-
Terbukti Beri Keterangan Palsu Miryam Divonis 5 Tahun Penjara
Senin, 13/11/2017 15:21 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta akhirnya memvonis terdakwa kasus pemberi keterangan palsu Miryam S Haryani hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. Hakim menilai Miryam terbukti bersalah memberikan keterangan palsu di persidangan kasus korupsi e-KTP.
"Menyatakan terdakwa Miryam S Haryani telah terbukti secara sah dan bersalah memberikan keterangan tidak benar dalam perkara korupsi," sebut ketua majelis hakim Frangky Tambuwun di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (13/11).
Selain itu Majelis hakim juga menyatakan keterangan Miryam bahwa ia merasa ditekan dan diancam penyidik KPK tidak terbukti. Pasalnya saat dikonfrontir dengan 3 penyidik KPK yaitu Irwan, Ambarita Damanik, dan Novel, Miryam diketahui diberikan kesempatan untuk membaca, mengoreksi, memparaf, dan menandatangani berita acara pemeriksaannya (BAP).
"Menimbang pernyataan terdakwa Miryam merasa ditekan, dan telah dipaksa berbanding terbalik dengan keterangan 3 penyidik KPK yang memeriksa Miryam, yaitu M Irwan Susanto, Ambarita Damanik, dan Novel, di mana ketiga penyidik KPK tersebut memberikan penjelasan tidak pernah memberikan pengancaman, atau penekanan dan memeriksa Miryam S Haryani sebagai saksi, dan memberikan kesempatan jika ingin pergi ke toilet, dan istirahat makan siang atau ishoma, kemudian diberi kesempatan membaca, mengkoreksi, memparaf dan menandatangani BAP," sebut hakim anggota Anwar.
Kesaksian ahli psikologi forensik yang dihadirkan dalam persidangan juga menyatakan tidak ditemukan adanya tekanan dari penyidik dalam video pemeriksaan Miryam. Bahkan Hakim menyatakan Miryam memberikan keterangan tidak benar saat mengatakan merasa ditekan dan diancam penyidik.
"Menimbang keterangan psikolog dalam persidangan bahwa tidak menemukan tekanan dalam pemeriksaan Miryam, karena pertanyaan pendek penyidik dan dijawab Miryam dengan panjang dan lebar," tambah hakim.
Sehingga dalam hal itu Ahli menyimpulkan tidak ada tekanan dalam terperiksa. Akan tetapi jika dikaitkan observasi tersebut proses pemeriksaan (menyangkal) tekanan yang benar ada indikasi kebohongan yang diberikan terdakwa.
"Menimbang bahwa Miryam ditekan dan diancam KPK adalah keterangan tidak benar karena bertentangan dengan fakta dan keterangan saksi lain di persidangan," ujar Anwar.
Selain itu Majelis juga menyebut keterangan Miryam yang membantah menerima uang dari terdakwa kasus e-KTP Sugiharto adalah tidak benar. Dari fakta persidangan diketahui uang itu disebut diterima staf Miryam, dan diserahkan di rumah Miryam.
"Keterangan terdakwa Miryam yang membantah adalah berbanding terbalik dengan apa yang dikatakan Irman, Sugiharto, Yosep Sumartono, dan Vidi Gunawan. Miryam menerima uang sebanyak empat kali, USD 500 ribu, USD 100 ribu, Rp 5 miliar dan Rp 1 miliar di mana diantar ke rumah terdakwa Miryam di Tanjung Barat dan Rp1 miliar diserahkan Yosep pada asisten pribadi terdakwa. Sehingga bantahan itu tidak punya alasan hukum," jelasnya.
Disebutkan hakim bahwa Majelis menolak pledoi yang diajukan Miryam seluruhnya. Sedang unsur yang memberatkan Miryam adalah tidak mendukung program pemberantasan korupsi, dan terdakwa tidak mengakui perbuatannya. Sementara unsur meringankan, Miryam berlaku sopan dan belum pernah duhukum. Miryam dinilai terbukti melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 ayat 1 UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. (dtc/rm)KPK Gelar Pemeriksaan Internal Terhadap 7 Penyidik yang Disebut Miryam
Rabu, 16/08/2017 14:44 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM - KPK memastikan akan menggelar pemeriksaan internal terhadap sejumlah penyidiknya untuk mengklarifikasi proses pemeriksaan Miryam S Haryani.
Menurut Kabiro Humas KPK Febri Diansyah, pimpinan KPK telah memberikan arahan untuk melaksanakan pemeriksaan internal tersebut. "Iya, ada arahan dari pimpinan (KPK). Tentu setelah sebelumnya dilakukan rapat," kata Febri saat dikonfirmasi, Rabu (16/8).
