-
Satgas Terpadu Jangan Patah Arang Bernegosiasi KKB di Papua
Minggu, 12/11/2017 10:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang telah menyandera 1.300 orang dari dua desa, yakni Desa Kimbely dan Desa Banti, Kecamatan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, ditengarai dari kelompok Organisasi Papua Merdeka.
Meski kelompok itu menolak negosiasi yang dilakukan Satgas Terpadu dari Polri dan TNI, aparat keamanan tetap harus melakukan langkah-langkah persuasif dan preventif agar masyarakat bisa terbebas dari intimidasi dan ancaman kelompok bersenjata, serta tidak menimbulkan korban jiwa.
Hal itu dikatakan Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanudin, terkait sikap keras kepala para penyandera. "Harus diwaspadai juga, karena kelompok bersenjata itu mengurung dua kampung, berarti jumlahnya pasti puluhan atau bisa jadi sampai ratusan," kata Hasanudin, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Minggu (12/11).
Dia menegaskan, untuk melakukan pemetaan agar satgas terpadu bisa melakukan tindakan secara terukur, maka Badan Intelijen Negara (BIN) juga harus terlibat secara penuh. "Sebab, BIN memiliki kisah sukses dalam merangkul tokoh separatis di Aceh," tambah Hasanudin.
Selain itu, kata dia, diplomat RI juga harus melakukan tindakan diplomasi yang efektif. "Saya yakin satgas terpadu dari polisi dan TNI bisa mengatasi persoalan itu. Namun, para diplomat juga jangan tinggal diam," tegas Hasanudin.
Tugas yang harus dilakukan para diplomat, menurut Hasanudin, adalah menjelaskan kasus ini ke dunia internasional agar tidak menimbulkan image buruk, mengingat persoalan Papua memiliki rentang diplomasi yang amat luas, ada negara yang mendukung Indonesia dan ada juga negara yang amat kritis. "Apalagi, Pak Jokowi sekarang ini sedang berada di Vietnam, menghadiri acara KTT APEC," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, setidaknya ada 1.300 orang dari dua desa, yakni Desa Kimbely dan Desa Banti, Kecamatan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, yang dilarang keluar dari kampung itu oleh kelompok bersenjata. Mereka tinggal di lokasi yang berdekatan dengan area Freeport. (mag)Selesaikan Masalah Papua, Pemerintah Diminta Bentuk Gugus Tugas
Sabtu, 11/11/2017 08:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Masalah penyanderaan dua desa di Papua, menunjukkan permasalahan Papua tak bisa diselesaikan secara parsial. Karena itu, Anggota Komisi I DPR RI Sukamta meminta pemerintah untuk membentuk gugus tugas khusus Papua. Gugus tugas ini akan bekerja untuk menyelesaikan persoalan Papua dan mendukung diplomasi luar negeri terkait isu Papua.
Sukamta menilai, pembentukan gugus tugas ini penting, menyusul kelompok kriminal bersenjata di Papua semakin memperlihatkan kekuatannya. "Kita ingin persoalan Papua dilihat secara holistik, dan diselesaikan secara tuntas, tidak parsial. Oleh karena itu, untuk jangka panjangnya, kita meminta agar pemerintah membentuk gugus tugas khusus Papua yang memiliki tugas tidak hanya menyelesaikan persoalan Papua di dalam negeri tetapi juga mendukung upaya diplomasi di luar negeri,” ungkap Sukamta, seperti dikutip dpr.go.id, Jumat (10/11).
Dia ini menegaskan, di dalam negeri pendekatan keamanan penting dilakukan secara sistematis. Tim gabungan TNI dan Polri musti bekerja secara cermat, apalagi warga sudah menjadi sandera. Badan Intelijen Negara (BIN) yang memiliki kisah sukses merangkul tokoh separatis di Aceh perlu juga dilibatkan.
Namun yang tidak kalah penting, diperlukan adanya pendekatan kesejahteraan. "Tidak hanya dengan menggelontorkan dana yang besar dengan otonomi khusus. Tapi juga bagaimana agar dana yang besar bisa tepat sasaran serta pembangunan harus berbasis budaya masyarakat setempat," kata Sekretaris Fraksi PKS ini.
´´Jangan sampai upaya pembangunan menimbulkan ketegangan budaya di masyarakat. Kita ingin masyarakat Papua makin puas dengan pembangunan sehingga makin kokoh ikatan terhadap NKRI,´´ tambaj wakil rakyat dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini.
