-
RUU Energi Baru Terbarukan Perlu Kajian Lanjutan
Selasa, 20/08/2019 12:45 WIBEBT Rp1,17 Triliun Mangkrak, KPK Harus Mengusut!
Kamis, 28/12/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Sebanyak 142 proyek energi baru dan terbarukan (EBT) senilai Rp1,17 triliun yang dikerjakan Kementerian ESDM mangkrak. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan, banyak pembangkit listrik EBT yang rusak dan terbengkalai setelah dibangun.
Wakil Ketua Umum BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Yaser Palito dalam keterangannya di Jakarta hari ini meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut dan menindaklanjuti laporan BPK tersebut. "Ada baiknya KPK mengusut kasus ini. Sebab ini masalah APBN yang nilainya tidak kecil. Potensi penyimpangannya sangat besar," ujar Yaser dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Kamis (28/12).
Dikatakannya, kebijakan EBT dalam beberapa tahun terakhir semakin tidak jelas. Regulator dan PT PLN terlalu ambisius membangun dan mengoperasikan sendiri EBT ditengah Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang sangat terbatas. Akibatnya, sejak dari hulu, regulasi EBT sudah carut-marut. "Perencanaan pun tidak matang, tapi program dan proyek tetap jalan sehingga terbengkalai paska pembangunan pembangkit," tegas Yaser.
Yaser mengatakan, banyak pembangkit tersebut dibangun asal-asalan. Bahkan ada pembangkit yang hanya sehari beroperasi, besoknya langsung rusak. Sebab itu, banyak Pemerintah Daerah yang enggan menerima pembangkit yang langsung rusak tersebut.
"Tidak sepenuhnya Pemda dipersalahkan, sebab ini barang sejak dibangun sudah rusak. Disisi lain, Pemda tidak punya kapasitas untuk mengoperasikan pembangkit. Dia mesti cari pihak ketiga," ucap dia.
Oleh sebab itu, sejak awal Hipmi berpandangan pemerintah tidak perlu membangun sendiri pembangkit dan mengoperasikannya sendiri. ESDM sebaiknya menyerahkan kepada swasta, sehingga pemerintah masih punya anggaran yang cukup untuk membangun transmisi di daerah-daerah. "Coba kalau dana Rp1 triliun itu dipakai untuk bangun transmisi, swasta yang bangun pembangkitnya,´ ucap Yaser.
Agar masalahnya menjadi terang benderang, Hipmi mendesak KPK untuk mengusut masalah ini dan tidak terulang lagi pada pembangkit lainnya. KPK juga perlu mengevaluasi kebijakan ESDM yang dinilai tidak efisien memanfaatkan APBN dan mengerdilkan peran swasta.
"Yang mesti diwaspadai, potensi mangkraknya pembangkit-pembangkit lainnya akan membesar, bila regulasi berubah-ubah terus dan tidak rasional secara bisnis," ujar Yaser.
Yaser mengatakan, banyak produk regulasi saat ini yang dikeluarkan Kementerian ESDM yang tidak dipikirkan secara matang. Padahal, regulasi sebelumnya misalnya Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 19 Tahun 2015 sangat kondusif bagi investasi kelistrikan. Namun pasca Permen tersebut, setelah berganti Menteri, terbit Permen-Permen tanpa kajian dan mengalami berbagai revisi (trial and error) setelah diprotes keras oleh IPP.
Permen-Permen tersebut yakni Permen ESDM No. 12 Tahun 2017 tertanggal 27 Januari 2017, disusul Permen ESDM No. 48 Tahun 2017 tertanggal 3 Agustus 2017, dan Permen ESDM No. 50 Tahun 2017 tertanggal 7 Agustus 2017. "Seharusnya, apa yang menjadi kendala pada Permen sebelumnya dikaji dan diperbaiki, bukan dianulir keseluruhannya. Setelah dianulir pun, IPP ditekan kiri-kanan," papar dia.
Sebelumnya, Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Rida Mulyana, menyebutkan dari 686 unit pembangkit EBT tersebut, sebanyak 126 unit kegiatan atau senilai Rp1,044 triliun belum diserahterimakan ke Pemerintah Daerah, dan 68 kegiatan di antaranya senilai 305 miliar rupiah mengalami kerusakan ringan dan berat. Rincian dari 68 pembangkit yang rusak itu yakni 55 unit senilai 261 miliar rupiah mengalami kerusakan ringan.
"Sementara 13 unit dengan nilai 48,85 miliar rupiah mengalami rusak berat atau tidak beroperasi. Kerusakan berat itu karena bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, dan petir," ungkap Rida.
