-
Lampu Merah Defisit APBN
Selasa, 19/12/2017 08:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan saat ini kondisi defisit dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sudah lampu merah. Defisit APBN-P 2017 hingga akhir November sudah mencapai 2,2 persen. Dari penerimaan dan belanja yang ada, angka defisit diperkirakan akan menyentuh 2,92 persen.
Heri mengingatkan, pemerintah wajib berhati-hati, karena sudah mendekati zona warning yang disyaratkan UU Keuangan Negara sebesar 3 persen. Penerimaan terbesar pemerintah untuk mencegah membengkaknya defisit masih bersumber dari pajak. Namun, penerimaan pajak mengalami penurunan sebesar minus 2,79 persen dibandingkan dengan tahun yang sama.
"Dari data itu maka saya khawatir pemerintah akan mengalami kesulitan untuk memenuhi target penerimaan pajak di akhir tahun ini," kat Heri seperti dikutip dpr.go.id, Senin (18/12)
Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri menyatakan, akan berusaha di sisa waktu yang sempit ini dengan tetap mengandalkan pajak. Menurut Heri, pemerintah akan kesulitan mengejar target pajak tahun ini, terutama target PPh Migas dan penerimaan Bea Cukai.
"Tantangan terbesarnya adalah soal ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global serta turunnya harga komoditas. Belajar dari pengalaman 2016 saja realisasinya hanya 65 persen dari target," jelas anggota F-Gerindara ini.
Ditambahkan Heri, penerimaan bea cukai per Juni 2017 hanya mencapai 30,12 persen. Otomatis penerimaan APBN akan bertumpu pada PNBP, terutama PNBP minerba yang selalu berada di atas 70 persen.
Jika dilihat trennya, maka fakta menunjukkan bahwa realisasi penerimaan pajak terus melenceng dari rencana. Tahun 2015, realisasinya hanya Rp1.285 triliun atau melenceng dari target APBN-P sebesar Rp1.489 triliun. Tahun 2016 juga melenceng dari target APBN-P TA 2016 sebesar Rp1.539,2 triliun.
"Pemerintah mesti bekerja lebih ekstra untuk mewujudkan seluruh target yang telah dipatok, melakukan reformasi perpajakan secara serius, dan mematok target penerimaan pajak dalam APBN yang lebih realistis. Selain itu, untuk tetap menjaga defisit, pemerintah juga harus melakukan penghematan belanja K/L yang dilakukan dengan realokasi belanja barang menjadi belanja produktif dan mendesak," tutup Heri. (mag)APBN 2018 Tak Berpihak Pada Keadilan dan Kesejahteraan Sosial
Kamis, 26/10/2017 08:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Fraksi Partai Gerindra DPR secara tegas menolak pengesahan RUU APBN 2018 yang kini telah disahkan menjadi undang-undang dengan target pendapatan negara sebesar Rp1.894,72 triliun dan belanja negara senilai Rp2.220,66 triliun. Sebab, postur APBN 2018 tersebut dinilai tidak berpihak pada keadilan dan kesejahteraan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia.
Hal tersebut terlihat dari tidak didukungnya kebijakan anggaran dalam program perlindungan perempuan dan anak, tidak adanya skema penganggaran pengangkatan guru baru, Program Keluarga Harapan yang tidak didukung melalui kebijakan anggaran, serta pelaksanaan Asian Para Games untuk para penyandang disabilitas yang akan dilaksanakan di Jakarta pada oktober 2018 mendatang tidak sepenuhnya dicover oleh pemerintah.
"Itu adalah beberapa di antara banyak catatan lain yang membuat postur APBN 2018 terlihat tidak pro terhadap keadilan dan kesejahteraan sosial," kata Rahayu Saraswati Djojohadikusumo yang membacakan pendapat Fraksi Partai Gerindra terhadap Rancangan APBN 2018 di sidang Paripurna DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (25/10).
Sara, sapaan akrab dari Rahayu Saraswati Djojohadikusumo ini menjelaskan, tidak didukungnya kebijakan anggaran dalam program perlindungan perempuan dan anak itu terlihat dari pemangkasan anggaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) oleh Kementerian Keuangan dan BAPPENAS.
"Dalam pembahasan anggaran, kami selalu diberikan penjelasan oleh saudari Menteri PPPA bahwa anggaran tidak disetujui di Trilateral Meeting dengan Kementerian Keuangan dan BAPPENAS dan dipangkas terus. Bayangkan jika Kementerian yang lain mendapatkan puluhan triliun rupiah, kementerian yang seharusnya menjalankan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak untuk seluruh Indonesia hanya dianggarkan Rp553,8 miliar," tutur Sara.
Selain itu, Sara yang juga merupakan Anggota Komisi VIII DPR RI ini juga menjelaskan, ketidakberpihakan APBN 2018 terhadap keadilan dan kesejahteraan sosial terlihat dari tidak adanya skema penganggaran pengangkatan guru baru. Padahal, Kemendikbud menyatakan akan ada 295 ribu guru yang akan pensiun dalam kurun waktu 5 tahun ke depan, tetapi belum ada rencana pengangkatan guru baru.