Terkait upaya diplomasi gugus tugas dengan dunia internasional, Sukamta menjelaskan, persoalan Papua memiliki rentang diplomasi yang amat luas. Ada negara yang mendukung Indonesia dan ada juga yang amat kritis. Negara besar hingga negara kecil memiliki kepentingan sendiri terhadap Papua. Itu harus diselesaikan dengan cara tersendiri.
´´Duta besar RI di luar negeri yang punya irisan soal Papua, diharapkan untuk bekerja bersama-sama, tidak sendiri-sendiri menyelesaikan persoalan di satu negara,´´ pungkas Sukamta. (mag)TNI-Polri Terus Kejar Penyandera Dua Desa di Papua
Jum'at, 10/11/2017 08:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Aparat Polri dan TNI masih terus melakukan pengejaran terhadap kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang menyandera warga di Desa Kimbely dan Desa Banti, Mimika, Papua. Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut sudah ada yang diamankan terkait peristiwa tersebut. "Ada, ada yang sudah diamankan," kata Tito kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (9/11).
Pasukan dari TNI-Polri bersiaga di dua desa tersebut untuk menjaga keamanan. Selain itu, ada tim khusus yang mengejar anggota kelompok bersenjata. "Jadi memang ada tim yang mengamankan lokasi-lokasi, hampir 1.000 orang untuk amankan selama ini. Juga ada tim pengejar, tapi saya tidak akan sebutkan jumlah tim pengejar untuk kerahasiaan operasi," sambung Tito.
Tito menyebut isu kesejahteraan sosial menjadi salah satu isu pemicu adanya konflik KKB ini. Permasalahan ini timbul akibat perebutan limbah (tailing) hasil olahan Freeport yang diperebutkan warga lokal maupun pendatang.
Freeport sendiri mendapatkan pengamanan dari Polri dan TNI. "Yang jelas, pengamanan Freeport sendiri selama ini dengan adanya MoU dengan Freeport, Polri dan TNI di sana, lebih-kurang dari atas sampai bawah 74 mil, gunung kanan-kirinya jurang yang ada sungainya. Tempat mendulang itu hutan-hutan lebat, jurangnya dalam-dalam," paparnya.
Ada dua kelompok KKB yang sering membuat kekacauan di sana. Mereka menjadikan para penambang liar ini sebagai tameng dari kejaran aparat Polri-TNI. Kapolri melihat belum ada motif permintaan tebusan yang dilakukan oleh KKB dalam aksi ´penyanderaan´ ini.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Papua Kombes Ahmad Mustofa Kamal mengatakan, dua desa itu sudah 3 hari lamanya disandera KKB. "Ada 200 personel gabungan TNI-Polri untuk tangani kasus ini. Polri sendiri mendapat bantuan dari Kelapa Dua (Mako Brimob)," kata Ahmad.
Dalam upaya menangkap KKB, Kamal menjelaskan, aparat tak bisa serta merta masuk ke wilayah dua desa tersebut. Oleh sebab itu, aparat saat ini mengedepankan tokoh-tokoh masyarakat untuk melakukan negosiasi dengan KKB.
"Kita mau menuju ke sana itu, kalau TNI-Polri bisa langsung dihujani (tembakan) sama mereka. Jadi beberapa titik itu sudah ada KKB. Tindak lanjutnya, di sana kan ada tokoh masyarakat, tokoh adat, kepala suku. Warga masyarakat di bawah naungan kepala suku. Kita lakukan upaya negosiasi ngomong ke kepala suku," terang Kamal.
"Langkah polisi sampai saat ini masih mengandalkan tokoh masyarakat di Tembagapura, para pendeta untuk bernegosiasi supaya jangan libatkan masyarakat sipil," tandas Kamal.
Kamal menerangkan aparat TNI-Polri belum daapat berkomunikasi dengan KKB. "Kalau KKB tidak mau berkomunikasi dengan kita. Dalam arti kata, kita juga nggak ada akses ke sana," imbuh Kamal.
Dugaan saat ini, Kamal melanjutkan, KKB yang mengisolasi dua desa tersebut berasal dari Puncak Jaya, Intan Jaya, Tolikara, Lanny Jaya dan Paniai. "Warga masyarakat di sekitar lokasi itu, mereka tidak suka sama kelompok-kelompok ini karena mereka bukan penduduk asli daerah situ," ujar Kamal.
