juga memiliki korelasi dengan intoleransi dan ekstremisme atau pandangan dan tindakan kekerasan," ujar Wahyudi.
Dia menegaskan, faktor pemicu maraknya disinformasi ini, tentu tidak terletak pada internetnya, karena internet sesungguhnya hanya menjadi medium baru bagi persebaran fake news dan hoax. "Secara umum, merujuk kepada sejumlah studi menunjukan bahwa alasan yang mempengaruhi publik mempercayai informasi yang belum tentu kebenarannya adalah karena beberapa hal," ujar Wahyudi.
Pertama, persebaran informasi tersebut dilakukan berulang, terus-menerus dalam jumlah yang masif, sehingga kemudian dinilai menjadi kebenaran. Kedua, rendahnya tingkat literasi masyarakat, baik literasi media apalagi literasi digital, sehinga langsung mempercayai suatu informasi yang diterimanya, apalagi dari internet, tanpa melakukan pengecekan sumber, atau bahkan tidak mengetahui teknik sederhana untuk melakukan verifikasi informasi.
Ketiga, unsur psikologis karena adanya persamaan ideologi, kedekatan atau pandangan akan suatu hal, seperti keyakinan keagamaan, sehingga tidak merasa perlu untuk melakukan verifikasi terhadap validasi sumber maupun referensi dari sumber kedua, atau perbandingan dengan sumber informasi lainnya. "Publik cenderung ingin mempercayai apa yang ingin mereka percayai, hal yang sesuai dengan kondisi keadaan saat itu. Hal ini menjadi alasan untuk tidak mencari sumber tandingan untuk apa yang mereka percaya," ujarnya.
Keempat, relasi supply chain antara kebutuhan dengan penawaran. "Ketika hari ini publik makin mudah mengakses informasi berbekal pada smart phone yang dimilikinya, dengan disandari oleh kebutuhan spiritualitas keagaaman ataupun sentimen politik tertentu, kemudian ada pihak yang memasok informasi dengan sandaran serupa, meskipun konten informasinya tidak berkualitas atau bahkan palsu. Publik tidak lagi peduli dengan legitimasi sumber berita atau narasumber yang menyampaikan," papar Wahyudi.
Kelima, makin tipisnya batas (konseptual) antara ruang publik dan ruang privat, sebab internet menciptakan banyak hibridasi, sehingga publik sulit untuk membedakan lagi pemisahan antara publik dengan privat, termasuk dalam penyebarluasan informasi. Publik sebenarnya tidak sadar apa yang mereka bagikan ke media sosial (fitur sharing). Sebagaimana fake news dan clickbaits masyarakat seringkali hanya melihat judul gemerlap pada sosial media tanpa membaca, menonton, ataupun mendengarkan konten yang mereka bagikan secara seksama ataupun melakukan verifikasi terhadap sumber yang mereka terima.
Keenam, kurangnya pengaruh dan determinasi dari media mainstream, sebagai akibat dari turunnya kepercayaan terhadap media-media konvensional, sehingga media sosial yang tidak melalui proses verifikasi dan keredaksian justru menjadi mainstream dan dipercaya kebenarannya. "Media-media utama (konvensional) seringkali dituduh bias secara politik atau karena kepemilikan," tegas Wahyudi.
Maraknya hoax ini, menurut dia, berdampak jelas pada penikmatan kebebasan sipil. Pada periode sebelumnya, ancaman terhadap kebebasan sipil banyak dipicu oleh maraknya praktik-praktik kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah (legitimate expression), dengan pengggunaan pasal-pasal pencemaran nama baik, yang menimbulkan chilling effect bagi kebebasan berpendapat dan berekspresi.
"Selain juga praktik-praktik persekusi keagamaan yang dipicu oleh penyebaran ujaran kebencian yang mengarahkan pada tindakan kekerasan (incitement to violence) dengan mengatasnamakan agama," kata Wahyudi.
Hari ini, ancaman terhadap kebebasan sipil tidak hanya dipantik oleh faktor-faktor di atas, tetapi juga dibangkitkan oleh kabar bohong (hoax) dan berita palsu (fake news) yang dikirim secara berulang-ulang, sehingga dipercaya sebagai kebenaran. Akibat penyebaran hoax dan fake news yang kemudian dipercaya sebagai kebenaran ini, tindakan represif atau bahkan koersif tidak lagi semata-mata dilakukan oleh negara (aparatnya), tapi oleh kelompok yang mempercayai informasi palsu tersebut.