"MenPANRB menjelaskan bahwa alasan mengapa belum bisa menghilangkan moratorium pengangkatan PNS karena Kementerian Keuangan belum menyiapkan skema penganggaran pengangkatan guru baru. Padahal kita semua menganggap negara ini kekurangan guru, sedangkan ada ratusan ribu guru honorer yang selama ini menunggu pengangkatan dan terkadang hanya menerima gaji Rp 50 ribu/bulan," sesalnya.
Lebih jauh Sara juga mempertanyakan kepemimpinan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sudah sudah masuk tahun ke 4 (empat) ini terhadap keseriusannya dalam menciptakan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan sosial untuk rakyat Indonesia. "Jelas dengan contoh tersebut (tidak adanya skema penganggaran pengangkatan guru baru) bahwa pemikiran untuk peningkatan Sumber Daya Manusia di Indonesia masih belum menjadi prioritas, apalagi kalau kita memikirkan rasio antara guru dan murid. Bagaimana nasib anak-anak kita jika tidak dapat menerima pendidikan yang layak?," paparnya.
Selain itu lanjut Sara, salah satu program pemerintah yang cukup baik bahkan didukung oleh seluruh fraksi yang ada di DPR RI yaitu Program Keluarga Harapan yang ada di bawah Kemensos justru tidak diberikan dukungan besar oleh negara melalui KemenKeu dan Bappenas.
"Seharusnya jika memang ingin mengentaskan kemiskinan, saran kami, anggaran belanja Non K/L sebesar Rp629,2 triliun dimana komponen terbesar adalah untuk infrastruktur bisa dialihkan di antaranya untuk meningkatkan Keluarga Penerima Manfaat PKH dari 10 juta menjadi 20 juta, dan untuk infrastruktur bisa difokuskan pada peningkatan Dana Desa yang memang sebenarnya mengena secara langsung pada rakyat kecil dari Rp60 triliun menjadi Rp90 triliun," tandasnya. (mag)Sempat Ditunda APBN 2018 Akhirnya Disahkan
Rabu, 25/10/2017 15:28 WIBJAKARTA,GRESNEWS.COM - Setelah sempat ditunda, Sidang Paripurna pengesahkan APBN 2018 akhirnya diketok. APBN 2018 ditetapkan sebesar Rp2.220,6 triliun. Angka tersebut lebih sedikit dari Rancangan yang sebelumnya ajukan sebesar Rp2.204,3 triliun.
Belanja tersebut terdiri dari pemerintah pusat sebesar Rp1.454,4 triliun yang meliputi Kementerian Lembaga (K/L) Rp 847,4 triliun dan non K/L Rp 607,05 triliun.
"Belanja negara dalam tahun 2018 sebesar Rp 2.220,6 triliun, terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp 1.454,4 triliun," kata Ketua Banggar DPR RI Aziz Syamsuddin saat Sidang Paripurna di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (25/10).
Sementara untuk transfer daerah dipatok sebesar Rp766,1 triliun dan dana desa sebesar Rp60 triliun.
Sedangkan dari sisi penerimaan negara dipatok Rp1.894,7 triliun atau lebih tinggi Rp 16,2 triliun dari yang diajukan. Terdiri dari penerimaan dalam negeri Rp1.893,5 triliun dan hibah Rp1,19 triliun.
Dengan postur anggaran tersebut, APBN kali ini terjadi defisit anggaran Rp325,9 triliun atau 2,19% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit nantinya akan ditutup oleh penarikan utang oleh pemerintah.
"Maka disepakati defisit dalam APBN Tahun anggaran 2018 adalah 2,19%," ujar Aziz.
Asumsi makro untuk pertumbuhan ekonomi dipatok sebesar 5,4%, tingkat inflasi sebesar 3,5%, nilai tukar rupiah dengan rata-rata Rp 13.400 per US$, tingkat suku bunga SPN 3 bulan ditetapkan sebesar 5,2%. Selanjutnya terkait ICP sebesar US$ 48 per barel, lifting minyak sebesar 800.000 barel per hari, lifting gas bumi 1,2 juta barel setara minyak.
Selain itu angka pengangguran ditetapkan 5%-5,3%, untuk tingkat kemiskinan sebesar 9,5%-10,0%. Sedangkan untuk gini rasio menjadi 0,38, dan indeks pembangunan manusia (IPM) ditetapkan 71,50.
Dari 10 fraksi yang ada di DPR, sebanyak 8 fraksi menyatakan menyetujui RAPBN 2018 untuk dijadikan undang-undang. Sementara Fraksi Partai Gerindra menolak dan Fraksi PKS menerima dengan catatan. (dtc/rm)Politisi Gerindra Sebut ABPN 2018 Rentan Disusupi Agenda Politik
Selasa, 19/09/2017 16:00 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Memasuki tahun politik 2019, APBN 2018 dinilai sangat rentan disusupi agenda politik. Program-program pembangunan yang dirancang sebelumnya berpotensi disetir untuk penguatan basis-basis politik tertentu, sehingga anggaran tak lagi murni untuk mencapai target pembangunan. "Untuk itu pelaksaan APBN 2018 perlu diawasi," ujar Anggota Komisi XI DPR RI Geri Gunawan dalam rilisnya, Selasa (19/9).