Kegiatan warga di dua desa tersebut dibatasi dan akses antara dua desa tersebut menuju Tembagapura diputus. "Bagi ibu-ibu, boleh belanja ke Tembagapura. Bagi laki-lakinya tidak bisa keluar dari Desa Kimbely sama Desa Banti. Di sana warganya masyarakat asli Papua dan masyarakat pendatang," kata Kamal.
Kamal menjelaskan dua desa tersebut berada sejalur di antara dua bukit tinggi. KKB sengaja merusak jalan menuju Tembagapura dengan menggali tanah hingga berlubang dan juga menempatkan batu-batu agar kendaraan tidak dapat melintas.
"Dari Tembagapura menuju desa itu kan satu lerengan. Kan ada dua bukit tinggi di Tembagapura, kanan-kiri, ada jalan dan sungai di bawahnya. Nah ketika kita mau ke desa itu harus melalui titik-titik itu. Itu lah yang dijaga oleh KKB. Jadi mereka tidak boleh melintas ke Tembagapura," jelas Kamal.
"Masyarakat yang sakit dan sebagainya tidak bisa serta merta lewati situ. Karena KKB sudah tanam batu-batu, termasuk jalan itu sudah digali sehingga ketika mobil mau melintas dan sebagainya, harus dirapikan dulu baru bisa melintas. Itu kondisinya di sana," sambung Kamal.
Polisi mengetahui adanya pengisolasian dua desa oleh KKB karena melihat sepinya aktivitas warga di pasar Tembagapura. Seorang warga perempuan menceritakan akses jalan telah putus sehingga warga harus berjalan kaki jika ingin pergi ke Tembagapura.
"Kita tahu mereka diisolasi ketika lihat masyarakat kok sepi sekali. Ada salah satu warga perempuan yang belanja ke Tembagapura menyampaikan bahwa transportasi sudah putus, makanya mereka perlu jalan kaki ke Tembagapura," ujar Kamal. (dtc/mag)Penembakan di Papua Diduga Terkait Isu Divestasi Freeport
Selasa, 31/10/2017 18:38 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Staf Khusus Presiden untuk Papua Lenis Kogoya mempertanyakan meningkatnya tensi keamanan di Papua. Menurutnya selama tiga tahun kepemimpinan Presiden Jokowi tidak ada penembakan-penembakan di Papua. Namun akhir-akhir ini justru banyak terjadi penembakan.
"Kenapa akhir-akhir ini dekat isu-isu politik, Pilgub ini bisa terjadi? Kenapa? Siapa yang bermain? Siapa yang mempermainkan itu? Ini saya bilang isu masalah Freeport yang pernyataan Pak Kapolda, Kapolda mengatakan tembak langsung itu, itu kewajibannya sebagai pihak keamanan untuk menjaga negara keutuhan," ujar Lenis.
Menyikapi kondisi ini Presiden Jokowi menurut Lenis, sempat membahas isu keamanan di Papua bersama staf khusus. Menurut Lenis aparat keamanan wajib menindak pihak-pihak yang merusak keamanan.
"Saya minta ke pihak keamanan, kalau memang ada yang salah ya harus ditindak. Pihak keamanan, pihak kepolisian, pihak TNI, Polri harus kerja sama baik," kata Lenis di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Selasa (31/10).
Menurutnya fakta-fakta di lapangan juga harus diungkap. Selain itu pendekatan dengan masyarakat Papua tidak bisa secara resesif.
"Tidak bisa kekerasan dengan alat-alat negara atau alat-alat yang terlarangan. Tapi, pendekatan dengan hati, itu yang lebih penting. Kenapa masyarakat itu marah, karena ada hal sesuatu yang belum beres," tandasnya.
Lenis tak menampik jika isu mengenai OPM kembali muncul. Sehingga aparat wajib mengambil tindakan. Namun Lenis juga menduga kondisi keamanan di Papua berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang meminta PT Freeport untuk melakukan divestasi.
Menurutnya solusi dari masalah keamanan di Papua adalah duduk bersama. Sehingga ditemukan jalan keluar.
"Mari jangan kekerasan dulu. Semua kekerasan kita berhentikan dulu. Sekarang pemerintah, Freeport, adat, duduk dulu. Ini maunya seperti apa ini. Pasti solusinya cepat selesai. Kalau kekerasan, lawan terus, tidak ada selesai. Freeport sudah hancur-hancuran, pertambangan hancur-hancuran, nanti kita rugi juga. Bukan orang Amerika saja rugi, Indonesia juga rugi kan?" kata dia.