Hanya saja Febri mengaku belum mengetahui ketujuh pegawai KPK yang sempat disebut ketika Miryam diperiksa di KPK. Video pemeriksaan itu diputar dalam persidangan Miryam yang menjadi terdakwa pemberian keterangan palsu.
"Baru akan dilakukan klarifikasi internal. Kita juga belum tahu 7 orang itu siapa saja. Karena itu klarifikasi perlu dilakukan agar informasinya lebih lengkap," sebut Febri.
Menurut Febri hal itu dilakukan agar apa yang muncul di sidang Miryam kemarin menjadi jelas, untuk itu perlu dilakukan klarifikasi atau pemeriksaan secara internal.
Febri mengakui pemeriksaan baru dilakukan saat ini. Kendati video itu sudah ada sejak dulu. Alasan KPK baru melakukan tindak lanjut pemeriksaan internal saat ini, karena bukti rekaman baru dibuka pada sidang Senin (14/8).
"Ada proses-proses di penyidikan sampai dengan di penuntutan yang itu masuk di berkas perkara dan saya kira sejak awal kita memahami kalau itu masuk dalam bukti-bukti yang akan diajukan di persidangan," jelasnya.
Namun demikian saat disampaikan ke publik, ternyata ada masukan yang mereka diterima. "Karena ternyata ada penyebutan-penyebutan sejumlah pihak dan tentu itu perlu kita klarifikasi lebih lanjut," ujar Febri.
Oleh karena "Karena terkait dengan internal KPK, meskipun itu bisa jadi tidak benar, bisa jadi juga benar, maka proses pemeriksaan internal menurut Febri akan dilakukan untuk memastikan dan mengklarifikasi sejauh mana validitas informasi tersebut.
Pemeriksaan internal itu, menurut Febri bukanlah yang pertama dilakukan KPK. Sebelumnya, KPK juga aktif melakukan pemeriksaan internal.
"Jadi nanti kita tunggu hasilnya dari KPK. Pemeriksaan tersebut agar tentu KPK tetap bisa menerapkan prinsip independensi seperti diatur dalam UU No 30 tahun 2002," tutur Febri.
Dalam rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani yang dibeberkan dalam persidangan tipikor, Senin (14/8), disebutkan sempat ada 7 nama pegawai KPK yang sempat bertemu dengan anggota DPR. Dalam pertemuan itu Miryam mengaku mendengar penyebutkan uang Rp 2 miliar yang disebut-sebut untuk mengamankan perkara e-KTP. Novel yang mendengar pernyataan Miryam itu sempat menanggapi dengan menyebut salah seorang penyidik KPK itu disebutnya setara Direktur di KPK. (dtc/rm)Kepolisian Tegaskan Menolak Jemput Paksa Miryam
Selasa, 20/06/2017 15:00 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kepolisian menegaskan menolak untuk melakukan penjemputan paksa terhadap Miryan S Haryani seperti keinginan Panitia Khusus (Pansus) Angket KPK DPR. Pernyataan itu sebelumnya disampaikan Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Kapolri menolak permintaan Pansus karena alasan pelaksanaan UU MD3 itu tak terakomodasi dalam KUHAP. "Kalau memang ada permintaan teman-teman dari DPR untuk menghadirkan paksa, kemungkinan besar tidak bisa kami laksanakan karena adanya hambatan hukum acara ini. Hukum acara yang tidak jelas," ujar Tito di gedung KPK, Jl Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin (19/6) kemarin.
Sementara Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto menjelaskan sikap Kapolri, itu adalah bentuk ketaatan pada pedoman kepolisian dalam menegakan hukum yaitu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menurutnya, dari kacamata Polri, Pasal 204 ayat 3 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 yang membahas panitia angket dapat meminta bantuan Polri untuk memanggil paksa seseorang, tidak ada sinkronisasinya dalam KUHAP.
"Undang-undang MD3 tidak ada mengatur hukum acara bagaimana membawa seseorang secara paksa. Kalau perintah membawa itu dalam kepolisian artinya sudah upaya paksa penangkapan dan itu harusnya pro justicia, harus maju sampai tingkat pengadilan," ujar Setyo, Selasa (20/6).
Pasal 204 UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3 menyebutkan;
Dalam hal warga negara Indonesia dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sementara menurut Setyo, pasal 18 KUHAP, telah mengatur prosedur jemput paksa seseorang oleh kepolisian. Di situ ditegaskan bahwa upaya jemput paksa harus disertai bukti permulaan atau dua alat bukti cukup untuk menunjukkan target jemput paksa melakukan kejahatan.