Ia mengatakan bawah Tahun 2018 menjadi tahun krusial karena tahun tersebut menjelang pileg dan pilpres 2019. Hal ini penting untuk mengingatkan Presiden Joko Widodo agar tetap fokus dan konsisten melaksanakan APBN 2018.
"Jangan sampai seluruh program yang ada disulap menjadi alat penguatan basis-basis politik dan sarana kampanye pencitraan. Apalagi, Pak Jokowi sebagai incumbent diperkirakan akan maju sebagai calon Presiden 2019." tambahnya.
Ia menyebut pembagian sertifikat yang kerap dilakukan Jokowi, lebih merupakan bagian dari pencitraan. "Itu adalah pekerjaan teknis yang bisa dilakukan aparatur kementerian atau Pemda," ujarnya.
Menurutnya Presiden tak perlu larut dalam pekerjaan sangat teknis. Tapi yang harus dipikirkan presiden saat ini adalah potensi dikuasainya tanah rakyat oleh pemodal besar. Krusial lagi untuk dipikirkan Presiden adalah utang negara yang sudah mencapai Rp3.779.
Selain itu, presiden lebih baik berfokus pada soal ketimpangan ekonomi yang mencapai 0,39, kemiskinan yang mencapai angka 27,77 juta jiwa, rata-rata anak bersekolah yang masih di bawah 8 tahun, serta ancaman disintegrasi; bahaya bangkitnya PKI, sampai tragedi kemanusiaan Rohingya. Itu adalah tugas berat yang dipikul Presiden.
"Tahun 2018, sebaiknya Pak Jokowi konsentrasi agar pelaksanaan APBN 2018 berjalan sesuai rencana dan tetap pada rules yang ada," kata politisi dari Gerindra itu, seperti dikutip dpr.go.id.
Disebutkannya, belanja RAPBN 2018 dipatok sebesar Rp 2.109 triliun. Naik 5 persen (Rp 15,5 triliun) dari APBNP 2017. Kenaikan belanja paling besar ada di belanja pusat sebesar Rp 1.443 triliun atau naik 7 persen dari APBNP 2017.
Pada konteks ini, menurutnya ada beberapa item belanja yang perlu diwaspadai disetir untuk tujuan politik antara lain: anggaran perlindungan sosial tersebut terdiri dari subsidi di luar subsidi pajak sebesar Rp161,6 triliun, Program Keluarga Harapan (PKH) yang naik dari Rp9,98 triliun menjadi Rp 17,3 triliun di 2018.
Program lain juga mengalami kenaikan, seperti Program Indonesia Pintar dari Rp9,5 triliun menjadi Rp10,8 triliun, Anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi warga miskin dan penerima bantuan iuran (PBI) ditetapkan sebesar Rp25,5 triliun. Lalu, bantuan pangan Rp13,5 triliun dan dana desa Rp60 triliun.
Dikatakannya, patut terus dingawasi pelaksanaan APBN 2018 agar tidak melenceng dari tujuannya. Rakyat Indonesia harus tahu bahwa anggaran itu salah satunya bersumber dari utang negara yang sejak Januari 2017 sudah bertambah Rp313 triliun. "Itu semua adalah hak seluruh rakyat Indonesia sehingga wajib hukumnya untuk terus diawasi dan dimintai pertanggungjawabannya secara transparan," tambah Heri. (rm)Soal Utang Pemerintah, DPR Minta Kajian Bappenas
Kamis, 14/09/2017 08:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Utang pemerintah yang sudah menembus angka Rp3.779 triliun membuat Komisi XI DPR bereaksi hati-hati dalam membahas masalah utang yang akan diambil pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018. Anggota Komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno meminta kajian dari Badan Perencanaan Pembangunan (Bappenas) terkait utang yang akan diambil dalam RAPBN 2018.
Hendrawan mensinyalir terdapat banyak pihak yang terlibat dalam perencanaan utang ini. "Terkait pembiayaan utang ini. Kami ingin dapat kajian dari Bappenas mengenai utang ini. Kita sudah bicara dengan Menkeu. Tapi alangkah baik Bappenas juga melengkapi kajian karena utang telah jadi industri sendiri yang melibatkan banyak pihak dalam prosesnya," kata Hendrawab dalam rapat kerja dengan Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, Rabu, (13/9), seperti dikutip dpr.go.id.
Politisi PDIP ini mengaku saat ini sulit membedakan pengeluaran rutin dengan pengeluaran pembangunan seiring diberlakukannya UU Keuangan Negara yang baru. Hal ini, kata dia berbeda dengan zaman orde baru.