Ia mengatakan bahwa Presiden Jokowi telah mempercayakan mediasi masalah keamanan di Papua kepadanya. Dia merupakan kepala suku di sana.
"Masalah keamanan Freeport, Pak Presiden percayakan saya untuk koordinasi di daerah untuk keamanan. Tapi garis besarnya masalah Papua, keamanan, itu saya sampaikan punya kepala suku. Kami selama ini perang suku di Timika, Tolikara, yang bisa selesaikan cuma saya. Tidak bisa dituruti. Orang semua tahu. Saya turun pasti aman," kata dia. (dtc/rm)PBB Tegaskan Petisi Papua Barat Hoax
Sabtu, 30/09/2017 08:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menegaskan kabar diajukannya petisi kemerdekaan Papua Barat oleh kelompok Benny Wenda hanya hoax. Klarifikasi itu disampaikan Wakil Tetap/Duta Besar Venezuela Rafael Ramirez pada media di markas besar PBB pada Kamis (28/9) pukul 9.46 waktu setempat. Klarifikasi itu diberikan terkait pemberitaan koran Guardian berjudul "Banned West Papua independence petition handed to UN".
"Sebagai Ketua Komite Khusus Dekolonisasi PBB (C-24), saya maupun Sekretariat Komite, tidak pernah menerima, secara formal maupun informal, petisi atau siapapun mengenai Papua seperti yang diberitakan dalam koran Guardian," demikian pernyataan Duta Besar Venezuela untuk PBB, Rafael Ramírez, sebagai ketua Komite Kolonisasi PBB di markas besar PBB di New York, seperti dilansir kemlu.go.id, Jumat (29/9).
Menjawab pertanyaan wartawan apakah Dubes Ramírez pernah berkomunikasi dengan Benny Wenda, ditegaskan bahwa selaku Ketua Komite Dekolonisasi, yang bersangkutan tidak mungkin berhubungan dengan pihak-pihak di luar agenda C24. Duta Besar Rafael Ramírez menyampaikan kegusarannya dengan adanya individu maupun pihak-pihak yang memanipulasi namanya untuk propaganda.
Pernyataan tersebut disampaikan setelah pada tanggal 27 September 2017 koran Guardian dalam artikelnya, menyebutkan bahwa Benny Wenda telah menyampaikan petisi yang meminta dilakukannya referendum untuk Papua kepada Komite Dekolonisasi PBB. Lebih lanjut Duta Besar Ramírez menegaskan bahwa dirinya sangat menghormati integritas dan kedaulatan wilayah semua anggota.
Seperti di jelaskan oleh Ketua Komite Dekolonisasi, bahwa mandat dari Komite Dekolonisasi terbatas kepada 17 Non-Self-Governing Territories. Lebih lanjut ditegaskan fakta bahwa Papua tidak termasuk dalam 17 teritori tersebut.
"Sebagai sesama anggota Gerakan Non Blok, kita selalu menjunjung tinggi prinsip utama GNB yang menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah negara anggota," kata Ramirez. Ditegaskan Ramírez, Venezuela tidak akan pernah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia.
Pernyataan dari Ketua Komite Dekolonisasi kembali menunjukan bahwa kelompok separatis dan Benny Wenda terus menyebarkan hoax dan kebohongan kepada publik. Kegiatan bohong seperti ini sangat sering dilakukan khususnya apabila ada pertemuan besar dan terdapat pejabat tinggi PBB yang hadir.
"Tahun lalu Benny Wenda pernah menyebutkan bahwa telah menyerahkan dokumen mengenai Papua kepada Sekjen PBB, namun setelah di konfirmasi ke kantor Sekjen PBB ternyata bohong," tegas Dubes RI untuk PBB, Triansyah Djani.
Sebelumnya disebutkan, sebuah petisi rahasia yang menuntut referendum kemerdekaan baru untuk Papua Barat telah dipresentasikan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pemerintah Indonesia melarang petisi tersebut di provinsi Papua Barat dan Papua, mengancam bahwa mereka yang menandatanganinya akan ditangkap dan dipenjarakan.Namun dokumen tersebut diselundupkan ke desa-desa yang telah membuatnya ditandatangani oleh 1,8 juta penduduk Papua Barat, lebih dari 70 persen penduduk provinsi tersebut. Sejumlah aktivis berpendapat bahwa warga Papua Barat tak memiliki proses penentuan nasib sendiri yang sah, sejak wilayah mereka masuk ke Indonesia pada tahun 1969.
