-
Komnas Perempuan Minta Negara Hentikan Femicide
Rabu, 15/11/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) turut berduka dan mengutuk keras kasus-kasus femicide atau pembunuhan terhadap perempuan yang semakin menggerus rasa aman masyarakat. Kasus dr. L, salah satunya, almarhum telah melapor polisi atas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami, tetapi polisi tidak menahan pelaku dan tidak memberikan perlindungan sementara kepada korban.
"Padahal UU PKDRT menyebutkan terdapat 10 pasal khusus mengatur tentang perlindungan sementara dan perintah perlindungan untuk korban. Pada review 10 tahun implementasi UU PKDRT yang dilakukan Komnas Perempuan, aspek perlindungan dan keamanan korban inilah yang paling lemah dijalankan," kata Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Rabu (15/11).
Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2017 memperkenalkan lebih jauh tentang femicide, pembunuhan perempuan karena dia perempuan. "Arti femicide adalah penghilangan nyawa perempuan berhubungan dengan identitas gendernya," terang Mariana.
Femicide adalah puncak dari kekerasan terhadap perempuan yang berakhir pada hilangnya nyawa perempuan. Femicide jarang terungkap/dilaporkan karena dianggap korban sudah meninggal. Komnas Perempuan mencatat bahwa femicide minim terlaporkan ke Komnas Perempuan ataupun lembaga layanan, karena dianggap korbannya sudah meninggal, padahal hak asasi seseorang atas martabat, hak kebenaran, hak atas keadilan dan sebagainya, tidak berhenti dengan hilangnya nyawa.
Kasus femicide cenderung hanya dianggap kriminalitas biasa yang ditangani polisi, yang lebih fokus untuk mencari pelaku, minim analisa GBV (Gender Based Violence atau Kekerasan Berbasis Gender) tidak ada diskusi dan kurang perhatian aspek pemulihan korban serta keluarganya. Femicide perlu menjadi perhatian, karena dapat saja terjadi karena tidak dijalankannya fungsi perlindungan korban saat terancam nyawanya, termasuk dalam konteks PKDRT.
"Femicide terjadi karena kuatnya kuasa patriarki, relasi kuasa antara pelaku dan korban, dan pelaku adalah orang-orang dekat yang dikenal korban," tegas Mariana.
Pola-pola femicide yang selama ini dianalisa Komnas Perempuan berasal dari data terlaporkan langsung, tertulis, media dan mitra, menunjukkan bahwa femicide dapat disebabkan oleh kekerasan seksual dengan atau berakhir pembunuhan, ketersinggungan maskulinitas seksual laki-laki, kecemburuan, kawin siri yang tidak ingin terbongkar, menghindar tanggungjawab karena menghamili, prostitusi terselubung yang minim pantauan, kekerasan dalam pacaran. Pelaku adalah orang-orang yang dikenal, orang dekat, baik pacar, kawan kencan, suami, pelanggan, dan lainnya.
"Pola femicide-nya juga sadis dan tidak masuk akal, korban dimasukkan dalam koper, dibuang di bawah jalan tol, terjadi di tempat kost atau hotel dengan kondisi jenazah dihukum secara seksual, dibunuh dalam keadaan hamil, dibuang ke lumpur, jurang dan lainnya," ujarnya.
Komnas Perempuan mencatat lima kasus pengaduan femicide yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan. Kemudian melalui penelusuran kliping di media di tahun 2017 saja, ada sekitar 15 kasus pembunuhan perempuan, termasuk dr. L.
Di tahun 2016 kasus-kasus yang mencuat antara lain kasus pembunuhan dan perkosaan berkelompok YY di Bengkulu, kisah korban yang diperkosa lalu dibunuh dengan gagang cangkul menancap di vagina korban. Kemudian, pembunuhan dan kekerasan seksual kepada F anak 9 tahun di Kalideres, Pembunuhan korban yang dibuang dalam kardus di bawah jalan tol, pembunuhan (mutilasi) ibu hamil di Tangerang karena relasi personal janji nikah (eksploitasi seksual).