"Saat orba, dalam pembahasan APBN mudah mengenali pengeluaran rutin dan pembangunan. Kalau UU Keuangan Negara yang baru ini terlihat samar. Sekarang ada belanja pegawai, barang dan modal. Barang dan modal ini overlapping," terang Hendrawan.
Ia pun menemukan beberapa kementerian yang anggarannya sebesar 70 persen habis untuk pengeluaran rutin. Ini semestinya dievaluasi. "Ternyata yang rutin itu membengkak. Ada kementerian yang tugasnya penting pengeluaran rutinnya 70-80 persen. Kalau gini kan tujuan kita untuk menjangkau kesejahteraan rakyat terkendala," terang Hendrawan.
Untuk mengurangi jumlah utang sebetulnya mampu dilakukan pemangkasan terhadap biaya rutin sehingga tidak menganggu beban anggaran di masa mendatang. Sebagaimana diketahui, dalam RAPBN 2018, jumlah belanja pemerintah akan mencapai Rp2.204 triliun. Adapun jumlah penerimaan diproyeksikan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan belanja itu. Akibatnya, defisit anggaran ditaksir mencapai 1,9-2,3 persen atau Rp235 triliun-Rp285 triliun dari PDB Nasional yang mencapai Rp12.406 triliun. (mag)Pembiayaan Pembangunan dari Utang Harus Berdampak Luas
Jum'at, 18/08/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan, pembiayaan pembangunan yang diambil dari utang pemerintah sebaiknya harus memiliki dampak yang luas (multiplayer effect) bagi masyarakat. "Dengan begitu, ke depan utang tersebut bisa dibayar secara maksimal," kata Heri seperti dikutip dpr.go.id, Kamis (17/8).
Seperti diketahui, saat ini utang pemerintah sudah mencapai Rp3.779,98 triliun. Sejumlah 80 persen dari utang tersebut berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman sebesar Rp734,98 triliun (19,4%). Pemerintah sendiri mengklaim tambahan utang ini untuk kenaikan belanja produktif di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, transfer daerah, dan dana desa.
Heri mengatakan bila program pemerintah di bidang infrastruktur tidak bisa lagi dibiayai dari pendapatan, maka pemerintah biasanya berupaya membiayainya dengan utang. "Ini demi keberlangsungan program yang diusung pemerintah sendiri," tambahnya.
Heri mengingatkan, sebaiknya pemerintah memberi perhatian terhadap angka kemiskinan yang sudah mencapai 60 persen di pedesaan. Dan 50 persen orang miskin di desa bekerja di sektor pertanian."Ini butuh anggaran untuk memberdayakannya. Bila ada anggaran pembiayaan dari utang, sebaiknya dimanfaatkan untuk pemberdayaan masyarakat miskin yang bekerja di sektor pertanian tersebut," tambahnya.
Heri memaparkan, penduduk di desa relatif banyak yang miskin. "Lebih baik kemiskinan ini diperbaiki dulu. Sementara pembangunan infrastruktur bila tak bisa digunakan secara luas, berarti hanya diperuntukkan bagi segelintir orang saja. Sebaiknya perbaiki angka kemiskinan, agar infrastrukturnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas," kata politisi Partai Gerindra ini. (mag)Serapan Anggaran Rendah, Mendagri Sudah Ingatkan Kepala Daerah
Senin, 14/08/2017 08:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo mengancam akan memberikan sanksi kepada daerah dengan serapan anggaran rendah. Menanggapi hal ini, Mendagri Tjahjo Kumolo menyebut pihaknya secara berkala telah mengingatkan setiap kepala daerah.
"Kemendagri secara periodik selalu membuat surat edaran kepada pemda/provinsi/kabupaten/ kota mengingatkan soal penyerapan anggaran," kata Tjahjo kepada wartawan, Minggu (13/8).
Tjahjo kemudian menyebut ada beberapa hal yang menyebabkan rendahnya penyerapan APBD. Salah satunya, proses lelang yang kerap menjadi alasan pemerintah daerah.
"Realisasi penyerapan anggaran pemerintahan provinsi/kabupaten/kota yang belum optimal disebabkan berbagai hal, tidak selalu karena penyerapan anggarannya lambat, karena arahan Bapak Presiden sudah mengingatkan bahwa mulai Januari (awal tahun) harus dimulai lelang proyek. Sehingga tidak menumpuk diakhir tahun, agar pertumbuhan ekonomi daerah bergerak," urainya.
Dia kemudian mencontohkan ada pemerintah daerah (pemda) yang berdalih jika uang proyek itu belum diambil pihak ketiga. Sehingga terkesan dana proyek itu menumpuk di bank.
"Ada pemda yang berdalih penyerapan sudah optimal tapi pihak ke-3 belum mengambil uangnya, sehingga kesannya uang tersimpan di Bank. Padahal sudah menjadi milik pihak ke-3 tapi belum diambil dan pihak-3 sudah kerja di lapangan," urainya.