"Belum ada yang mengatur hukum acara untuk membawa, misalnya Miryam. Kita tidak mau membawa Miryam karena dia tidak dibawa ke pro justicia oleh DPR. Yang bawa dia (ke proses hukum peradilan, red) kan KPK. (Syarat melakukan penjemputan paksa, red) Memenuhi unsur melakukan kejahatan misalnya dua alat bukti yang sah, kemudian keterangan saksi-saksi yang lengkap," terang Setyo.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
Keinginan pemeriksaan terhadap oleh Panitia Hak Angket DPR berawal dari tindakan politisi Hanura yang mencabut BAP-nya secara mendadak saat sidang e-KTP. Penyidik KPK Novel Baswedan, yang dikonfrontir Majelis Hakim di persidangan e-KTP, mengungkapkan Miryam mendapat tekanan dari beberapa anggota DPR.
Belakangan Miryam ditetapkan sebagai tersangka keterangan palsu oleh KPK. Namun Miryam kemudian mengirimi surat kepada DPR yang berisi pengakuan dirinya tak mengalami tekanan. Hal itulah yang mau dikonfirmmasi Panitia Angket DPR.
"Kalau memanggil paksa dan cuma dimintai keterangan, lalu dipulangkan, salah polisi. Jadi sebagai penegak hukum, Pak Kapolri melakukan sesuatu berdasarkan hukum. Tidak boleh melanggar hukum itu sendiri," tegas Setyo. (dtc/rm)Pimpinan KPK Menolak Jika Dipaksa Buka Rekaman Miryam
Jum'at, 09/06/2017 15:11 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pimpinan KPK menyatakan akan menolak jika dipaksa Pansus Angket DPR untuk membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam S Haryani terkait penyebutan sejumlah nama anggota DPR terkait dugaan adanya tekanan dalam proses penyidikan kasus korupsi e-KTP. Rekaman yang jadi alat bukti hanya akan dibuka dalam persidangan di pengadilan
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan soal rekaman nanti akan bisa didengarkan di persidangan Miryam. "Mudah-mudahan itu sehabis Lebaran bisa kita limpahkan (berkas perkara) sehingga di persidangan bisa kita dengarkan bersama," ujarnya, Jumat (9/6).
Ia menegaskan bahwa Pansus Angket KPK tidak bisa memaksa KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam di DPR. Sebab alat bukti dan barang bukti berdasarkan aturan KUHAP hanya bisa dibuka di pengadilan.
"Di KUHAP aturannya. Seperti BAP (bersifat) rahasia, belum dibuka untuk umum kecuali di depan persidangan, Semua harus di proses persidangan," tandas Alex.
Munculnyta informasi adanya tekanan anggota dewan kepada Miryam terungkap dalam sidang perkara korupsi e-KTP pada 30 Maret 2017. Penyidik KPK Novel Baswedan saat bersaksi di persidangan menyebut Miryam saat pemeriksaan di KPK menceritakan ketakutannya soal tekanan dari koleganya di DPR.
"Yang bersangkutan bercerita, dia heran sebelum pemanggilan, dia sudah tahu dari rekannya di DPR. Dia pun diminta untuk tidak mengakui tentang hal-hal terkait penerimaan uang itu. Bahkan dia ditekan akan dijebloskan, tapi saya kurang paham itu dijebloskan ke mana. Dan perlu saya tekankan, dia ditekan oleh rekan di DPR RI, bukan oleh penyidik," ujar Novel saat dikonfrontasi dengan Miryam di persidangan.
Tudingan adanya tekanan dari anggota DPR ini membuat sejumlah anggota Komisi III mendesak kepada KPK untuk membuka informasi adanya sejumlah anggota DPR yang telah melakukan tekanan kepada Miryam. Mereka juga ingin rekaman proses pemeriksaan Miryam yang menyebut ada tekanan itu dibuka.
Namun saat rapat dengar pendapat antara Komisi III dan KPK, pimpinan KPK menolak membuka rekaman tersebut. Hingga akhirnya DPR mengusung hak usulan hak angket. Persetujuan hak angket itu diketuk oleh pimpinan sidang yang diketuai Fahrim Hamzah. Namun persetujuan usulan Angket KPK menuai kontroversi karena banyak anggota DPR tak sempat menyampaikan ketidak setujuannya.
Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyebut keputusan menggelar angket KPK untuk membuktikan anggota Komisi III tak terlibat dalam pencabutan berita acara pemeriksaan (BAP) Miryam.