Pelapor Khusus PBB untuk VAW (Violence Against Women), Dubracka Simonovic, pada tahun 2015, telah menyerukan kepada dunia agar setiap negara membuat femicide watch atau gender related killing of women watch, dan meminta agar data-data tersebut harus diumumkan setiap tanggal 25 November pada Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Data WHO menyebutkan di seluruh dunia 37% pembunuhan perempuan dilakukan oleh intimate partner: suami, pacar, mantan suami, mantan pacar.
Oleh karena itu, melihat banyaknya kasus femicide tersebut, maka Komnas Perempuan mendesak agar Polri harus siaga penuh untuk menjaga dan menjamin keamanan pelapor atau perempuan yang terindikasi terancam jiwanya. Media juga dituntut untuk menghindari viktimisasi pada korban dengan menjaga integritas korban dan keluarganya.
Mariana menegaskan, masyarakat, termasuk keluarga besar, tempat kerja, organisasi, lembaga pendidikan diminta untuk menjadi bagian untuk pencegahan dan perlindungan berbasis komunitas. "Pemerintah untuk menyerukan pendataan yang serius terhadap femicide sebagai acuan agar bisa diambil langkah sistemik untuk pencegahan dan penangannya," pungkasnya. (mag)LBH APIK Minta Kapolri dan Jajaran Berpihak pada Korban Perkosaan
Minggu, 22/10/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Asosiasi LBH APIK Indonesia dengan 16 kantornya di seluruh Indonesia menyatakan keberatannya atas pernyataan Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian dalam wawancaranya dengan BBC.com tertanggal 19 Oktober 2017. Dalam wawancara tersebut, Kapolri dinilai telah menyakiti para korban perkosaan.
Dalam wawancara itu, Tito sempat menyatakan: "Korban perkosaan bisa ditanya oleh penyidik ´apakah nyaman´"......... kemudian Tito melanjutkan dengan pernyataan: "Pertanyaaan seperti itu yang biasanya ditanyakan oleh penyidik sewaktu dalam pemeriksaan, untuk memastikan, apakah benar korban diperkosa atau hanya mengaku diperkosa, untuk alasan tertentu."
"Pernyataan Kapolri tersebut memperlihatkan pendekatan yang sangat legalistic formal karena hanya mempertimbangkan pembuktian unsur paksaan dalam perkosaan dan membebankannya kepada korban," kata pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia Nursyahbani Katjasungkana, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Minggu (22/10).
Hal itu disayangkan, karena masih ada cara-cara lain yang harusnya bisa dipertimbangkan tanpa mengajukan pertanyaan yang tidak sensitif terhadap kepentingan korban. "Aparat Penengak Hukum seharusnya mampu menggali unsur paksaan atau kekerasan justru dari pelaku/tersangka itu sendiri dan bukan sebaliknya," tegas Nursyahbani.
Unsur paksaan atau kekerasan itupun tidak seharusnya diartikan sebagai kekerasan fisik semata, sebagaimana pengertiannya dalam KUHP, melainkan dengan mengacu kepada UU lain (misalnya UU PKDRT) atau pada deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang menetapkan bahwa bentuk kekerasan terdiri dari kekerasan fisik, psikis dan seksual. "Kapolri harusnya juga melihat konteks sosial budaya kita yang masih sangat patriarkhis dan menempatkan perempuan sebagai obyek seksual dan dalam relasi yang sangat tidak adil dan tidak setara," ujar Nursyahbani.
Pengurus Asosiasi LBH APIK lainnya, Ratna Batara Munti mengatakan, pernyataan Kapolri ini menjadi preseden buruk dan setback dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. "Padahal dalam 20 tahun terakhir upaya-upaya untuk mendorong penanganan yang berperspektif korban khususnya perempuan dan anak sudah dilakukan sebagaimana dalam UU PKDRT ataupun UU Tindak Pidana Perdagangan Orang yang telah menggunakan perspektif Hak Asasi Manusia serta kesetaraan dan keadilan gender," terangnya.