Wahyudi menjelaskan, tindakannya beragam, dari mulai yang beradab (civil) sampai yang tidak beradab (uncivil). "Mulai dari tindakan pembungkaman kebebasan berpendapat dengan cara perundungan di media sosial, kriminalisasi, stigmatisasi dan diskriminasi, pembubaran dan pelarangan kegiatan (diskusi, pemutaran film, kesenian), penganiayaan terhadap orang yang berekspresi secara sah, baik secara verbal maupun fisik, pengrusakan terhadap properti, hingga persekusi keagamaan," ujarnya.
Bagaimana Penanganannya? Penanganan terhadap maraknya disinformasi, fake news, dan hoax harus dilakukan secara simultan dan kolaboratif. Simultan artinya memerlukan banyak tindakan dan agenda, serta dilakukan secara jangka panjang dan terus-menerus, sementara kolaboratif berarti harus melibatkan banyak pihak dan aktor, tidak hanya negara (pemerintah), tetapi juga intermediaries (sektor privat), media, dan publik sendiri. Penanganannya dapat dibagi ke beberapa level, yaitu: negara, intermediaries, media, dan masyarakat sipil.
Respons negara bisa dalam bentuk penegakan hukum, perubahan kebijakan (undang-undang), hingga pembenahan kurikulum yang mendorong literasi digital maupun literasi pada umumnya. Dalam konteks penegakan hukum, khusus terhadap fake news atau hoax di Indonesia memang problematis, karena ketentuan yang ada sangat berkait erat dengan perbuatan curang untuk mencari keuntungan dan perniagaan (ketentuan Pasal 390 KUHP dan Pasal 28 Ayat (1) UU ITE).
Jika konten fake news atau hoax mengandung muatan yang dilarang oleh UU ITE (kesusilaan, perjudian, pencemaran nama baik, penyebaran ujaran kebencian, ancaman kekerasan), baru penegakan hukum mungkin untuk dilakukan secara tegas, dan terpenuhi unsurnya. Selain juga mengacu pada sejumlah peraturan perundang-undangan lain, seperti KUHP dan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Pembaruan hukum diperlukan tidak semata-mata terkait dengan sanksi, tetapi juga bagaimana merumuskan aturan mengenai tanggungjawab intermediaries, termasuk tanggung jawab sosialnya, serta perlunya mendorong literasi digital. "Dalam hal itu juga pembenahan kurikulum pendidikan diperlukan, agar dalam jangka panjang publik memiliki kapasitas literasi yang memadai dalam menggunakan perangkat-perangkat digitalnya," ujarnya.
Sementara intermediaries dapat diberikan tanggungjawab untuk menciptakan beragam artificial intelligent yang dapat digunakan untuk menyaring fake news dan hoax. Selain itu, mereka juga penting diberikan tanggung jawab sosial untuk membantu meningkatkan kapasitas literasi konsumennya. Prinsip-prinsip bisnis dan hak asasi manusia dapat menjadi acuan dalam menentukan sejauh mana tanggung jawab intermediaries dalam menjalankan bisnisnya, dan mengelola serta melindungi konsumennya. Sedangkan media memiliki tanggungjawab untuk memastikan bekerjanya prinsip-prinsip etika jurnalistik, sehingga mampu menjaga akurasi beritanya dan mendapatkan kepercayaan dari publik.
Melihat dan mempertimbangkan situasi dan gambaran fakta-fakta di atas, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) memberikan sejumlah rekomendasi berikut ini. Pertama, pentingnya penegakan hukum yang selektif untuk sejumlah kasus penyebaran hoax, fake news, dan disinformasi yang mengancam kebebasan sipil, dengan mengacu pada sejumlah peraturan perundang-undangan.
Kedua, perlunya kaji kebijakan untuk kemudian melakukan pembaruan terhadap peraturan perundang-undangan terkait, sehingga mampu memberikan respons terhadap maraknya disinformasi, fake news, dan hoax. Ketiga, pentingnya pelembagaan tanggung jawab intermediaries dalam bentuk kebijakan yang mengikat, termasuk kemudahan layanan aduan terhadap konten fake news dan hoax.