Melihat rendahnya kinerja EBT saat ini, Yaser pesimistis target bauran energi dari EBT minimal 23% pada 2025 akan tercapai. "Kalau dengan kondisi regulasi seperti saat ini, sudahlah, target pasti akan meleset," ujar Yaser.
Dia mengatakan, kondisi investasi EBT di Indonesia tidak bisa disamakan dengan di Uni Emirat Arab yang menjual dengan harga murah hanya US$2 sen per kwh. "Beda sekali. Disana, tanah gratis, cost fund sangat rendah, mereka diberikan insentif oleh pemerintah setempat, dan kondisi geografis sangat ringan sebab di padang gurun. Nah di Indonesia, geografisnya tahu sendirilah," papar dia. (mag)Hipmi: 142 EBT Mangkrak, Dampak Inkonsistensi Regulasi Ketenagalistrikan
Senin, 18/12/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Sebanyak 142 proyek energi baru dan terbarukan (EBT) senilai Rp1,17 triliun yang dikerjakan Kementerian ESDM mangkrak. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan, banyak pembangkit listrik EBT yang rusak dan terbengkalai setelah dibangun.
Wakil Ketua Umum BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Yaser Palito dalam keterangannya di Jakarta hari ini mengatakan, EBT tersebut terbengkalai sebagai dampak dari regulasi yang selama ini tidak konsisten (inkonsisten) atau kerap berubah. "Ini dampak dari inkonsistensi regulasi yang ESDM tidak mau perbaiki," ujar Yaser, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Senin (18/12).
Yaser mengatakan, 142 EBT tersebut dapat dicegah dari mangkrak bila regulasi investasi EBT cukup mendukung. Sehingga sejak awal pengerjaan proyek EBT tersebut dikerjakan secara profesional. "Proyek-proyek ini kan jadi asal-asalan, sebab nantinya setelah diserahkan kepada pemerintah daerah. Lalu Pemda cari mitra swasta. Tapi tidak ada swasta yang mau sebab harga listrik tidak menarik. Sementara, biaya investasi dan pemeliharaannya besar," ujar Yaser.
Yaser mengatakan, pada saat disusun harga EBT pada 2009, harga EBT dibuat semenarik mungkin guna menarik minat swasta. Namun belakangan, berbagai revisi membuat peminat EBT menurun. Dikatakannya, kebijakan ESDM akhir-akhir ini membuat perbankan dalam negeri sulit memberikan pinjaman kepada pengusaha karena sudah dipatok dengan tarif tetap dan rendah.
"Pemda juga kesulitan mencari mitra. Tidak ada mitra yang berminat dengan tarif segitu. Dengan tarif flat 85% dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP), mana ada swasta yang mau jadi mitra, biarpun bareng Pemda," imbuh dia.
Sebagaimana diketahui penetapan tarif EBT tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 tahun 2017. Misalnya Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB)/Angin, tarif listriknya ditentukan berdasarkan BPP setempat. Apabila BPP pembangkit setempat di atas rata-rata BPP pembangkit nasional, maka harga pembelian tenaga listrik dari PLTB paling tinggi 85% dari BPP setempat. Namun jika BPP setempat sama atau di bawah rata-rata BPP nasional, maka harga pembelian tenaga listrik dari PLTB ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
Yaser mengatakan, dengan tarif semacam saat ini, pengusaha tidak punya waktu untuk mengembalikan modalnya. Makanya, pengusaha tidak punya minat mengambil proyek-proyek EBT yang sudah dibangun pemerintah, sebab biaya investasi mahal sedangkan pendapatan sangat rendah. “Belum lagi proyek-proyek ini asal-asalan. Kita kalau ambil, harus ada ekstra capital untuk perbaiki mesin, bendungan, dan infrastruktur pembangkit, ditambah lagi biaya pemeliharaan,” papar dia.
Yaser memperkirakan target bauran energi dari EBT minimal 23% pada 2025 tidak akan tercapai. "Kalau dengan kondisi regulasi seperti saat ini, sudahlah, target pasti akan meleset," ujar Yaser.
Dia mengatakan, kondisi investasi EBT di Indonesia tidak bisa disamakan dengan di Uni Emirat Arab yang menjual dengan harga murah hanya US$2 sen per kwh. "Beda sekali. Disana, tanah gratis, cost fund sangat rendah, mereka diberikan insentif oleh pemerintah setempat, dan kondisi geografis sangat ringan sebab di padang gurun. Nah di Indonesia, geografisnya tahu sendirilah," papar dia. (mag)Perlu Kepastian Terkait Regulasi EBT
Jum'at, 06/10/2017 08:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto menegaskan perlu adanya kepastian regulasi terkait pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk menggantikan energi fosil yang mendominasi kebutuhan energi di Indonesia. Agus mengakui, masih banyak tantangan dalam mengembangkan energi yang ramah lingkungan demi terciptanya udara yang bersih.
