-
Kekerasan Seksual Pada Anak, Momentum Kedepankan Rehabilitasi Korban
Senin, 15/01/2018 09:00 WIBTerkait kasus kekerasan seksual terhadap anak misalnya, pemerintah kembali menghadirkan wacana pemberian hukuman kebiri kepada pelaku dan bukan pemberian layanan yang maksimal kepada korban.
KPAI: Waspada Kejahatan Seksual di Tahun Baru
Minggu, 31/12/2017 07:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta masyarakat untuk waspada terhadap kejahatan seksual kepada anak pada malam tahun baru. Untuk itu, KPAI mengimbau agar masyakaray mengawasi hotel atau wisma selama perayaan tahun baru 2018.
Ketua KPAI Santoso mengatakan, tempat-tempat itu rentan dimanfaatkan pelaku kejahatan seksual untuk melancarkan aksinya. "Sebagian kelompok sosial menyambut perayaan tahun baru dengan euforia bahkan rentan mengarah kepada kejahatan seksual. Menginap di area wisata, dalam sejumlah kasus, bagi pelaku kejahatan seksual dijadikan momentum untuk melancarkan aksinya," ujar Santoso, Sabtu (30/12).
KPAI meminta perhatian dan dukungan semua pihak termasuk manajemen hotel maupun penginapan untuk lebih selektif dalam memberikan promo. Agar tidak disalahgunakan oleh oknum pelaku kejahatan seksual.
"Hotel, penginapan, wisma, losmen, cottage, villa jangan sekali-kali memberikan promo khusus, diskon khusus, untuk kepentingan pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Perketat manajemen layanan agar anak tidak dijadikan obyek seksual oleh para pelaku kejahatan," paparnya.
Lebih lanjut, Santoso meminta pemerintah daerah untuk bersikap tegas bila ada hotel maupun tempat penginapan yang melanggar. "Maka jika ada hotel, villa, wisma, losmen, cottage, memberikan diskon khusus untuk menfasilitasi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Agar pemerintah daerah tegas memberikan punishment, jika perlu cabut izinnnya," tambah Santoso.
Akhir kata, KPAI mengimbau agar momentum pergantian tahun disambut dengan hal-hal yang berbau positif. Dirinya berharap agar Indonesia ramah anak dapat segera terwujud di tahun baru 2018.
"Kami berpesan bahwa momentum tahun baru harus disambut dengan positif, tatap tahun 2018 dengan visi besar, harapan besar dan langkah besar, bukan hura hura, apalagi euforia yang justru menodai spirit positif tahun baru," katanya. (dtc/mag)Implementasi PP Restitusi Anak Korban Butuh Kemauan Aparat Penegak Hukum
Rabu, 25/10/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Pada tanggal 17 Oktober 2017 lalu, Presiden Joko Widodo telah menandatangi sebuah regulasi baru terkait restitusi korban tindak pidana khususnya terkait anak korban. Peraturan Pemerintah dengan Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana (PP Restitusi Anak Korban) memiliki muatan 23 Pasal.
Regulasi ini dimandatkan berdasarkan ketentuan Pasal 71D Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. PP ini merupakan 1 dari 5 Peraturan Pemerintah yang harus dibuat oleh Pemerintah dalam pelaksanaan UU Perlindungan Anak, setelah sebelumnya Pemerintah baru mengesahkan 1 PP dibawah UU Perlindungan Anak, yaitu PP No 54 tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak. Aturan ini akan melengkapi mekanisme ganti rugi dan restitusi baik di KUHAP dan UU TPPO, UU PKDRT dan UU No 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Terkait terbitnya PP Restitusi Anak Korban, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menegaskan, mendukung langkah-langkah pemerintah dalam menyusun legislasi yang memperkuat hak-hak korban tindak pidana. "Diharapkan regulasi ini akan menutup celah kosong pelaksanaan restitusi atau ganti kerugian bagi korban tindak pidana anak yang dibebankan kepada pelaku," kata Peneliti ICJR Maidina Rahmawati, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Rabu (25/10).
Dalam PP ini, restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya. Dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa setiap anak yang menjadi korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi mencakup (a). Anak yang berhadapan dengan hukum; (b). Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; (c). Anak yang menjadi korban pornografi; (d). Anak korban penculikan, penjualan dan/atau perdagangan; (e). Anak korban kekerasan fisik dan (f) Anak korban kejahatan seksual.