"Masuknya surat tulisan tangan pernyataan Miryam bermaterai ke Pansus Hak Angket Pelaksanaan Tugas KPK yang menegaskan dirinya tidak pernah ditekan apalagi diancam oleh sejumlah anggota Komisi III DPR kemarin, sedikit banyak mulai membuka tabir bahwa sesungguhnya tidak ada anggota Komisi III DPR yang menekan dan mengancam dirinya," ujar Bambang dalam keterangannya, Jumat (9/6). (dtc/rm)Praperadilan Miryam Ditolak, Status Tersangkanya Sah
Selasa, 23/05/2017 13:00 WIB
Upaya praperadilan yang dilayangkan tersangka kasus pemberian keterangan palsu Miryam S Haryani kandas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (23/5). Hakim tunggal Asiadi Sembiring menolak gugatan praperadilan yang diajukan Miryam. Hakim menyatakan penetapan status tersangka Miryam di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap sah.
"Menyatakan penetapan tersangka adalah sah. Menetapkan surat perintah penyidikan (sprindik) yang diterbitkan tanggal 5 April adalah sah dan berlandaskan hukum," kata Asiadi dalam sidang putusan gugatan praperadilan Miryam Haryani di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Hakim menyatakan, penetapan Miryam sebagai tersangka pemberian keterangan tidak benar dalam persidangan dugaan korupsi e-KTP sudah memenuhi dua alat bukti. Penetapan tersangka dinyatakan hakim sesuai prosedur.
Miryam mengajukan gugatan praperadilan agar status tersangka dugaan pemberian keterangan palsunya dicabut. Miryam menilai KPK tidak berwenang mengadili perkara yang disangkakan padanya.
Miryam ditetapkan tersangka berawal dari persidangan pada Kamis, 23 Maret. Miryam kala itu mengaku tertekan saat memberikan keterangan di depan penyidik. Hingga ia mencabut BAP soal bagi-bagi duit terkait dengan sejumlah penerimaannya. Ia menyatakan pernyataanya soal bagi-bagi duit e-KTP itu tidak benar.
Ia mengaku keterangan yang dibuatnya dalam Berita Acara Pemeriksaan, dibuat karena merasa terancam oleh perkataan penyidik KPK. Hingga majelis hakim meminta jaksa KPK menghadirkan penyidik KPK untuk dikonfrontasi dengan Miryam.
Saat dikonfrontir Miryam bersikeras pada keterangannya dan tetap mencabut keterangannya BAP. Atas sikap Maryam, Jaksa KPK sempat meminta majelis hakim menetapkan Miryam sebagai tersangka melalui mekanisme Pasal 174 KUHAP.
Namun majelis hakim enggan melakukannya dan menyerahkannya kepada jaksa KPK. KPK kemudian menetapkan Miryam dengan sangkaan Pasal 22 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang pemberian keterangan palsu. (dtc/rm)KPK Layani Gugatan Praperadilan Miryam dan Tersangka BLBI
Senin, 15/05/2017 11:55 WIBPengadilan Negeri Jakarta Selatan hari ini dijadwalkan menyidangkan gugatan praperadilan yang diajukan Miryam S Haryani. Miryam mengajukan praperadilan lantaran tidak terima atas penetapan tersangka pemberi keterangan palsu oleh KPK.
Menurut pengacara Miryam, Aga Khan pihaknya menilai KPK tidak berwenang menetapkan Miryam sebagai tersangka. Sebelumnya KPK menjerat Miryam atas dugaan pelanggaran Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Penerapan pasal 22 sangat jarang dilakukan KPK, baru kali ini. Biasanya melapor ke pidana umum," tandas Aga.
Aga menyebut bahwa jaksa KPK dalam sidang e-KTP pernah meminta Miryam dijadikan terdakwa oleh hakim. Namun permohonan tersebut ditolak. Oleh karenannya ia merasa aneh, jaksa meminta kliennya dijadikan terdakwa padahal belum ada perintah dari hakim.
Atas pengajuan praperadilan itu, KPK sendiri menyatakan hal itu tidak akan menghalangi proses penyidikan yang tengah berlangsung.
"Kami akan menghadapi praperadilan tersebut dengan segala materi dan strategi yang dimiliki. Proses penyidik KPK tidak akan terhalang dengan praperadilan itu, ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah, Selasa (2/5) lalu.
KPK Menurut Febry tetap melakukan kegiatan baik pemeriksaan saksi, penggeledahan, termasuk penyitaan.
KPK hari ini juga menegaskan akan hadir dalam sidang praperadilan Miryam di PN Jakarta Selatan hari ini.