"Tantangan utama terletak pada kepastian regulasi dan aspek ekonomi dalam mengembangkan energi terbarukan," kata Agus dalam acara "The Parliamentary Role in Meeting the Clean Air Challenge", di Gedung DPR, Senayan, Kamis (5/10).
Selain itu, lanjutnya, dibutuhkan langkah yang berani berupa kebijakan dan kemauan politik secara bersama untuk dapat mendorong pengembangan energi bersih ramah lingkungan. Sebagai bentuk komitmen DPR, tambahnya, DPR telah menyelenggarakan kegiatan Senior Official Meeting (SOM) dengan mengangkat tema Potensi, Tantangan dan Usulan Solusi untuk Pengembangan Panas Bumi di Indonesia. Bertujuan memberikan solusi bagi pemerintah dalam menghadapi tantangan pengembangan energi EBT.
"Pertemuan tersebut telah menghasilkan kesepakatan-kesepakatan tingkat Kementerian dan telah memberikan kesamaan visi dan sinergi positif lintas sektoral antara para pemangku kepentingan," jelas politisi dari F-Demokrat ini.
Indonesia memang diharapkan dapat meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) hingga mencapai 23 persen pada tahun 2025. Penggunaan EBT diharapkan dapat mengantikan energi fosil yang terus mengalami penurunan cadangan yang semakin terbatas.
Agus mengatakan, untuk mewujudkan target 23 persen yaitu dengan melakukan peningkatan penggunaan sumber daya energi terbarukan atau energi yang ramah lingkungan. "Kebijakan EBT telah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak, yang mana energi terbarukan ditargetkan mencapai 23% pada tahun 2025," paparnya.
Dia menambahkan, DPR akan mencoba mengkaji kondisi pengembangan energi terbarukan yang ada saat ini terutama energi Panas Bumi yang cadangannya merupakan terbesar di dunia. Berdasarkan data terbaru Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), lanjut Agus, disebutkan bahwa kebutuhan energi Indonesia dipasok dari sumber energi fosil, seperti minyak bumi 46%, gas alam 18%, batubara 21%. Sementara, energi terbarukan hanya berkontribusi sebanyak 5%.
Padahal, tambahnya, emisi karbon dioksida (C02) yang dihasilkan dari pemanfaatan batubara, minyak bumi dan gas alam cukup tinggi jika dibandingkan dengan energi terbarukan. Sebagai contoh, emisi yang dihasilkan dari energi panas bumi 1000 kali lebih rendah dibanding emisi dari energi batubara dan minyak bumi.
Menyinggung soal emisi dari energi fosil, Agus menjelaskan, Pemerintah Indonesia juga telah berkomitmen menurunkan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030 seperti yang pernah disampaikan Presiden Joko Widodo, saat menghadiri The 21th Conference of the Parties (COP 21) di Paris.
Hasil dari COP21 yang dikenal dengan Paris Agreement ini memuat target untuk menjaga ambang batas peningkatan suhu bumi di bawah 2 derajat Celcius dan telah diratifikasi dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 19 Oktober 2016 tahun lalu.
"Saya mengajak kita untuk menetapkan tekad bersama memacu pengembangan energi terbarukan yang ramah lingkungan agar target menurunkan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030 dapat tercapai," tandas politisi F-Demokrat ini. (mag)ESDM Klaim Realisasi Bauran Energi Lampau Target
Rabu, 20/09/2017 14:00 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengklaim realisasi bauran energi baru terbarukan (EBT) pada triwulan II tahun 2017 melebihi target APBN 2017. Disebutkan hingga triwulan II, bauran energi panas bumi dan EBT lainnya mencapai 5,23 persen dari targetnya 4,96 persen. Bauran energi dari air mencapai sekitar 8,07 persen dari target 6,16 persen.
Menurut Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andy Noorsaman Sommeng bauran energi secara keseluruhan, realisasi BBM maupun BBN hingga triwulan ke II tahun 2017 ini mencapai 6,33 persen atau masih lebih tinggi dari target APBN-P 2017 sebesar 4,66 persen.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian yang menggelar konferensi pers bersama Direktur Pengadaan Strategis PT PLN (Persero), Supangkat Iwan Santoso, dan Direktur Bisnis Maluku dan Papua PT PLN (Persero), Ahmad Rofiq, Selasa (19/9), melaporkan capaian sektor ketenagalistrikan yang melingkupi progress Program 35.000 MW, Program Listrik Perdesaan, pertumbuhan dan penjualan listrik, serta bauran energi.