Keempat, pentingnya perubahan kurikulum pendidikan yang memastikan literasi digital berlangsung secara sistematis dan simultan, termasuk pelibatan intermediaries, media, dan publik dalam pelaksanaannya, sehingga tidak semata-mata dikerjakan pemerintah. Kelima, perlunya sebuah lembaga rujukan yang terpercaya, untuk memberikan informasi yang utuh dan gamblang tentang kebenaran suatu informasi/berita, meski dapat juga dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sebagai wujud partisipasi. (mag)
Polisi Gunakan Laporan PPATK Ungkap Kaitan Saracen dan Asma Dewi
Rabu, 13/09/2017 18:31 WIBPenyidik Bareskrim Polri telah menerima laporan hasil analisa Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait 14 rekening milik kelompok Saracen dan satu rekening milik Asma Dewi. Penyidik akan mencari tahu kaitan Saracen dan Asma Dewi dari laporan tersebut.
"PPATK sudah menyerahkan laporan hasil analisa pada Bareskrim tadi pukul 14.00 WIB siang. Sekarang oleh penyidik akan dilakukan sebuah analisa dengan membandingkan fakta-fakta lainnya diri yang didapat dari jejak digital," kata Kabag Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Martinus Sitompul di kantornya, Jl Trunojoyo, Jakarta Selatan, Rabu (13/9).
Saat ini, penyidik sedang meneliti transaksi yang tercatat di laporan hasil analisa PPATK. Dari hasil laporan analisa nantinya dapat diketahui dari pihak mana saja aliran dana yang masuk ke Saracen. Penyidik juga akan mencari latar belakang sumber dana itu.
"Mereka (penyidik) sedang bekerja, nanti hasilnya nanti dilihat apakah memang seperti dugaan selama ini memunculkan ada orang yang menyerahkan dalam jumlah tertentu, nanti bisa dibaca di situ, dilihat dari transaksi, cuma orang-orang itu kan mesti dicari latar belakang. Ya nanti kan dilihat, seperti yang Asma Dewi (transaksi) dia ngalir misalnya ke NS," ujarnya.
Penyidik juga akan memeriksa jejak-jejak digital, berkas-berkas dan komunikasi para tersangka. Misalnya menelusuri jejak komunikasi secara langsung maupun tidak langsung dengan berbagai teknik penyidikan.
Sebelumnya diberitakan, laporan PPATK diharapkan dapat memperkuat informasi yang diterima Polri soal adanya aliran dana Rp 75 juta dari Asma Dewi ke Saracen. (dtc/mfb)Polisi Dalami Kaitan Rizal Kobar dan Saracen
Selasa, 29/08/2017 19:00 WIBPolisi sedang mendalami adanya dugaan keterlibatan narapidana ujaran kebencian Rizal Kobar, dengan kelompok Saracen. Hasil pemeriksaan sementara, Rizal diketahui sebagai salah satu dewan pakar sindikat Saracen.
Rizal ditahan di Rutan Cipinang sejak tanggal 31 Januari sampai 19 Februari 2017 dan diperpanjang masa penahanan oleh Ketua PN Jakarta Selatan, Prim Haryadi sejak 20 Februari sampai 21 Maret 2017.
Rizal didakwa menggerakan akun Twitter Iwan Bacot (@Bacotiwan) yang berisikan ujaran kebencian menggunakan alamat email pribadinya. Dia ditangkap polisi bersamaan dengan penangkapan tersangka makar Sri Bintang Pamungkas cs pada 2 Desember 2016.
"Rizal Kobar salah satu dari dewan pakar struktur organisasi Saracen," ujar Kasubdit I Direktorat Tindak Pidana Siber Kombes Irwan Anwar, Selasa (29/8).
Sedangkan, Karo Penmas Mabes Polri Kombes Rikwanto mengatakan, saat ini penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri sedang mendalami sejauh mana peran Rizal Kobar. Polisi juga mencari tahu apa saja yang dilakukan Rizal dalam kelompok penyebar isu SARA, ujaran kebencian dan hoax itu.
"Sedang didalami perannya (Rizal Kobar). Pertama kan kami tangkap Sri, kemudian Jasriadi, kemudian MFT. Nah baru ternyata mereka ada koneksi dengan Rizal Kobar. Koneksinya seperti apa, sedang didalami," terang Rikwanto di gedung Divisi Humas, Mabes Polri.
Rizal Kobar telah divonis 6 bulan 15 hari penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada awal Juni lalu. Dia dijatuhi hukuman bersama seseorang bernama Jamran dalam kasus ujaran kebencian. Diwawancarai kala itu, keduanya mengaku tidak menyesal melakukan perbuatannya.