Petisi tersebut menuntut pemungutan suara bebas mengenai kemerdekaan Papua Barat serta penunjukan perwakilan PBB, untuk menyelidiki laporan pelanggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan Indonesia.
Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare, mengatakan bahwa petisi tersebut sangat penting dan masyarakat Papua Barat secara efektif telah memilih untuk menuntut penentuan nasib sendiri. "Mereka datang dalam jumlah banyak untuk mengungkapkan harapan mereka demi masa depan yang lebih baik," kata Sogavare dalam pidatonya di Majelis Umum PBB.
Juru bicara Gerakan Pembebasan Papua Barat, Benny Wenda, mengatakan penandatanganan petisi tersebut merupakan "tindakan berbahaya" bagi warga Papua Barat, dengan 57 orang ditangkap karena mendukung petisi tersebut, dan 54 orang disiksa oleh pasukan keamanan Indonesia selama kampanye itu berlangsung.
"Petisi Global untuk Papua Barat, yang dilakukan bersamaan dengan Petisi Rakyat Papua Barat, juga menjadi target dan situs yang awalnya menampung petisi itu, yakni Avaaz, diblokir di seluruh wilayah Indonesia," katanya.
Jason Macleod dari Departemen Studi Perdamaian dan Konflik di Universitas Sydney, mengatakan bahwa petisi tersebut perlu dipahami sebagai "penolakan mendasar" atas klaim kedaulatan Pemerintah Indonesia di Papua Barat.
"Dengan cara yang sangat jelas dan langsung, petisi tersebut mewakili permintaan rakyat Papua atas dekolonisasi dan penentuan nasib sendiri, keinginan mereka untuk secara bebas dan adil menentukan masa depan mereka sendiri," kata Dr Macleod. (dtc/mag)
Komite PBB Klarifikasi Petisi Referendum Papua Berita Hoax
Jum'at, 29/09/2017 15:05 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wakil Tetap / Duta Besar Venezuela, Rafael Ramirez membantah pernah menerima secara formal maupun informal petisi terkait Papua seperti diberitakan koran asal Inggris The Guardian. Klarifikasi tersebut disampaikan Ramírez pada media di markas besar PBB (28/9) pukul 9.46 waktu setempat, terkait pemberitaan koran Guardian berjudul "Banned West Papua independence petition handed to UN".
"Sebagai Ketua Komite Khusus Dekolonisasi PBB (C-24), saya maupun Sekretariat Komite, tidak pernah menerima, secara formal maupun informal, petisi atau siapapun mengenai Papua seperti yang diberitakan koran Guardian," demikian pernyataan Duta Besar Venezuela untuk PBB, Rafael Ramírez, sebagai ketua Komite Kolonisasi PBB di markas besar PBB di New York, seperti dikutip kemlu.go.id.
Atas pertanyaan wartawan, apakah Dubes Ramírez pernah berkomunikasi dengan Benny Wenda, Ramírez pun menegaskan bahwa selaku Ketua Komite Dekolonisasi, yang pihaknya tidak mungkin berhubungan dengan pihak-pihak di luar agenda C24. Ia pun menyatakan gusar dengan adanya individu maupun pihak-pihak yang memanipulasi namanya untuk propaganda.
Sebelumnya pada tanggal 27 September 2017 koran Guardian dalam sebuah artikelnya, menyebutkan bahwa Tokoh Organisasi Papua Merdeka yang bermukim di Ingggris, Benny Wenda telah menyampaikan petisi yang meminta dilakukannya referendum untuk Papua kepada Komite Dekolonisasi PBB.
Namun Duta Besar Ramírez menegaskan bahwa dirinya sangat menghormati integritas dan kedaulatan wilayah semua anggota. Dijelaskannya, bahwa mandat dari Komite Dekolonisasi terbatas kepada 17 Non-Self-Governing Territories. Ia menegaskan bahwa faktanya Papua tidak termasuk dalam 17 teritori tersebut.
"Sebagai sesama anggota Gerakan Non Blok, kita selalu menjunjung tinggi prinsip utama GNB yang menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah negara anggota". Ditegaskan, Ramírez, bahwa Venezuela tidak akan pernah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia.