Disebutkan Andy, program Pemerintah dalam ketenagalistrikan ada empat hal. Pertama, menambah kapasitas untuk ketersediaan listrik kepada masyarakat. Maka ada program 35 ribu Mega Watt (MW) atau 35 Giga Watt (GW). Kedua, pemerataan distribusinya, agar akses dan hak masyarakat terhadap energi bisa tercapai. Dari Sabang sampai Merauke bisa mendapatkan akses terhadap listrik. Menurutnya, rasio elektrifikasi hingga triwulan kedua, telah mencapai 92,8 persen.
Ketiga, pengendalian harga, harga harus terjangkau. Keempat, kaitannya dengan kualitas. "Ini penting, terkait dengan akseptabilitas masyarakat. Walaupun tersedia, kalau kualitasnya tidak baik, akan menjadi masalah. Atas dasar ini, PLN melaporkan setiap kemajuan kepada Menteri ESDM," ujar Andy seperti dikutip esdm.go.id
Sementara itu, terkait pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan, Andy menyebutkan bahwa pembangkit yang telah beroperasi secara komersial/Commercial Operation Date (COD) sampai dengan bulan Agustus 2017 mencapai sebesar 1.253 MW.
"PT PLN melaporkan, pembangkit listrik yang telah beroperasi secara komersial atau COD mencapai 773 MW, ditambah Marine Vessel Power Plant (MVPP) sebesar 480 MW, terdiri dari MVPP Sumut (240 MW), MVPP Amurang (120 MW), MVPP Kupang (60 MW) dan MVPP Ambon (60 MW), sehingga total COD menjadi 1.253 MW," beber Andy.
Sementara target kontrak Engineering, Procurement, and Construction (EPC) PT PLN pada September hingga Desember 2017 adalah sebesar 2.850 MW (Perencanaan 1.256 MW dan Pengadaan 1.594 MW).
Sedang target Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) atau Power Purchase Agreement (PPA) untuk Independent Power Producer (IPP) September hingga Desember 2017 mencapai sebesar 5.250 MW, dari Perencanaan sebesar 2.600 MW dan Pengadaan sebesar 2.650 MW.
Selain itu, disampaikan bahwa hingga Agustus 2017, sebanyak 73.149 desa telah berlistrik. Angka ini naik 1.008 desa dari tahun 2016 yang berjumlah 72.141 desa. Kemudian yang terkait pertumbuhan penjualan listrik, laporan PT PLN menunjukkan bahwa jumlah pelanggan sampai Agustus 2017 sebesar 66.629.357 pelanggan, dengan delta pertumbuhan pelanggan sebesar 5,73 persen.
Direktur Pengadaan Strategis PT PLN (Persero), Supangkat Iwan Santoso dalam kesempatan itu melaporkan perkembangan Proyek Percepatan Pembangkit 35.000 MW. "Progres pembangkit program 35.000 MW saat ini yang dilakukan oleh PLN, proses perencanaan dan pengadaan sebesar 5.884 MW (52%) dan yang sudah kontrak 5.372 MW (48%). IPP Proses perencanaan dan pengadaan 5.649 MW (21%) dan yang sudah PPA sebesar 20.921 MW (79%)," ujar Iwan.
Sedangkan progress pembangunan transmisi untuk program 35.000 MW saat ini yang sudah beroperasi 6.819 Kms atau 15 persen dari target. Sementara masih dalam pra konstruksi, lahannya sudah bebas, dan sudah membangun pondasi, sepanjang 20.729 Kms (44%) sisanya dalam tahap konstruksi sepanjang 19,282 Kms (41%).
"Pembangunan transmisi di Pulau Sumatera perkembangannya paling pesat yakni sebesar 53 persen atau 8.536 Kms sudah konstruksi dan membangun pondasi, 31 persen pra konstruksi dan 16 persen atau 2.537 Kms sudah beroperasi," ungkap Iwan.(rm)Jauh dari Target, DEN Rekomendasikan Akselerasi Program EBT
Sabtu, 05/08/2017 15:00 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dewan Energi Nasional (DEN)merekomendasikan agar pemerintah melakukan akselerasi terhadap program penggunaan Energi Baru Terbarukan demi target pencapaian EBT 23% pada tahun 2025. Pernyataan itu disampaikan anggota DEN, Abadi Purnomo dalam keterangan pers usai Sidang Sidang Anggota DEN ke-22 di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jumat (4/8).