"Saya tidak pernah merasa menyesal bahwa konsekuensi postingan saya lalu ditangkap sama sekali tidak ada nilai-nilai menyesal," kata Rizal, ditemui usai menjalani sidang putusan, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Jakarta, Senin (5/6). (dtc/mfb)Pemerintah Diminta Pertegas Posisi Ujaran Kebencian Masyarakat
Selasa, 29/08/2017 12:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah diminta untuk segera mempertegas posisi ujaran kebencian atau hate speech yang kerap beredar di masyarakat Indonesia. Tujuannya, agar pelaksanaan demokrasi tidak terhadang oleh hate speech yang disebarkan secara tidak bertanggung jawab.
"Dalam menyikapi kasus sarachen ini, pemerintah harus jelas merumuskan apa itu hate speech agar tidak berbenturan dengan hak konsitusional masyarakat untuk mengemukakan pendapat," kata Peneliti Bidang Hukum Pidana dari Mata Garuda Institute (MGI) Ola Anisa Ayutama dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Selasa (29/8).
Ola mengemukakan hal itu menyikapi hate speech yang disampaikan dalam kasus Saracen. Menurutnya, kebebasan masyarakat dalam berpendapat merupakan hak konstitusional warga negara yang diatur dalam Pasal 28 E Ayat (3). "Dan untuk merumuskan apa itu hate speech, dapat dilihat pada bagaimana dokumen hukum internasional mengatur mengenai hal tersebut," ujar Ola.
Misalnya, lanjut dia, melihat pada Convention on The Elimination of All forms of Racial Discrimantion yang merumuskan hate speech sebagai penyebaran dan penghasutan ide berbasis diskriminasi ras dan kebencian ras yang berujung pada kekerasan terhadap ras. Hal ini kemudian memang telah diakomodasi dalam UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Namun demikian, dalam Undang-Undang (UU) ini kurang menyebutkan diskriminasi dengan dasar agama sehingga perlu diatur pula.
"Poin penting yang membedakan ujaran kebencian dengan tindak pidana yang lain adalah pada akibatnya, yaitu apakah berujung pada kekerasan atau tidak," jelas Ola.
Namun hal penting yang perlu diingat, kata Ola, sah-sah saja pemerintah melakukan pembatasan atas hak tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945 atas dasar perlindungan kepentingan umum. "Tetapi harus diatur dalam UU, bukan hanya tataran surat edaran. Oleh karenanya, mengatasi masalah sarachen ini perlu terlebih dahulu merumuskan apa itu hate speech sehingga tindakan selanjutnya tidak sewenang-wenang dalam membatasi hak berpendapat," terang Ola.
Ola mengatakan, kasus Saracen adalah gambaran bagaimana hate speech telah terorganisasi. Karena itu, hate speech harus diatur sebagai tindak pidana karena dapat menjadi faktor kriminogen atau faktor penyebab kejahatan, berupa hate crime atau kejahatan yang timbul karena motivasi kebencian.
Contoh hate crime, ucap dia, pernah terjadi di Inggris terkait pengrusakan masjid karena kebencian pada umat Islam. Hal senada juga pernah terjadi di Indonesia tentang pengrusakan Masjid Ahmadiyah karena kebencian pada golongan Ahmadiyah.
Ola menilai, hate crime di Indonesia belum memiliki arah perumusan yang jelas. Bahkan, kata dia lagi, Kapolri pernah mengeluarkan surat edaran Kapolri nomor SE/6/X/2015 tentang ujaran kebencian, namun mencampuradukkan hate speech dengan pencemaran nama baik, penghinaan, dan delik-delik lainnya.
Padahal, antara ujaran kebencian, pencemaran nama baik maupun penghinaan tidak bisa dicampuradukkan dalam satu dimensi. Jika ini dicampuradukkan, maka potensi yang terjadi adalah adanya pembungkaman kebebasan berekspresi atas dasar misalnya pencemaran nama baik atau penghinaan. Hanya karena dikatakan sebagai ujaran kebencian.
"Pencemaran nama baik dan penghinaan adalah kejahatan yang sifatnya individual dan sebagai delik aduan. Beda dengan ujaran kebencian yang harusnya bersifat publik tanpa aduan. Selain itu, akibat pencemaran nama baik, penghinaan dan ujaran kebencian juga berbeda," tandas Ola. (mag)
Jokowi Perintahkan Pelanggan Saracen Diusut Tuntas
Minggu, 27/08/2017 21:00 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan aparat kepolisian untuk mengusut klien pemesan dan pendana sindikat hoax dan kebencian Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA) di media sosial, Saracen. Menurutnya kegiatan yang dilakukan kelompok Saracen dengan menyebarkan berita hoax di media massa sebagai perbuatan yang mengerikan.