Pernyataan Ketua Komite Dekolonisasi ini, menunjukan bahwa kelompok separatis dan Benny Wenda terus menyebarkan hoax dan kebohongan kepada publik. Menurut Dubes RI untuk PBB, Triansyah Djani, kegiatan bohong seperti ini sangat sering dilakukan kelompok OPM diluar negeri, khususnya apabila ada pertemuan besar dan terdapat pejabat tinggi PBB yang hadir.
"Tahun lalu Benny Wenda pernah menyebutkan bahwa telah menyerahkan dokumen mengenai Papua kepada Sekjen PBB, namun setelah di konfirmasi ke kantor Sekjen PBB ternyata pernyataan tersebut bohong," ujar Triansyah. (rm)Teka Teki Pertemuan Gubernur Papua, Kepala BIN dan Kapolri
Sabtu, 16/09/2017 16:00 WIBBeredarnya foto pertemuan Kepala BIN Jenderal Budi Gunawan, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Kapolda Sumatera Utara, dan Gubernur Papua Lukas Enembe di kediaman Kepala BIN menjadi perbincangan hangat di media Sosial.
Panas Isu BIN Tekan Gubernur Papua
Sabtu, 16/09/2017 11:00 WIBIsu itu terkait adanya dugaan tekanan dari pihak BIN dan Kepolisian terhadap Lukas Enembe, dalam pertemuan yang disebut berlangsung tanggal 4 September itu.
Perguruan Tinggi di Papua Kekurangan Dosen
Jum'at, 04/08/2017 13:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Ketua Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah XIV/Papua dan Papua Barat, Suriel S. Mofu mengungkapkan, saat ini banyak perguruan tinggi negeri maupun swasta di Papua mengalami kekurangan dosen. Mofu mengungkapkan hal itu dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi X DPR RI dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi di Papua baru-baru ini.
Dalam kesempatan itu, menyampaikan tiga alternatif penyelesaian kekurangan dosen itu. Pertama, melakukan mutasi dari dinas lain yang memiliki kualifikasi pendidikan S2 dengan jalur umum, kedua melalui mekanisme lolos butuh. Ketiga, afirmasi sarjana asli Papua yang ingin mengabdi di lingkup perguruan tinggi di Papua.
"Maka kita usulkan anak-anak Papua yang lulus S1 kita rekrut CPNS, disekolahkan untuk penuhi kekurangan dosen," jelas Mofu, seperti dikutip dpr.go.id.
Lebih lanjut Mofu menjelaskan secara keseluruhan ada 60 PTS, 42 di Papua dan 18 di Papua Barat. Dari 100 jumlah keseluruhan dosen, hanya 6 diantaranya asli Papua.
Selain masalah kekurangan dosen, anggota Komisi X Reni Marlinawati menjelaskan ada dua masalah lainnya yang disampaikan. Pertama, terhentinya anggaran sarana dan prasarana untuk PTS dari Kementrian Dikti. Kedua, berkurangnya alokasi beasiswa.
Tentang kurangnya anggaran untuk sarana dan prasarana, Reni berpendapat, anggaran pendidikan Papua harusnya mencukupi. "Karena disamping anggaran dari Kementerian Dikti ada dana otsus (otonomi khusus) Rp8 triliun untuk Papua dan Rp2,4 triliun untuk Papua Barat dan itu diberikan tiap tahun," imbuhnya.
Untuk masalah berkurangnya beasiswa, politisi PPP ini menjelaskan pengalokasian anggaran 60% untuk Pulau Jawa berkaitan dengan sasaran terwujudnya world class university. "Maka dibentuklah 11 perguruan tinggi menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara) yang tentunya berbeda dengan perguruan tinggi non BHMN," terangnya. Selain 11 PT BHMN juga diberlakukan sistem ranking hingga 107 PTN."Untuk penyelesaian kurangnya BOPTN untuk wilayah Papua ini perlu ada koordinasi komprehensif antara Bappenas, Kementerian Keuangan, Kemendikti dan seluruh stakeholder di Papua dan Papua Barat sehingga dapat ditetapkan masalah prioritas untuk segera ditangani, baik itu kekurangan dosen maupun kekurangan sarana prasarana," tegas Reni. (mag)
BPK Serahkan Data Kredit Macet BPD Papua ke Bareskrim
Kamis, 15/06/2017 17:00 WIBJAKARTA,GRESNEWS.COM - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendatangi gedung Bareskrim Mabes Polri untuk menyerahkan laporan hasil pemeriksaan terkait kredit macet di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Papua senilai Rp351 miliar.