Muatan Restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana (Pasal 3) berupa: (a). ganti kerugian atas kehilangan kekayaan; (b). ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana; dan/atau (c). penggantian biaya perawatan dan/atau psikologis. "Pemberian restitusi tersebut, selain sebagai penggantian biaya yang dikeluarkan juga dimaksudkan untuk meringankan penderitaan dan menegakkan keadilan bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagai akibat terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku," terang Maidina.
Dalam PP ini, restitusi dapat diajukan oleh orang tua atau wali anak yang menjadi korban; atau ahli waris anak yang menjadi korban; atau orang yang diberi kuasa oleh orang tua, wali, atau ahli waris anak yang menjadi korban, permohonan juga dapat diajukan oleh lembaga. Permohonan restitusi diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai kepada pengadilan.
Dalam PP itu juga diatur, permohonan restitusi kepada pengadilan yang diajukan sebelum putusan pengadilan dapat diajukan kepada penyidik dalam tahap penyidikan; ataupun kepada penuntut umum pada tahap penuntutan. Permohonan Restitusi juga dapat diajukan melalui LPSK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Maidina mengakatan, ICJR menilai, salah satu kelebihan PP ini adalah dapat mendorong partisipasi aparat penegak hukum (penyidik dan penuntut) untuk mendorong terlaksananya restitusi bagi korban. Dalam Pasal 9 dan Pasal 14 diatur ketentuan bahwa penyidik dan penuntut umum dapat memberitahukan tentang hak mengajukan restitusi kepada korban, walaupun semestinya aturannya harus mewajibkan penyidik dan penuntut umum untuk memberitahukan hak ini kepada korban.
"PP ini juga mengatur tentang teknis pelaksanaan restitusi yang dilakukan oleh jaksa. ICJR memandang bahwa hal ini merupakan satu langkah maju," tegas Maidina.
Selama ini umumnya, aparat penegak hukum tidak terlalu mendorong pelaksanaan restitusi, kecuali dalam hal restitusi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Butuh dorongan yang kuat untuk meningkatkan minat aparat penegak hukum dalam memfasilitasi restitusi korban. Disamping itu PP ini juga memberikan mandat yang kuat kepada Lembaga perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk membantu menilai kerugian yang dimohonkan (Pasal 13 dan Pasal 17). Mandat ini harus dilaksanakan LPSK secara maksimal tanpa syarat.
Meski begitu, kata Maidina, ICJR juga memberikan beberapa catatan atas PP tersebut. Pertama, syarat administratif bagi permohonan restitusi anak korban cukup memberikan beban baru bagi korban atau keluarga korban. "ICJR melihat berbagai syarat administrasi yang seharusnya tidak dibebankan kepada korban, hal tersebut seharusnya difasilitasi oleh aparat penegak hukum," ujarnya.
Dalam PP ini pada Pasal 7 diatur bahwa Pengajuan permohonan Restitusi yang diajukan oleh pihak korban, paling sedikit harus memuat: identitas pemohon; identitas pelaku; uraian tentang peristiwa pidana yang dialami; uraian kerugian yang diderita; dan besaran atau jumlah restitusi. Permohonan restitusi juga harus melampirkan: fotokopi identitas anak yang menjadi korban pidana yang dilegalisasi oleh pejabat berwenang; bukti kerugian yang sah; fotokopi surat keterangan kematian yang telah dilegalisasi pejabat yang berwenang jika anak yang menjadi korban tindak pidana meninggal dunia; dan bukti surat kuasa khusus jika permohonan diajukan oleh kuasa orang tua, wali, atau ahli waris Anak yang menjadi korban tindak pidana.
"Jika dilihat, syarat-syarat tersebut dapat dikatakan terlalu banyak dan menyulitkan korban tindak pidana dalam hal ini anak dan, atau orang tua. Syarat-syarat tersebut akan menjadi beban ganda korban untuk mengajukan permohonan restitusi," kata Maidina.
Misalnya syarat: identitas pelaku, uraian tentang peristiwa pidana yang dialami. "Syarat-syarat ini seharusnya difasilitasi dan disediakan oleh aparat penegak hukum dan LPSK untuk menjamin dapat terlaksananya restitusi tersebut," ujarnya.