Febry juga menyebut pada hari ini ada dua agenda sidang praperadilan. Praperadilan itu dimohonkan oleh tersangka MSH (Miryam S Haryani) dan tersangka dalam kasus BLBI.
"Argumentasi pihak pemohon akan kita jawab secara tuntas. Kewenangan KPK jelas di Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Akan kita uraikan lebih lanjut soal KPK nggak bisa tindak lanjuti kasus sebelum tahun 2002, itu berlaku surut," tandas Febry, Senin, (15/5). (dtc/rm)Hari Ini Sidang Praperadilan Miryam Digelar
Senin, 08/05/2017 08:16 WIBPengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dijadwalkan hari ini, Senin (8/5) akan menggelar sidang perdana gugatan praperadilan yang dilayangkan anggota DPR Miryam S Haryani, terkait penetapannya sebagai tersangka kasus keterangan palsu oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Miryam ditetapkan tersangka kasus keterangan palsu dalam perkara korupsi proyek E-KTP. Miryam yang sempat buron dan ditangkap Polisi belakangan menempuh gugatan Praperadilan.
Pengacara Miryam, Aga Khan dalam keterangannya menyatakan KPK tidak memiliki kewenangan menetapkan Miryam sebagai tersangka. Sebelumnya KPK menjerat Miryam dengan Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurutnya penerapan Pasal 22 sangat jarang dilakukan KPK. Biasanya untuk kasus ini KPK melaporkan ke pidana umum.
", dan "Baru kali pasal ini diterapkan," ujarnya.
Menurut Aga sebenarnya dalam persidangan e-KTP jaksa KPK sudah pernah meminta Miryam dijadikan terdakwa oleh hakim. Namun permohonan tersebut ditolak. "Kami merasa aneh jaksa meminta kliennya dijadikan terdakwa, padahal belum ada perintah dari hakim," katanya.
Penetapan tersangka menurut Aga juga didasari bukan karena kasus, tetapi hanya karena tidak kooperatif dan buron, "Kan klien saya saksi loh di kasus e-KTP," tambah Aga.
Ia juga merasa tidak terima dengan penangkapan maupun penahanan yang dinilai dilakukan secara sepihak. Sebab sebelumnya pengacara maupun pihak keluarga Miryam tidak pernah diberikan surat keterangan resmi soal itu.
Adanya gugatan praperadilan ini, pihak KPK sendiri menyatakan tidak masalah. Proses penyidikan di KPK disebutkan juga tidak akan terganggu dengan pengajuan gugatan praperadilan Miryam. (dtc/rm)Sudah Tersangka Hanura Belum Copot Miryam
Selasa, 02/05/2017 13:02 WIB
Kendati telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena pemberian keterangan palsu kasus korupsi e-KTP. Partai Hanura belum juga mencopot Anggota DPR dari fraksi Hanura Miryam S Haryani dari posisinya, baik sebagai anggota dewan maupun pengurus dan kader partai.
Partai Hanura menyatakan masih menunggu arahan Ketum Hanura, Oesman Sapta Odang (OSO) terkait status Miryam.
"Kita menunggu ketua umum, dia kan pimpinan fraksi, bendahara fraksi, AD/ART sudah jelas," ujar sekretaris Fraksi Hanura di DPR, Dadang Rusdiana, Selasa (2/5).
Menurutnya, bahwa status tersangka harus diproses untuk diberhentikan oleh partai. Hanya saja proses tersebut harus melalui ketum. Prosesnya ketum memerintahkan dewan kehormatan. Selanjutnya Dewan kehormatan akan menggelar rapat lalu melaporkan kembali ke Pak Ketum. "Pak Ketum lah yang akan memabwa ke badan pengurus harian, ujarnya.
Namun Dadang mengatakan pihaknya tidak akan gegabah dalam memutuskan sikap terkait Miryam. Meski pada dasarnya, seseorang menjadi tersangka maka dia bisa diberhentikan oleh partai. Hanya status tersangkanya bukan korupsi, tersangkanya menyampaikan kesaksian palsu, maka akan kita pelajari lebih lanjut.
Miryam sendiri disebut-sebut akan mengajukan praperadilan ke PN Jaksel setelah KPK menetapkan tersangka dan penangkapan.
Miryam menjadi tersangka dugaan pemberian keterangan palsu dalam persidangan perkara dugaan korupsi e-KTP. Setelah ditetapkan tersangka, Miryam justru menghindar dan menolak hadir ke KPK, Hingga dinyatakan sebagai buronan. Namun Polisi akhirnya menangkapnya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. (dtc/rm)