Data-data hasil pemeriksaan tersebut diminta Bareskrim yang saat ini tengah menangani kasus kredit macet PT Sarana Bahtera Irja (PT SBI) dan PT Vita Samudra (PT Vitas) ke BPD Papua.
"Kalau BPK diminta penegak hukum pasti terkait kerugian negara. Jadi ini permintaan Kabareskrim menyelesaikan kasus bank daerah jadi ada kerugian dari penilaian analisis dan persetujuan kredit yang menyimpang yang akhirnya macet," kata anggota VII BPK Eddy Mulyadi di Gedung Bareskrim Polri Jl Medan Merdeka Timur, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (15/6).
Eddy tiba di Gedung Bareskrim bersama juru bicara BPK, Yuddy Ramdan, dan langsung disambut Kabareskrim Komjen Ari Dono. Mereka sempat melakukan pertemuan selama 1 jam sejak pukul 14.25 WIB.
Menurut Eddy ada dua kasus yang ditangani Bareskrim terkait pemberian fasilitas kredit BPD Papua ke PT Sarana Bahtera Irja (PT SBI) dan PT Vita Samudra (PT Vitas). Dari dua kasus itu total nilai kerugian negara tercatat mencapai Rp251 miliar.
"Ada dua kasus yang kami serahkan ke Kabareskrim itu yang satu 270 miliar yang satunya lagi 81 miliar. Jadi kurang lebih 351 miliar," ujarnya.
Dalam LHP BPK disebutkan BPD Papua telah memberikan fasilitas kredit kepada PT SBI dengan plafon sebesar Rp313,29 miliar berupa 8 fasilitas kredit investasi dan 1 fasilitas kredit modal kerja. Sementara pemberian fasilitas kredit ke PT Vitas tahun 2013, dengan plafon sebesar Rp111 miliar berupa 2 fasilitas kredit modal kerja.
Namun dalam laporan itu BPK menyimpulkan adanya penyimpangan, diantaranya pada:
1. Penyimpangan pada tahap analisis dan persetujuan kredit, antara lain: analisis kredit tanpa melalui kunjungan on the spot; rekayasa data keuangan debitur; kelengkapan dokumen tidak memenuhi syarat; penetapan plafon tidak memperhatikan kebutuhan riil proyek yang didanai; dan nilai agunan tidak mencukupi.
2. Penyimpangan terhadap pencairan dana dan penggunaan dana kredit, yaitu meliputi pencairan kredit tetap dilakukan meskipun syarat-syarat pencairan tidak terpenuhi.
3. Dana pencairan kredit sebagian digunakan untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan pemberian kredit.
4. Pada saat jatuh tempo, PT SBI tidak dapat melunasi kreditnya sehingga terdapat tunggakan pokok sebesar Rp 222 miliar dan tunggakan bunga sebesar Rp 48,25 miliar yang saat ini berstatus macet. Atas kasus ini mengakibatkan kerugian negara/daerah sebesar Rp 270,26 miliar.
Sementara itu, dalam pemberian kredit BPD Papua ke PT Vitas, BPK menyimpulkan penyimpangan pada:
1. Penyimpangan pada tahap analisis dan persetujuan kredit, antara lain: analisis kredit tanpa melalui kunjungan on the spot; rekayasa data keuangan debitur; kelengkapan dokumen tidak memenuhi syarat; penetapan plafon tidak memperhatikan kebutuhan riil proyek yang didanai; dan nilai agunan tidak mencukupi.
2. Penyimpangan terhadap pencairan dana dan penggunaan dana kredit, yaitu meliputi pencairan kredit tetap dilakukan meskipun syarat-syarat pencairan tidak terpenuhi.
3. Sebagian pencairan digunakan untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan pemberian kredit bahkan diantaranya digunakan untuk kepentingan pribadi.
4.Restrukturisasi diberikan meskipun tidak memenuhi persyaratan prospek usaha dan persyaratan agunan.
5. Pada saat jatuh tempo PT Vitas tidak dapat melunasi kreditnya, sehingga terdapat tunggakan pokok sebesar Rp 73,09 miliar dan tunggakan bunga sebesar Rp16,03 miliar yang saat ini berstatus macet. Kerugian negara/daerah dalam kasus ini sebesar Rp89,13 miliar. (dtc/rm)DPR Papua Barat Laporkan Aksi Kekerasan Aparat ke LPSK
Selasa, 22/11/2016 17:51 WIBPanitia Khusus (Pansus) Kemanusiaan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (DPR PB) mendatangi kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Jakarta, Selasa (22/11) siang. Mereka berharap LPSK dapat memberikan perlindungan bagi masyarakat yang menjadi saksi dan korban dalam aksi kekerasan yang terjadi pada tanggal 26-27 Oktober 2016.