Pernyataan Kapolri, ini kata Ratna, jelas melemahkan dan bertentangan ketentuan Pasal 3 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana. Pasal tersebut menyebutkan bahwa prinsip penyelenggara pelayanan saksi dan/atau korban harus dilakukan dengan cara: "... mengajukan pertanyaan dengan cara yang bijak; tidak menghakimi saksi dan/atau korban; dan memperlakukan saksi dan/atau korban dengan penuh empati..."
Pernyataan Kapolri juga tidak sejalan dengan semangat reformasi di dalam sistem peradilan yang telah mempertimbangkan kesetaraan gender dan perspektif korban. Salah satunya adalah terbitnya Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. PERMA ini mengatur tata cara pemeriksaan perempuan berhadapan dengan hukum, yakni harus mempertimbangkan: "... dampak psikis yang dialami korban; ketidakberdayaan fisik dan psikis korban; relasi kuasa yang mengakibatkan korban/ saksi tidak berdaya ..."
Selain bertentangan dengan dua peraturan di atas, pernyataan Kapolri memperlihatkan minimnya pemahaman atas isu Kekerasan Terhadap Perempuan khususnya terkait dampak yang dialami korban akibat kekerasan seksual seperti perkosaan. Faktanya, dari pengalaman penanganan kasus selama lebih dari 20 tahun di LBH APIK di Indonesia, korban kekerasan seksual mengalami berbagai hambatan baik fisik, psikis dan sosial seperti stigma dan pengucilan karena eksisnya konstruksi social terkait seksualitas perempuan (pandangan misoginis, konsep virginitas).
"Itu semua membuat korban harus berjuang dan menguatkan dirinya untuk mendapatkan keadilan dengan membawa kasusnya ke jalur hukum," kata Ratna.
Penanganan Aparat Penegak Hukum (APH) yang hanya mengutamakan pendekatan legalistik formal akan memperburuk situasi korban dan pada akhirnya korban mengalami reviktimisasi.
Munculnya pernyataan Kapolri diatas juga menjadi bukti belum berhasilnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dalam mengarusutamakan gender dan seksualitas dan kekerasan terhadap perempuan ke dalam Institusi Penegak Hukum khususnya di Kepolisian.
Hal ini antara lain dikarenakan program dan pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan selama ini belum menyentuh pada akar persoalan Kekerasan Terhadap Perempuan yakni terkait konstruksi seksualitas perempuan di dalam masyarakat patriarkhi yang menjadi sumber penindasan terhadap perempuan. "Akibatnya Sistim Hukum di Indonesia dan pelaksanaannya masih bias gender dan tidak sensitif terhadap kepentingan korban perempuan," tegas Ratna.
Mempertimbangkan situasi tersebut, Asosiasi LBH APIK pun menyampaikan beberapa tuntutan. Pertama, Kapolri dan Kepolisian Republik Indonesia, agar menegakkan PERKAP RI Nomor 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana dan memantau pelaksanaannya sampai jajarannya yang paling bawah.
Kedua, mensosialisasikan PERMA RI Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum di lingkungan Kepolisian khususnya di tingkat Penyidik dan menjadikannya sebagai acuan dalam menangani perkara diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan khususnya korban perkosaan atau kekerasan berbasis gender lainnya. Jika perlu Kapolri dapat mengadopsi PERMA RI nomor 3 tahun 2017 tersebut menjadi Peraturan Kapolri.
Ketiga, memasukkan materi tentang gender dan seksualitas terkait masalah diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dalam kurikulum semua tingkat pendidikan di Kepolisian. Keempat, menuntut agar KPPPA, melakukan pengarusutamaan gender dan seksualitas terkait masalah diskriminasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan khususnya Kekerasan Seksual dikalangan Aparat Penegak Hukum dan instansi lainnya dari Pusat sampai Daerah. (mag)Perempuan Kalah Suara, Kebijakan Legislasi Pun Mendiskriminasi
Kamis, 21/05/2015 02:00 WIBBahkan dalam forum legislasi dan peraturan konsesus pun banyak yang mendiskriminasi kaum perempuan. Mulai dari gaya berpakaian, hingga terakhir, tes keperawanan pada calon anggota TNI perempuan.