Meski begitu Tjaho mengakui arahan Jokowi wajib dijalankan demi menggerakkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Pihaknya bersama Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bappenas telah mengantongi data daerah yang belum optimal menggunakan APBD-nya.
"Tapi apapun peringatan dari Bapak Presiden harus menjadi perhatian kepala daerah dan pihak Kemendagri dan Kemenkeu serta Bappenas pegang data masing-masing daerah yang menyimpan uangnya di berbagai Bank khususnya bank Daerah," ucap Tjahjo.
Tjahjo menegaskan APBD yang telah diterima pemda setempat harus diserap secara optimal. Sehingga diharapkan bisa membantu perputatan perekonomian masyarakat. "Penyerapan anggaran harus optimal agar bergerak pertumbuhan ekonomi rakyat di daerah," katanya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengancam akan memberikan sanksi kepada kepala daerah yang serapan anggarannya rendah. "(Sanksi) itu yang akan disiapkan. Karena sampai hari ini saya lihat kemarin di rekening masih ada Rp 220 triliun yang berada di rekening-rekening, baik di BPD (Bank Pembangunan Daerah) maupun di bank-bank lain," kata Jokowi usai kegiatan penyerahan Kartu Indonesia Pintar (KIP) di SMPN 7 Jember, Minggu (13/8)
Alasan pemberian sanksi menurut Jokowi, karena dengan tidak terserapnya APBD, maka akan mengganggu sistem perekonomian di suatu daerah. Sebab anggaran tersebut sangat dibutuhkan masyarakat dalam rangka realisasi pembangunan di daerah. "Uang ini ditunggu rakyat, ditunggu realisasinya. Kalau uang itu bisa beredar di pasar, bisa beredar di daerah, itu akan sangat membantu sekali pertumbuhan ekonomi," kata Jokowi.
Oleh karena itu, Jokowi menegaskan perlu adanya sanksi bagi kepala daerah yang serapan APBD-nya masih di bawah rata–rata. Namun dia enggan menjelaskan sanksi seperti apa yang nantinya akan diberikan. "Ada sanksi. Nanti akan kita siapkan," ujarnya singkat. (dtc/mag)
Ada Sanksi bagi Daerah Penyerapan Anggaran Rendah
Minggu, 13/08/2017 20:24 WIBSerapan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di sejumlah kabupaten/kota masih rendah hingga membuat Presiden Joko Widodo(Jokowi) geram. Dampaknya pertumbuhan ekonomi melambat hingga Jokowi menyiapkan sanksi bagi kepala daerah yang masih minim serapan belanja APBD-nya.
"Sampai hari ini saya lihat kemarin di rekening masih ada Rp 220 triliun yang berada di rekening-rekening, baik di BPD (Bank Pembangunan Daerah) maupun di bank-bank lain," kata Jokowi usai kegiatan penyerahan Kartu Indonesia Pintar (KIP) di SMPN 7 Jember, Minggu (13/8).
Menurut Jokowi, dengan tidak terserapnya APBD, maka akan mengganggu sistem perekonomian di suatu daerah. Sebab anggaran tersebut sangat dibutuhkan masyarakat dalam rangka realisasi pembangunan di daerah.
"Uang ini ditunggu rakyat, ditunggu realisasinya. Kalau uang itu bisa beredar di pasar, bisa beredar di daerah, itu akan sangat membantu sekali pertumbuhan ekonomi," kata Jokowi.
Oleh karena itu, Jokowi menegaskan perlu adanya sanksi bagi kepala daerah yang serapan APBD-nya masih di bawah rata–rata. Namun dia enggan menjelaskan sanksi seperti apa yang nantinya akan diberikan.
Salah satu daerah yang memiliki serapan anggaran terendah adalah Kabupaten Jember. Pada semester pertama APBD Jember 2017, anggaran yang terserap hanya Rp 939,417 miliar dari anggaran belanja Rp 3,603 triliun.
Ini berarti serapan anggaran hingga akhir Juni 2017, baru mencapai 26 persen. Bahkan ada dua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang serapan anggarannya nol persen.
Dua OPD itu yakni Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP). APBD Jember 2017 menganggarkan Rp 21,04 miliar untuk Diskominfo dan Rp 4,746 miliar untuk DPM-PTSP.
Bupati Jember dr Faida berjanji akan mengevaluasi rendahnya serapan APBD tersebjut, khususnya di dua organisasi perangkat daerah yang memiliki serapan belanja nol persen. Namun dia tetap optimistis bahwa pada akhir tahun anggaran nanti, serapan bisa maksimal dan memenuhi target.
"Serapan tetap berjalan. Saya optimistis serapan kami akan memenuhi target pada akhirnya," kata Faida, di sela-sela acara peresmian pendaratan Maskapai Wings Air di Bandara Notohadinegoro, Jember, Selasa (1/8). (dtc/mfb)Gulirkan Ekonomi, Jokowi Minta Anggaran di Rekening Pemda Dicairkan
Minggu, 13/08/2017 16:27 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo memerintahkan pemerintah daerah untuk segera mencairkan anggaran dari dana transfer daerah di rekening pemerintah daerah. Sebab hingga saat ini masih ada Rp220 triliun dana yang tertahan di rekening bank daerah.