Rombongan dipimpin Wakil Ketua Pansus Kemanusiaan DPR PB Xaverius didampingi dua anggota Pansus lainnya, yakni Yonadap Trogea dan Goliat Dewansiba beserta pejabat di lingkungan Sekretariat DPR PB. Mereka diterima Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai bersama dua wakil ketua, yaitu Hasto Atmojo Suroyo dan Lili Pintauli Siregar beserta sejumlah tenaga ahli di LPSK.
Wakil Ketua Pansus Kemanusiaan DPR PB Xaverius menuturkan, telah terjadi aksi kekerasan yang diduga dilakukan aparat di Manokwari pada tanggal 26-27 Oktober 2016. Dari kejadian tersebut, sebanyak 17 warga menderita luka, termasuk luka tembak. "Dua korban yang menderita luka tembak serius saat ini dirawat di rumah sakit di Jakarta," ujar dia.
Saat ini , kasus kekerasan yang diduga dilakukan aparat kepolisian itu, menurut Xaverius, sudah ditangani Polda Papua Barat. Informasinya, lebih dari 40 orang anggota polisi sudah diperiksa terkait tindakan mereka pada kejadian tersebut. "Kita datang untuk melaporkan dan mendaftarkan permohonan ke LPSK sesuai dengan tugas dan fungsi LPSK dalam melindungi saksi dan korban," katanya.
Anggota Pansus Kemanusiaan DPR PB Yonadap Trogea menambahkan, kejadian bermula dari konflik antara warga yang kemudian meluas dan melibatkan aparat kepolisian pada tanggal 26 Oktober 2016. Lalu, pada pagi hari tanggal 27 Oktober 2016, polisi menyisir pemukiman warga dan diduga melakukan kekerasan dengan mengeluarkan tembakan. Selain mendatangi LPSK, menurut Yonadap, mereka juga mendatangi Komnas HAM, MPR, Deputi V Kantor Staf Presiden, Kompolnas dan Komnas Perempuan.
"Harapan kita datang ke LPSK ingin mencari tahu apakah saksi dan korban dalam kasus kekerasan ini bisa mendapatkan perlindungan dari negara dalam hal ini dilakukan LPSK," tutur dia.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, dari penuturan yang disampaikan Pansus Kemanusiaan DPR PB, belum bisa diketahui secara jelas, apakah kasus kekerasan yang diduga dilakukan aparat kepolisian ini dalam ranah pelanggaran etik ataukah tindak pidana. "Laporan akan dipelajari dulu, apakah masuk dalam kewenangan LPSK," ujar Semendawai.
Kalau memang aksi kekerasan yang dilaporkan termasuk dalam kewenangan LPSK, pihaknya akan menindaklanjutinya dengan memerhatikan syarat formil dan materiil lainnya. "Masalah ini akan didiskusikan di internal LPSK untuk selanjutnya dapat diketahui, langkah apa yang dapat diambil," kata dia. (mag/gresnews.com)
Ikhtiar Mengurai Kasus HAM Papua
Senin, 20/06/2016 18:00 WIBRencana pemerintah membentuk Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua dan Papua Barat menuai kecurigaan.
2015: Masih Jadi Tahun Kelam Kepolisian
Senin, 28/12/2015 16:00 WIBBerdasarkan catatan Indonesia Police Watch (IPW), kasus penembakan atau penyerangan terhadap Polsek Sinak merupakan kasus ke-22 yang terjadi sepanjang tahun 2015 ini. Ini membuat tahun 2015 masih menjadi tahun suram bagi kepolisian Indonesia.
Kematian Misterius di Nduga
Minggu, 29/11/2015 09:00 WIBSempat muncul dugaan, penyebab kematian misterius bocah-bocah di Nduga tersebut adalah malaria. Namun tes menunjukkan hasil negatif, lalu berkembang pula dugaan pneumonia (radang paru-paru) dan ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut).
Jokowi dan Pendekatan Baru untuk Papua
Jum'at, 20/11/2015 16:00 WIBAmnesty International--lembaga yang mengawasi pelaksanaan Hak Asasi Manusia di dunia-- menilai, Jokowi tengah mengembangkan pendekatan baru terhadap Papua.