Kasus Kekerasan dan Pelecehan Perempuan Meningkat Tajam
Rabu, 20/05/2015 19:00 WIBDalam banyak kasus, perempuan yang sejatinya sudah menjadi korban kekerasan rumah tangga justru kembali menjadi korban pelecehan baik dilecehkan oleh institusi atau pelecehan seksual.
Komnas Perempuan Desak Jokowi Hapus Perda Diskriminatif Perempuan
Jum'at, 20/03/2015 14:30 WIBKomisioner Komnas Perempuan Yuniyati Chuzaifah menyebutkan hingga 2015 terdapat sebanyak 365 perda yang diskriminatif terhadap perempuan.
Kendati Keterwakilan Perempuan Dikabulkan tapi Tak Ada Jatah Khusus Posisi Pimpinan
Rabu, 01/10/2014 17:00 WIBPerludem berharap keberadaan anggota DPR perempuan bisa memberikan dampak positif bagi kemajuan perempuan dan anak khususnya, sebagai bagian integral dari pengarusutamaan gender di Indonesia.
Menerawang Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen
Jum'at, 29/08/2014 13:00 WIBMenurut penelitian, di Skandinavia dan wilayah di Eropa Barat, semakin banyak perempuan yang duduk di kursi strategis pemerintahan dampaknya positif terhadap penurunan jumlah korupsi.
Sebagian Besar Caleg Perempuan Terpilih Karena Dukungan Elit Politik
Rabu, 30/07/2014 20:00 WIBPencalonan perempuan dalam pemilu legislatif tidak oleh partai politik dinilai hanya upaya memenuhi ketentuan kuota 30 persen.
Aturan Kuota Perempuan Tumpang Tindih dalam Pemilu 2014
Minggu, 01/06/2014 19:00 WIBKeterwakilan perempuan sebanyak 30% dalam pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD yang diatur dalam UU No. 8 tahun 2012 dinilai tumpang tindih dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2008 yang telah menganulir keterwakilan 30% tersebut.
Rintangan Caleg Perempuan Menuju Parlemen
Minggu, 02/03/2014 17:22 WIBUntuk itu, baru-baru ini Komnas Perempuan membuat Pakta Integritas untuk Partai yang ditandatangani oleh lebih dari 80 caleg yang maju pada Pemilu 2014, baik dari petahanan di DPR RI, maupun DPRD. 80 caleg yang terdiri dari kaum perempuan dan laki-laki itu berkomitmen dalam Pakta itu untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan perempuan.
Enam Pesan untuk Pemimpin Setelah Pemilu
Jum'at, 28/02/2014 21:00 WIBKomisi Nasional (Komnas) Perempuan bersama organisasi masyarakat sipil mendesakan enam isu utama kepada pemimpin bangsa hasil pemilu 2004 mendatang.
Hari Ibu, Perempuan Masih Alami Diskriminasi
Minggu, 22/12/2013 22:05 WIBKetua Komisi Nasional Perempuan Yuniyanti Chuzaifah mengatakan pemaksaan itu dikarenakan ada yang terpaksa menikah karena mengalami kekerasan seksual.
Meluruskan Kembali Hari Ibu
Minggu, 22/12/2013 21:04 WIBDalam konteks kekinian, kata Halimah, perjuangan perempuan difokuskan pada pengurangan angka kematian ibu, penghapusan kekerasan terhadap perempuan seperti kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual dan kekerasan negara melalui kebijakan-kebijakan yang mendiskriminasikan perempuan.
REDD+ Abaikan Hak Perempuan
Kamis, 27/06/2013 00:58 WIBPerubahan iklim telah menjadi permasalahan global yang terus diperbincangkan, sementara dampak buruk perubahan iklim telah dialami seluruh dunia. Situasi tersebut menciptakan berbagai solusi, salah satunya adalah Reduced Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD)+
Dahlan Iskan: Direktur-Direktur Perempuan Berpeluang Besar Majukan BUMN
Kamis, 25/04/2013 00:00 WIBSelalu ada yang fresh keluar dari kepala Dahlan Iskan. Belum kelar ide mengembangkan ladang ganja, Kali ini dia terbuka bicara soal perlunya menempatkan perempuan di posisi kunci di Badan Usaha Milik negara (BUMN).