-
Rawa Tripa Terancam Hancur Akibat Sawit
Jum'at, 18/08/2017 13:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Lahan gambut Tripa yang merupakan kawasan inti di Kawasan Ekosistem Leuser terancam hancur akibat aktivitas pembukaan lahan sawit oleh PT Surya Panen Subur II. Para aktivis lingkungan hidup mengungkapkan, menjelang 9 Juni 2017, kanal gambut baru dibangun dan kebakaran ilegal terjadi untuk membuka lahan, total 24 hektar hutan hilang di dalam konsesi.
Pakar gambut Aceh Monalisa mengatakan, kawasan gambut Tripa merupakan kawasan yang sangat penting bagi habitat orangutan Sumatera yang terancam punah dan berperan sebagai penyerap karbon global. Kerusakan lahan gambut terus berlanjut meski moratorium pemerintah mengenai pembukaan hutan untuk pengembangan kelapa sawit telah dikeluarkan untuk melindungi lahan gambut Indonesia.
Kini total 174 hektare lahan telah dibuka oleh PT SPS II sejak surat edaran pemerintah kepada perusahaan kelapa sawit di Aceh dikeluarkan pada bulan Juni 2016. Lebih dari 4.000 hektar hutan yang oleh para konservasionis masih dianggap sebagai habitat penting yang layak dilindungi berada dalam konsesi PT SPS II, namun selama tiga tahun terakhir, perusahaan tersebut belum mengambil tindakan tegas untuk menghentikan pembukaan perkebunan kelapa sawit ilegal di dalam batas konsesinya.
PT SPS II diharapkan bisa segera menangani konflik lahan gambut bersama dengan masyarakat dan pemerintah provinsi sehingga mereka dapat membangun kemitraan untuk memastikan pengembangan mata pencaharian alternatif selain sawit dan perlindungan jangka panjang Tripa.
Monalisa mengatakan, secara perhitungan ekonomis masyarakat menyadari bahwa hutan lebih banyak membawa keuntungan dibandingkan dengan mengelola kebun kelapa sawit, kondisi hutan gambut yang telah berubah menjadi sawit mulai membuat penghasilan masyarakat yang tergantung pada hasil hutan menurun. "Kondisi tersebut menimbulkan pro dan kontra terhadap keberadaan perusahaan dikarenakan masyarakat telah kehilangan mata pencaharian dari hutan yang masuk kedalam areal HGU perusahaan," ujarnya dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Jumat (18/8).
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Walhi Aceh Muhammad M. Nur mengatakan, upaya konservasi Tripa harus melibatkan berbagai komponen, mulai dari pemerintah, perusahaan kelapa sawit yang beroperasi dan masyarakat lokal untuk memastikan agar dapat diimplementasikan dan dipatuhi oleh semua pihak terkait.
"Selain itu pemberian atau perpanjangan HGU kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit juga harus mempertimbangkan hak-hak adat dan mengedepankan nilai teritorial daerah yang berdekatan dengan pemukiman dan perkampungan untuk membangun pola interaksi yang positif antara perusahaan dan masyarakat," ujarnya.
Menurut Muhammad, komitmen dari pemerintah dan perusahaan sangat dibutuhkan untuk menjamin hak atas tanah bagi masyarakat desa Kuala Seumayam dan desa Pulo Kruet yang tinggal di dalam kawasan HGU PT. SPS II agar bisa menemukan solusi berkelanjutan atas aktifitas penghancuran hutan, kebakaran ilegal, pendirian perkebunan dan kanal yang menyebabkan hilangnya akses masyarakat terhadap tanah, perikanan dan sumber pendapatan lainnya.
Seperti diketahui, PT SPS II pada bulan Juni 2012 pernah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negri Meulaboh karena melakukan pembakaran untuk membersihkan lahan di kawasan gambut Tripa. Namun, pada 2016 Mahkamah Agung RI memutuskan bahwa perusahaan tersebut tidak bersalah. PT SPS II adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit ketiga yang memiliki konsesi di Tripa yang telah digugat oleh pemerintah karena membakar lahan. (mag)Perusahaan Sawit Perusak Leuser Pasok Sawit ke Pasar Dunia
Selasa, 25/07/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Rainforest Action Network (RAN) merilis sebuah laporan bertajuk "Leuser Watch" yang memperlihatkan hasil penyelidikan lapangan yang mengejutkan dari kegiatan perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit nakal––pemasok yang terkenal menyalurkan kelapa sawit bermasalah kepada merek-merek besar global––kini terbukti untuk kedua kalinya membuka hutan hujan Ekosistem Leuser yang penting bagi dunia. Dalam laporan itu terungkap, perusahaan kelapa sawit PT Agra Bumi Niaga (PT ABN), terbukti membuka hutan pada laporan Leuser Watch yang dikeluarkan oleh RAN bulan Februari 2017.