"Saya sudah perintahkan kepada Kapolri, diusut tuntas bukan hanya Saracen-nya saja, tapi siapa yang pesan siapa yang bayar, harus diusut tuntas," ujar Jokowi di Lapangan Silang Monas, Jakarta Pusat, Minggu (27/8).
Jokowi menegaskan, media sosial memang bisa merusak bila digunakan sebagai sarana fitnah, seperti yang dilakukan Saracen.
"Individu saja sangat merusak kalau informasinya tidak benar, bohong, apalagi fitnah. Apalagi ini terorganisasi. Ini mengerikan sekali. Kalau dibiarkan akan mengerikan," tegas Jokowi.
Sebelumnya Kabag Mitra Divisi Humas Polri, Kombes Awi Setiyono, mengungkapkan dalam bisnisnya sindikat Saracen menyediakan sejumlah paket dalam bisnisnya kepada pemesannya. Biasanya total uang yang harus dibayar kepada pelaku berkisar di angka Rp 72 juta.
Dari Rp72 juta itu, uang yang dipakai untuk pembuatan situs sebesar Rp15 juta. Para buzzer yang beroperasi di media sosial lewat sebaran-sebaran konten SARA biasa dihargai Rp 45 juta untuk 15 orang dalam satu kali proyek.
"Untuk membuat buzzer sekitar 15 orang dikenakan biaya sebulan Rp 45 juta," jelas Awi di Mabes Polri, Jumat (25/8). (dtc/rm)Kominfo Siapkan Aturan Cegah Konten Negatif
Minggu, 27/08/2017 08:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) saat ini tengah mempersiapkan aturan untuk mencegah produksi dan penyebaran konten negatif di internet. Dirjen Aplikasi Informatika Kominfo Semuel Abrijani mengatakan, aturan ini penting mengingat kondisi media sosial di Indonesia saat ini terbilang cukup memprihatinkan.
Terlebih setelah polisi berhasil mengungkap praktik provokasi isu SARA oleh sindikat Saracen. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pun sedang mematangkan aturan untuk penyedia layanan Over the Top (OTT) seperti Google, Facebook, Twitter, WhatsApp, Line, dan lainnya.
"Kemarin kayak di luar negeri ada badan khusus menangani hoax dari medsos. Nah, kalau di Indonesia lagi buat aturan Over the Top. Itu adalah aturan tentang platform di internet seperti FB, Twitter, segala macam. Nah itu aturannya di dalam situ kita atur juga bahwa mereka wajib aktif membersihkan (hoax)," ujar di kantornya, Jl Medan Merdeka Barat, Jakpus, Sabtu (26/8).
Kominfo juga sudah memanggil para petinggi penyedia OTT. Aturan ini sekarang tengah digodok dan ditargetkan rampung akhir tahun 2017. "OTT sampai tahapan draf. Kemarin kita baru konsultasi pertama dengan komunitas dulu, ini yang kita garap secara cepat. Diharapkan tahun ini bisa selesai," kata Semuel.
Kominfo mewajibkan penyedia OTT harus mengikuti regulasi yang berlaku nantinya. Sebab, saat ini konten negatif yang berisi ujaran kebencian, SARA, hingga radikalisme sudah cukup merebak.
"Harus ngikut, yang punya negara kan siapa? Mereka berdiri di sini tapi kita akan buat aturan yang memperhatikan kaidah bisnis international, tapi jangan sampai kedaulatan kita dikorbankan," imbuh Semuel. (dtc/mag)
Polisi Jangan Ragu untuk Tangkap Pendana Saracen
Sabtu, 26/08/2017 10:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Wakil Ketua Komisi I DPR-RI, TB Hasanuddin mengapresiasi kerja kepolisian dalam mengungkap dan menangkap pengurus Saracen, group sosial media yang kerap melakukan provokasi melalui isu SARA. Namun demikian, politisi PDI Perjuangan itu juga meminta institusi lainnya untuk bersinerji dengan kepolisian agar kejahatan siber tersebut bisa diselesaikan secara tuntas.