"Itu yang akan disiapkan. Karena sampai hari ini saya lihat kemarin di rekening masih ada 220 triliun rupiah yang berada di rekening-rekening BPD maupun di bank-bank lain. Uang ini ditunggu oleh rakyat, ditunggu realisasinya," kata Jokowi kepada wartawan di SMPN, Jember, Jawa Timur, Minggu (13/8).
Menurut Jokowi, jika uang tersebut telah dicairkan, maka perputaran ekonomi di tengah-tengah masyarakat akan cepat dan bisa menunjang pertumbuhan ekonomi.
"Kalau uang itu bisa beredar di pasar, bisa beredar di daerah, itu akan sangat membantu terhadapa pertumbuhan ekonomi," ungkap Jokowi. (dtc/rm)DPR Sahkan APBNP 2017
Jum'at, 28/07/2017 07:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan RUU Perubahan atas UU No 18 Tahun 2016 tentang APBN 2017 (APBN-P 2017), dalam rapat paripurna DPR, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (27/7). "Apakah laporan Banggar DPR tentang RUU Perubahan atas UU No 18 Tahun 2016 tentang APBN 2017 dapat disetujui?" tanya Wakil Ketua DPR Agus Hermanto yang memimpin rapat tersebut, seperti dikutip dpr.go.id.
"Setujuu!" jawab seluruh hadirin paripurna. Sehari sebelumnya, Rabu (26/7) Rapat Badan Anggaran dapat menyetujui APBN-P 2017 untuk kemudian dibawa ke tingkat Rapat Paripurna pada hari ini untuk disahkan.
Dalam APBN-P 2017, pemerintah dan DPR sepakat menetapkan asumsi makro, yaitu pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen, inflasi sebesar 4,3 persen, suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) tiga bulan sebesar 5,2 persen, dan nilai tukar (kurs) rupiah sebesar Rp13.400 per dolar Amerika Serikat (AS).
Terkait harga minyak mentah Indonesia, ditetapkan sebesar US$48 per barel, lifting minyak bumi sebesar 815 ribu barel per hari (bph), dan lifting gas sebesar 1,15 juta barel setara minyak per hari.
Hal lain mengenai penerimaan negara disepakati sebesar Rp1.732,95 triliun dari sebelumnya Rp1.750,3 triliun di APBN 2017. Lalu, terkait belanja negara dalam APBN-P diproyeksikan sebesar Rp2.133,29 triliun dari sebelumnya Rp2.080,5 triliun di APBN 2017.
Dalam laporan yang dibacakan, Ketua Banggar Azis Syamsuddin mengucapkan terima kasih atas pandangan fraksi-fraksi dalam pembahasan APBN-P 2017 ini. "Pendapat mini fraksi, pendapat pemerintah dan draft akhir RUU APBN-P 2017 menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam laporan ini," tegas Azis. (mag)Berulangkali Meleset, DPR Nilai Penetapan Asumsi APBN Ada yang Keliru
Senin, 24/07/2017 16:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menilai ada yang keliru dalam penetapan asumsi dan target pajak 2017. Ia pun menilai penerimaan pajak pada APBN 2017 akan sulit terealisasi. Menurutnya hal itu juga dibuktikan dengan rencana Menkeu merevisi asumsi penerimaan pajak dari 16 persen menjadi 13 persen.
"Dalam APBN 2017, target penerimaan pajak dipatok sebesar Rp1.498,9 triliun atau naik 16,7 persen dibanding realisasi penerimaan pajak tahun 2016 sebesar Rp1.284,9 triliun. Target tersebut sebetulnya kurang realistis sehingga akhirnya harus direvisi," ujar Heri Gunawan melalui rilisnya, Senin (24/7).
Politisi Gerindra ini menyebut dengan adanya kondisi tersebut menyebut, hanya ada dua kemungkinan tidak terealisirnya target pajak, kesalahan kebijakan atau kinerja petugas pajak di lapangan yang tidak optimal. Apalagi ia melihat melesetnya target pajak ini terjadi hampir setiap tahun. Walau kebijakan sudah disempurnakan, tetap saja target meleset. "Kinerja Direktorat Jenderal Pajak juga mesti dibenahi," ujarnya seperti dikutip dpr.go.id.
Menurutnya melencengnya realisasi penerimaan pajak dari target menandakan ada kontra antara rancangan kebijakan dengan kinerja penerimaan pajak yang ada di APBN. Tidak aneh bila kemudian asumsi-asumsi yang ada, sering sekali direvisi, yang akhirnya mengganggu kredibilitas APBN. "Dirjen Pajak, harus mampu mengambil pelajaran pada setiap kali realisasi penerimaan pajak," tandasnya.