Tiga bulan kemudian citra satelit baru menunjukkan, penggundulan hutan di Kawasan kritis Leuser masih berlanjut. PT ABN telah membuka hutan yang menjadi habitat vital bagi beberapa kawanan terakhir gajah Sumatera untuk perkebunan kelapa sawit. PT ABN juga terus membuka lahan meskipun moratorium penebangan hutan untuk pembangunan kelapa sawit baru di seluruh Indonesia telah ditetapkan, termasuk di dalam konsesi yang ada.
Direktur Kampanye Agribisnis untuk RAN Gemma Tillack mengungkapkan, gambar satelit menunjukkan bahwa PT ABN telah mengurangi luas hutan dari 420 hektare di bulan Juni 2016 hingga hanya tersisa hampir 88 hektare pada bulan April 2017. "Jika kami bisa melacak perusahaan-perusahaan ini dengan sumber daya terbatas kami, pastilah perusahaan global berkeuntungan miliaran dollar juga seharusnya dapat melacak perusahaan-perusahaan ini. Ini masalah prioritas. Apa yang lebih penting bagi mereka, keuntungan atau kelangsungan planet ini?" kata Tillack dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Selasa (25/7).
Dokumen hasil penyelidikan lapangan menunjukkan bagaimana PT ABN memasok kelapa sawit dari konsesi miliknya ke pabrik pengolahan kelapa sawit milik PT Ensem Sawita, pabrik pengolahan yang termasuk dalam daftar dan peta pemasok yang diterbitkan oleh enam pedagang minyak sawit terbesar di dunia––Wilmar, Musim Mas, Golden Agri-Resources (GAR), Cargill, IOI dan ADM. Daftar tersebut menunjukkan bahwa PT Ensem Sawita tercatat ikut memasok minyak kelapa sawit ke kilang yang terdapat di AS, Kanada, dan Eropa, untuk kemudian disalurkan kepada seluruh perusahaan dan merek global terbesar dunia.
Seperti yang telah dilaporkan oleh kantor berita The Guardian, Jumat 21 Juli lalu perwakilan perusahaan PT Ensem Sawita telah mengkonfirmasi temuan dalam laporan tersebut dan menyesalkan kesalahan yang terjadi, menyatakan telah lalai dalam menyelaraskan informasi perubahan nama menjadi perusahaan penebangan kayu. Namun, perubahan nama ini juga pernah dilaporkan sebelumnya. Secara mengejutkan, laporan terbaru Leuser Watch ini menunjukkan bahwa merek besar dunia seperti PepsiCo, McDonald´s, Nestle, Unilever, Kellogg´s, Mars, Procter & Gamble dan banyak perusahaan lainnya, terhubung dengan satu aktivitas deforestasi ini, melalui sumber minyak kelapa sawit yang mereka pasok dari perusahaan minyak sawit terbesar di dunia.
Perusahaan yang diprofilkan dalam laporan tersebut diyakini memiliki pangsa pasar gabungan kelapa sawit lebih dari 60%. "Para pengusaha dan banyak merek ini, sudah membuat janji publik bahwa kelapa sawit yang mereka beli dan jual bebas dari deforestasi, pembukaan lahan gambut, maupun eksploitasi," ujar Tillack.
"Fakta bahwa perusahaan tersebut berulang kali bergantung pada kerja LSM seperti RAN untuk mengungkap isu semacam ini pada rantai pasok mereka sangat tidak bisa diterima, dan menunjukkan bahwa perusahaan itu sendiri tidak menegakkan peraturan moratorium hutan. Nasib Ekosistem Leuser sangat bergantung pada keseimbangan, sementara perusahaan-perusahaan ini terus memompa minyak kelapa sawit bermasalah ke pasar dunia," tambahnya.
Dia mengatakan, konsumen kehilangan kesabaran, integritas dan reputasi merek-merek ini juga dipertaruhkan. "Jika tidak ada tindakan yang segera dilakukan untuk menegakkan kebijakan Nol Deforestasi, merek-merek ini akan dikenal sebagai perusahaan raksasa yang bertanggung jawab atas kerusakan Ekosistem Leuser, tempat terakhir di dunia di mana gajah, orangutan, badak dan harimau Sumatera hidup berdampingan di alam bebas," pungkas Tillack. (mag)
Menanti Nasib Kawasan Ekosistem Leuser
Senin, 07/11/2016 11:00 WIBPadahal, Mendagri seharusnya membatalkan Qanun RTRW Aceh karena ditetapkan dengan mengabaikan Kawasan Ekosistem Leuser
Qanun RTRW Aceh Dinilai Ancam Lingkungan dan Satwa Kawasan Leuser
Senin, 27/10/2014 13:00 WIBWahana Lingkungan Hidup (Walhi) menuding Qanun No. 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh menjadi alat pembunuh bagi satwa-satwa endemik liar yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).