"Polisi, Kominfo, BIN harus bekerjasama untuk mengusut tuntas dan mengungkap siapa saja yang memesan kepada Saracen," ujar Hasanuddin dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Sabtu (26/8).
Purnawirawan Jendral TNI bintang dua tersebut mengatakan, aksi kejahatan siber yang dilakukan Group Saracen tidak berdiri sendiri. Tentunya, imbuh Hasanuddin, ada pihak tertentu yang turut membiayai group itu dengan tujuan memecah persatuan dan membuat rasa tidak aman di kalangan masyarakat, terutama pengguna sosial media.
"Tidak mungkin Saracen melakukan penyebaran ujaran kebencian tanpa biaya. Pasti ada pemodal atau yang membiayai di balik semua itu," kata Hasanuddin.
Untuk itu, Hasanuddin mengingatkan Polri untuk tidak ragu dalam menindak tegas otak intelektual dan pendana di belakang Group Saracen tersebut. Terlebih lagi, sanksi hukum bagi penyebar konten ujaran kebencian sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Dalam UU ITE sudah secara jelas disebutkan bahwa pelaku penyebar konten ujaran kebencian bisa dipenjara hingga 6 tahun penjara. Jadi Polri jangan ragu untuk menindak tegas pelaku," pungkas Hasanuddin.
Sebagaimana diketahui, Polri berhasil menciduk tiga pengurus Saracen, group sosial media yang kerap memprovokasi isu SARA. Tiga tersangka yang ditangkap yakni MFT, 43, yang berperan membidangi media dan informasi situs Saracennews.com, SRN, 32, yang berperan sebagai koordinator grup wilayah, dan JAS, 32, yang berperan sebagai ketua.
Kelompok Saracen ini sebenarnya telah eksis sejak November 2015. Mereka menggunakan beberapa sarana untuk menyebarkan ujaran kebencian berkonten SARA. Media tersebut antara lain di Grup Facebook Saracen News, Saracen Cyber Team, situs Saracennews.com, dan berbagai grup lain yang menarik minat warganet untuk bergabung.
Hingga saat ini diketahui jumlah akun yang tergabung dalam jaringan Grup Saracen lebih dari 800.000 akun. Saracen mengunggah konten ujaran kebencian dan berbau SARA berdasarkan pesanan. Tujuan mereka menyebarkan konten tersebut semata alasan ekonomi.
Media-media yang mereka miliki, baik akun Facebook maupun situs, akan memposting berita atau konten yang tidak sesuai dengan kebenarannya, tergantung pesanan. Para pelaku menyiapkan proposal untuk disebar kepada pihak pemesan. Setiap proposal ditawarkan dengan harga puluhan juta rupiah. Hingga kini, masih didalami siapa saja yang memesan konten atau berita untuk diunggah di grup maupun situs Saracen.
Sebelumnya, anggota Komisi I DPR Charles Honoris meminta kepolisian membongkar jaringan penyebar isu SARA lainnya yang serupa dengan grup Saracen. Dia mengatakan masih ada puluhan ribu situs hoax yang digunakan untuk penyerangan terkait pemilu.
"Saya mendapatkan informasi bahwa ada jutaan akun dan puluhan ribu situs hoax yang sudah disiapkan untuk menghadapi perhelatan politik di tahun 2018 dan 2019," ujar Charles dalam keterangan tertulis, Jumat (25/8).
Charles menuturkan hal tersebut dapat mengancam persatuan bangsa karena bisa memecah belah suara rakyat. "Tentunya hal ini dapat mencederai iklim demokrasi yang sehat menjelang pilkada dan pemilu, dan lebih lagi mengancam persatuan bangsa," kata Charles.
Politikus PDIP itu meminta Polri bisa mengungkap dan menangkap jaringan-jaringan lainnya. Sebab, menurut Charles, penyebaran hoax dan ujaran kebencian adalah pelanggaran pidana yang mengacu pada UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). "Oleh karena itu, saya berharap Polri terus melanjutkan pengungkapan dan penangkapan jaringan-jaringan lain yang menyebarkan ujaran kebencian dan hoax di media sosial," ucapnya.
Menurut Charles, ujaran kebencian dapat memicu konflik horizontal. Juga memperbanyak masyarakat melakukan radikalisme, bahkan aksi terorisme. "Oleh karena itu, ujaran kebencian harus kita lawan bersama. Ditunggu pengungkapan dan penangkapan selanjutnya," tutur Charles. (dtc/mag)