Ia memaparkan bahwa, bahwa PPh non-migas cenderung menurun. Sebagai misal realisasi tahun 2016 hanya sebesar Rp630,1 triliun atau 76,9 persen dari target APBN-P 2016 sebesar Rp819,5 triliun. Realisasi penerimaan sumber daya alam juga hanya Rp64,9 triliun atau hanya 72,6 persen dari APBN-P 2016 sebesar Rp90,5 triliun.
"Penyebab tidak tercapainya target tersebut dapat dilacak pada penerimaan migas yang hanya Rp44,9 triliun atau hanya 65,3 persen dari APBN-P 2016," papar Heri.
Disisi lain, Heri mengungkapkan bahwa temuan BPK tentang potensi penerimaan negara dari sektor pajak yang belum dioptimalkan mencapai sebesar Rp1,69 triliun. Potensi itu berupa pajak yang belum tertagih dan denda keterlambatan. "Ini harusnya sudah bisa diantisipasi oleh Dirjen teknis seperti Dirjen Pajak, ketika menyusun rencana dan target pada tahun-tahun selanjutnya," katanya.
Menurutnya, pemerintah tidak bisa menunggu pulihnya kinerja ekspor-impor nasional untuk mendorong kinerja penerimaan PPh Non-Migas serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sebab, kinerja ekspor-impor nasional belum bisa diandalkan untuk menjadi tumpuan karena belum pulihnya perekonomian global. (rm)Lampu Kuning Pengelolaan Anggaran Pemerintah
Kamis, 13/07/2017 14:00 WIBDirektur Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, kebijakan yang diambil pemerintah dalam mengelola anggaran pada RAPBN-P 2017 bukanlah tanpa konsekuensi.
Kebijakan "Ketat Pinggang" Pemerintah Jokowi
Kamis, 06/07/2017 14:00 WIBPemerintah akan benar-benar merealisasikan langkah pengetatan anggaran dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2017.
Hampir Separuh Anggota DPR Tak Hadiri Sidang Paripurna RAPBN 2018
Selasa, 06/06/2017 15:01 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang Paripurna DPR tentang Rancangan APBN tahun 2018 tak dihadiri hampir separuh anggota DPR. Sidang paripurna yang mengagendakan penyampaian tanggapan pemerintah terhadap pandangan fraksi atas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal RAPBN 2018 itu hanya dihadiri 185 anggota dari dari total 559 jumlah anggota DPR.
Padahal anggota DPR yang mengisi daftar hadir ada 305 anggota, namun hanya 185 orang yang berada ditempat, sebanyak 254 anggota menyatakan izin.
Berikut jumlah anggota DPR yang hadir di sidang paripurna berdasarkan masing-masing Fraksi PDIP 5 anggota, Fraksi Partai Golkar 40 anggota, Fraksi Partai Gerindra 35 anggota, Fraksi Demokrat 25 anggota,Fraksi PAN 15 anggota, Fraksi PKB 15 anggota, Fraksi PKS 16 anggota, Fraksi PPP 10 anggota, Fraksi NasDem 17 anggota dan Fraksi Hanura dengan 7 anggota.
Sidang paripurna yang dipimpin Wakil ketua DPR Taufik Kurniawan. Serta didampingi empat pimpinan lainnya yakni, Ketua DPR Setya Novanto, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, Fadli Zon, dan Agus Hermanto sejatinya akan mendengarkan penyampaian pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tentang tanggapan atas pandangan fraksi sebelumnya.
"Agenda rapat mendengarkan tanggapan pemerintah terhadap pandangan fraksi atas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal RAPBN tahun 2018," ujar Taufik membuka sidang.
Dalam paparannya di Ruang Sidang Paripurna, Gedung Nusantara II DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (6/6). Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa pemerintah, menghargai pandangan seluruh fraksi mengenai asumsi pertumbuhan ekonomi yang harus didorong lebih tinggi untuk menggerakkan sektor riil, menyerap tenaga kerja, serta meningkatkan kemakmuran rakyat, sehingga mempercepat pengurangan kemiskinan dan kesenjangan.
Menurutnya pertumbuhan ekonomi 2018 diproyeksikan sebesar 5,4% sampai 6,1%. Hal ini mencerminkan kombinasi optimisme dan kehati-hatian karena masih ada ketidakpastian global.
Strategi pemerintah melalui penguatan seluruh sumber pertumbuhan yaitu konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor, serta belanja pemerintah yang lebih produktif dan efisien.
"Konsumsi rumah tangga dijaga untuk tumbuh 5,4%, melalui peningkatan kesempatan kerja, menjaga inflasi yang rendah dan dukungan belanja sosial," ujar Sri Mulyani.
Selain itu investasi juga diproyeksikan tumbuh 8,0% dengan keberlanjutan belanja infrastruktur pemerintah dan peningkatan partisipasi BUMN dan swasta dalam pembangunan infrastruktur. Pemerintah juga terus mengoptimalkan sumber-sumber pembiayaan investasi di luar APBN, dan memperbaiki iklim investasi dengan penyederhanaan regulasi.