Menurut Abadi Purnomo untuk mengawal dan mendorong tercapainya target pencapaian EBT 23% pada tahun 2025. Dibutuhkan upaya ekstra untuk mencapainya karena pencapaian tahun 2016 baru mencapai 7,7%.
"Sampai akhir 2016 kita baru mencapai 7,7%. Sehingga untuk mencapai 23% di 2025 harus ada akselerasi sehingga grafik ini menjadi eksponensial. Tidak mungkin lagi dilakukan dengan hal-hal yang biasa dilakukan," ujar Abadi.
Upaya untuk mewujudkan hal tersebut, kata Abadi, salah satunya dengan mengakselerasi penggunaan biodiesel (B20) dan utilisasi panel-panel surya yang terpasang, yang sampai saat ini masih mengalami kendala operasional. Upaya lain yang dapat dilakukan, kata dia, adalah akselerasi penggunaan panel surya di semua sektor untuk pribadi maupun bangunan pemerintahan dan swasta.
"Dalam hal ini Prof. Rinaldi memberikan masukan antara lain bahwa ini bisa digenjot kalau kita menuangkan ini ke dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) dalam kurun waktu tertentu. Mengakselerasi penggunaan panel surya di semua sektor," jelas Abadi, seperti dikutip esdm.go.id.
Menyoal RUED-P (RUED-Provinsi), Abadi mengungkapkan bahwa DEN memiliki program khusus seperti melakukan sosialisasi melalui workshop nasional, pendidikan dan pelatihan serta program supervisi. "Sampai dengan akhir tahun kita akan mempunyai program supervisi," tutur Abadi.
Dijelaskan Abadi, progres penyusunan RUED-P hingga 2017 adalah sebagai berikut: 7 Provinsi sudah menganggarkan kegiatan RUED yaitu Provinsi Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Bengkulu, Kalimantan Tengah dan Nusat Tenggara Barat.
Sementara 15 provinsi telah melakukan kegiatan penyusunan RUED walau belum dianggarkan yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kep. Riau, Jambi, Bangka Belitung, Lampung, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.
Sedang 12 Provinsi masih memerlukan perhatian khusus karena belum secara aktif melaksanakan penyusunan RUED, antara lain Provinsi Sumatera Selatan, Jawa Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.
Penyusunan RUED ini merupakan amanat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional. Dalam Pasal 4, ditetapkan bahwa Dewan Energi Nasional bersama Kementerian (ESDM) melakukan sosialisasi RUEN kepada instansi terkait baik pusat maupun daerah dan pihak lain terkait dan pembinaan penyusunan rancangan RUED-P.
Sementara, Dewan Energi Nasional melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan RUEN dan kebijakan di bidang energi yang bersifat lintas sektoral. Hasil pengawasan itu dibahas dalam Sidang Anggota Dewan Energi Nasional dan dilaporkan kepada Ketua Dewan Energi Nasional atau dapat dibahas dalam Sidang Paripurna Dewan Energi Nasional.
Sidang Anggota DEN ke-22 ini dihadiri Menteri Bappenas, anggota DEN dari pemangku kepentingan yang terdiri dari akademisi, teknologi, konsumen, lingkungan hidup serta wakil tetap dari Kementerian Pertanian, Perhubungan, Riset dan Teknologi, Perindustrian, dan Keuangan. (rm)Investor Tertekan Pembatasan Tarif Energi Baru Terbarukan
Minggu, 12/03/2017 15:00 WIBBadan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) meminta pemerintah melakukan perhitungan sendiri atas harga Energi Baru Terbarukan (EBT) di tanah air.
Harga Jual Hadang Pengembangan Energi Terbarukan
Senin, 05/12/2016 14:00 WIBWakil Menteri (Wamen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Archandra Tahar menegaskan akan mengkaji ulang Aturan Feed in Tariff (FIT) listrik dari energi baru terbarukan (EBT).
Subsidi EBT Hilang, Pengusaha Listrik Meradang
Kamis, 22/09/2016 19:00 WIBKetua Harian APLSI Arthur Simatupang mengatakan, penolakan subsidi EBT sebesar Rp1,1 triliun untuk tahun 2017 akan berdampak panjang bagi masa depan kedaulatan energi dan komitmen kerjasama internasional dibidang lingkungan.
Menggantung Asa pada Energi Terbarukan
Senin, 28/12/2015 09:00 WIBPemerintah akan memberi kemudahan dan insentif seperti tax holiday bagi perusahaan atau investor yang bersedia masuk di sektor energi terbarukan.