Kedua, dalam praktik saat ini, tidak ada jaminan bahwa restitusi bisa segera dibayarkan kepada korban. Yang biasanya terjadi adalah bahwa pelaku tidak mau membayar dan tidak sanggup membayar.
Dalam monitoring ICJR, sangat jarang pelaku mau membayarkan restitusi, kecuali dalam kasus Tindak pidana Perdaggangan Orang (TPPO, hal ini dikarenakan ada mekanisme pemaksa yang dapat diberikan kepada pelaku, misalnya perampasan aset. "Sedangkan dalam restitusi di luar TPPO, umumnya pelaku yang tidak mau membayar hanya dikenakan pidana subsider penjara 2-3 bulan," papar Maidina.
Dengan adanya sutuasi ini maka pada implementasinya, korban tetap tidak dapat memperoleh ganti kerugian secara finansial. Sayangnya, PP ini pun masih belum memberikan solusi atas situasi tersebut.
Harusnya pengaturan dalam PP ini memuat tentang solusi apabila restitusi tersebut tidak dibayarkan, apakah dengan mekanisme perampasan aset ataupun mekanisme kompensasi seperti yang diatur dalam PP No 44 tahun 2008. "ICJR mengingatkan pemerintah untuk tidak hanya fokus kepada restitusi namun harus berupaya untuk memberlakukan kompensasi bagi korban, karena mekanisme restitusi sangat bergantung pada pelaku, pengadilan dan sangat sulit diakses oleh korban, dalam hal ini korban anak," urainya.
Oleh karena itu, ICJR merekomendasikan beberapa hal. Pemerintah sesegerakan mungkin mengefektifkan sosialisasi PP ini kepada korban, keluarga korban ke seluruh wilayah Indonesia agar akses atas restitusi ini dapat diketahui oleh korban dan keluarga korban yang saat ini kasusnya sedang disidik kepolisian ataupun dalam proses penuntutan ataupun kasus yang sudah diputus
"Kedua, mendorong aparat penegak hukum aktif dan responsif dalam mendukung permohonan korban atas hak restitusi dan harus memfasilitasi kebutuhan korban khususnya dalam administrasi permohonan," pungkas Maidina (mag)Implementasi Pengebirian dalam UU Perlindungan Anak dan Kode Etik Kedokteran
Kamis, 15/06/2017 13:00 WIBPengebirian merupakan bentuk hukuman yang bertujuan untuk mengurangi keinginan hasrat seksual seseorang.
Berharap Sikap Bijak MK Menguji Pasal Anti Penghukuman Terhadap Anak
Rabu, 14/06/2017 13:00 WIBAtas permohonan ini, kata Supriyadi, ICJR sebagai organisasi yang menolak secara tegas setiap bentuk bentuk penghukuman atas badan atau Corporal Punishment menilai, permohonan ini justru akan memutuskan rantai perlindungan anak atas praktik-praktik kekerasan dalam wujud Corporal Punishment di dunia sekolah Indonesia.
ICJR: Korban Kejahatan Seksual dan KDRT Masih Dibebani Biaya Visum
Selasa, 02/05/2017 19:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Institute for Criminal Justice reform (ICJR) mendukung langkah-langkah yang diambil oleh Pemerintah DKI Jakarta dalam menyusun Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Pembebasan Biaya Visum bagi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di RSUD dan Puskesmas. "Kebijakan ini merupakan langkah maju terkait perlindungan korban yang telah dinyatakan dalam berbagai regulasi. Peraturan ini harus segera difinalkan," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono kepada gresnews.com, Selasa (2/5).
Sebelumnya dalam UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dinyatakan, korban berhak mendapatkan pemulihan dalam bentuk pelayanan kesehatan (Pasal 39). Peraturan Pelaksanaan UU tersebut yaitu PP No 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan, salah satu pelayanan kesehatan yang wajib diberikan oleh tenaga kesehatan kepada korban adalah pembuatan visum et repertum.