Adapun peningkatan peringkat rating Indonesia menjadi investment grade oleh S&P diharapkan memperbaiki kepercayaan swasta dan meningkatkan aliran modal masuk ke Indonesia.
"Dengan peningkatan investasi maka kapasitas produksi meningkat dan lapangan kerja baru dapat diciptakan," katanya.
Sementara terkait asumsi nilai tukar rupiah pemerintah patok di kisaran Rp13.500 hingga Rp13.800/US$. Pemerintah, menurutnya, pada kerangka ekonomi 2018 sependapat dengan pandangan fraksi PDIP, Partai Gerindra, PKS, Partai Demokrat, PAN dan PKB, bahwa nilai tukar perlu dilakukan dengan hati-hati dan sesuai nilai fundamentalnya.
"Perlunya menjaga nilai tukar rupiah agar sesuai fundamental yang menopangnya, namun tetap mendukung ekspor, memperbaiki transaksi berjalan, dan menarik aliran modal asing," beber Sri Mulyani saat penyampaian tersebut di Ruang Paripurna Gedung Nusantara II, DPR, Jakarta, Selasa (6/6).
Namun upaya ini, dipengaruhi oleh kondisi eksternal, domestik, serta kebijakan yang ditempuh pemerintah bersama dengan otoritas lainnya. Untuk itu pemerintah bersama otoritas moneter berkoordinasi melalui bauran kebijakan dalam menjaga kondisi perekonomian domestik dan memitigasi risiko-risiko eksternal.
Sementara di sektor riil, kinerja transaksi berjalan diharapkan membaik seiring dengan perbaikan ekonomi dunia yang terus berlanjut di 2018. Adapun, dalam menetapkan asumsi nilai tukar di 2018 juga akan melihat beberapa faktor risiko seperti dampak kebijakan proteksionisme AS terhadap Indonesia melalui Tiongkok sebagai mitra dagang utama.
Pemerintah juga memperkuat kerja sama internasional untuk menjaga kepercayaan terhadap rupiah dengan membangun jaring pengaman dengan mitra dagang utama, baik bilateral, regional, dan global. "Di antaranya melalui fasilitas Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA), Bilateral Swap Arrangement (BSA), dan Chiang Mai Initiative Multi/atera/ization (CMIM)," paparnya. (dtc/rm)Harga Minyak Naik Pemerintah Ajukan APBN Perubahan
Selasa, 30/05/2017 21:56 WIBPemerintah akan segera mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) Tahun Anggaran 2017. Pengajuan perubahan ini menyusul adanya perubahan target penerimaan APBN 2017 karena dampak naiknya harga minyak sepanjang tahun ini.
"Perubahan yang cukup besar yang mengubah dari sisi pendapatan negara dari sisi harga minyak yang rata-ratanya sampai saat ini sudah mencapai 50 dollar per barel. Sementara asumsi di APBN sebesar 45 dollar per barel," ungkap Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, usai Rapat Terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (30/5) sore, seperti dikutip setkab.go.id.
Perubahan, kata Sri Mulyani, juga didasari evaluasi sesudah tax amnesty dan proyeksi dari penerimaan perpajakan yang diperkirakan akan menghadapi tekanan.
"Tidak setinggi seperti yang dibayangkan pada saat menyusun APBN, dimana pertumbuhan pajaknya berdasarkan APBN 2017, dan dengan penerimaan tahun 2016, itu asumsinya ada pertumbuhan 16 persen. Kita memperkirakan mungkin akan hanya sekitar 13 persen," jelas Sri.
Menurutnya akan ada penurunan lebih sedikit, maka secara total APBN 2017 ini akan ada kenaikan penerimaan dari tambahan harga minyak, namun ada sedikit penurunan dari penerimaan pajak.
"Secara total mungkin ada net sekitar 15 triliun," ujar Menkeu.
Namun Menkeu meperkirakan, pertumbuhan ekonomi mungkin akan membaik meskipun diingatkan untuk hati-hati melihat pada kuartal kedua dan ketiga. Outlook-nya bisa mencapai 5,3 meskipun kita tetap antara 5,1 sampai 5,3, dengan kuartal pertama sekitar 5,01.
"Untuk bisa mencapai 5,3 kita harus tumbuh lebih tinggi pada kuartal dua, tiga, dan empat, yaitu sekitar 5,4%. Ini sesuatu tantangan yang tidak mudah," ujar Sri Mulyani.
Menghadapi kondisi itu, menurut Menkeu, Presiden Joko Widodo juga telah menyampaikan bahwa Kementerian/Lembaga (K/L) harus menyisir kembali belanja-belanja yang sifatnya belanja barang, seperti untuk perjalanan dinas dan yang lain-lain.
Diperkirakan Menkeu ada sekitar Rp16 triliun yang bisa disisir dari belanja barang tersebut. Hal ini terkait penurunan pertumbuhan penerimaan negara dari pajak sebesar Rp15 triliun.
APBNP yang tengah disusun itu rencananya menurut Menkeu akan disampaikan kepada dewan pada awal Juni mendatang. (rm)