"Dalam PP ini dinyatakan secara tegas bahwa biaya pemulihan kepada korban, termasuk di dalamnya fasilitas pembuatan visum dibebankan kepada APBN dan APBD," terang Supriyadi.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional juga dinyatakan, pelayanan pembuatan visum masuk ke dalam pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan yang ditanggung oleh jaminan kesehatan nasional. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS), yang merupakan badan hukum yang menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional, lewat peraturan Kepala BPJS No 1 tahun 2014 tentang Penyelenggara Jaminan Kesehatan juga menyatakan, pelayanan kedokteran forensik termasuk pembuatan visum merupakan bagian dari pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat lanjutan.Hal ini berarti bahwa pembuatan visum merupakan salah satu layanan kesehatan yang dijamin oleh jaminan kesehatan nasional. Upaya pemenuhan hak korban atas visum yang ditanggung oleh jaminan kesehatan nasional hanya dapat diberikan kepada korban yang memiliki jaminan kesehatan nasional, hal ini pun juga telah diatur dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta No 1618 tahun 2016 tentang Jenis Pelayanan Kesehatan pada Puskesmas dan RSUD
Namun dalam praktiknya hal ini jauh dari harapan. "Masih banyak korban yang menanggung sendiri biaya visumnya sendiri. Di sisi lain banyak korban yang belum memiliki atau mengikuti jaminan kesehatan, dan mereka ini tidak dijamin pemenuhan hak atas visum gratis," terang Supriyadi.Sehingga pada praktiknya korban justru harus dibebani biaya visum yang jumlahnya beragam pada setiap rumah sakit bahkan sampai dengan Rp1,5 juta. Padahal visum yang merupakan bagian dari alat bukti tindak pidana secara teori masuk ke dalam anggaran penyelesaian perkara pidana yang berdasarkan Pasal 136 KUHAP seharusnya menjadi tanggung jawab negara.
Dalam Pasal 136 KUHAP sebetunya telah tegas menyatakan: "Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kedua Bab XIV -(bab XIV: penyidikan) ditanggung oleh negara". "Hal ini berarti bahwa biaya visum dibebankan kepada anggaran negara, bukan dari uang pribadi korban," tegas Supriyadi.
Oleh karena itu, langkah Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta untuk memasukkan biaya pemeriksaan atau penyidikan ke dalam APBD merupakan suatu langkah maju bagi pemenuhan hak korban dan patut dicontoh oleh daerah lain di Indonesia. Rencana peraturan gubernur DKI Jakarta tentang pembuatan visum gratis bagi korban akan berdampak positif bagi memenuhi hak korban atas pelayanan kesehatan."ICJR bahkan mendorong layanan kesehatan tidak hanya diberikan kepada korban KDRT namun juga kepada korban kekerasan lainnya terutama korban kejahatan seksual," pungkas Supriyadi. (mag)
Waspada Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Kamis, 30/03/2017 11:00 WIBKasus kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat baik intensitas maupun ragam bentuk kejahatannya. Salah satu yang saat ini menjadi sorotan adalah kasus kekerasan seksual bergerombol atau gang rape yang makin marak terjadi.
Pendampingan dan Reparasi Bagi Anak Korban Pedofilia
Selasa, 21/03/2017 09:00 WIBKarenanya ECPAT Indonesia dan ICJR mendesak lembaga pemerintah dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) segera melakukan langkah-langkah cepat untuk reparasi dan rehabilitasi para anak korban pedofilia dalam kasus ini.
Terulangnya Kasus Kekerasan anak oleh Pelaku Berkelompok
Jum'at, 13/01/2017 19:00 WIBKomisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan terulangnya kembali kasus perkosaan yang diakhiri dengan pembunuhan terhadao anak oleh pelaku berkelompok (gang rape).
Pemerintah Diminta Lanjutkan Gerakan Anti Kekerasan Anak
Sabtu, 13/06/2015 20:00 WIBMencegah meningkatnya kekerasan anak, pemerintah perlu konsisten menjalankan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak yang dicetuskan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 11 Juni 2014 lalu.
Putus Rantai Kekerasan Anak, Sejumlah Menteri Perangi Pornografi
Minggu, 14/12/2014 18:00 WIBBanyaknya kasus kekerasan yang terjadi kepada anak akhir-akhir ini membuat keprihatin berbagai kalangan. Termasuk kalangan menteri dalam Kabinet Kerja. Mereka pun menyatakan perang terhadap keberadaan pornografi.
Penegak Hukum Banyak Urus Hal Tak Penting
Kamis, 27/09/2012 01:22 WIBKetua Dewan Pengurus Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia Ruslan Pandika menilai, adanya kasus tindak pidana eksploitasi seksual anak melalui modus pengangkatan anak dan orang tua asuh tidak ada kaitannya dengan sistem perundang-undangan yang sudah ada.