JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memutuskan hubungan kerja sama kehutanan dengan WWF Indonesia, terhitung sejak 5 Oktober 2019. Paling lambat Desember 2019, kegiatan fisik dan administrasi yang masih tersisa di lapangan sudah harus berhenti total.

Gresnews.com mendapatkan salinan surat pemutusan kerja sama Nomor S.1221/Menlhk-Setjen/Rokln/Kln.0/10/2019 tertanggal 4 Oktober 2019, yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono. Dalam surat itu disebutkan bahwa keputusan itu diambil setelah melakukan evaluasi awal UPT (Unit Pelaksana Teknis) dan tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. "MoU (Memorandum of Understanding) 1998 sudah tidak relevan lagi dengan kondisi yang ada saat ini," begitu petikan dalam surat yang didapat Gresnews.com, Sabtu (2/11).

Disebutkan juga pada poin nomor 2 bahwa tidak adanya tanggapan atas surat dari KLHK sebelumnya kepada WWF, sehingga KLHK mengambil keputusan ini. Poin 3 menyebutkan kegiatan fisik maupun administrasi harus diselesaikan paling lambat Desember 2019.

Surat itu ditembuskan kepada Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan HAM.



Manajer Hubungan Masyarakat dan Relasi Media Yayasan WWF Indonesia Ency Mataniari membenarkan telah terjadi pengakhiran kerja sama tersebut terhadap MoU WWF dan KLHK untuk perjanjian kerja sama selama 25 tahun. "Setuju dengan KLHK bahwa perjanjian kerja sama tersebut membutuhkan penyegaran dan penyesuaian," kata Ency kepada Gresnews.com, Kamis (31/10).

WWF, lanjut Ency, masih menunggu hasil evaluasi dari KLHK, sehingga sangat bijak jika mempelajari lebih dulu dengan saksama hasil evaluasi dari KLHK. Evaluasi dari KLHK sangat WWF perhitungkan untuk menyusun langkah-langkah ke depannya. "Tentu kami menunggu arahan KLHK dan setelahnya baru memberikan konsep kerja sama," ujarnya.

WWF Indonesia yang merupakan bagian independen dari jaringan organisasi konservasi WWF internasional itu tidak boleh lagi melakukan kegiatan konservasi keanekaragaman hayati di kawasan hutan seluruh Indonesia. Padahal, lembaga beraset Rp147 miliar dengan pemasukan Rp341 miliar pada 2018 itu memiliki 34 kantor lapangan di 17 provinsi dengan 477 karyawan, plus 100.000 lebih pendukung.

Memang, tidak disebutkan secara rinci dalam surat tersebut mengenai evaluasi yang dimaksud, apakah itu terkait dengan terbakarnya kawasan konsesi yang dikelola oleh PT Alam Bukit Tigapuluh (PT ABT) di Jambi. Luas lahan yang terbakar adalah 20 hektare. Perusahaan itu beroperasi berdasarkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem Dalam Hutan Alam (IUPHHK-Restorasi Ekosistem). Perusahaan itu adalah satu-satunya pemegang IUPHHK-RE yang terbakar. Yayasan WWF Indonesia menjadi pemegang saham terbesar di PT Panda Lestari yakni sebanyak 4.598 lembar senilai Rp4.598.000.000. PT Panda Lestari adalah pemegang saham mayoritas (pengendali) PT ABT. (BACA: Diselidiki dalam Kasus Karhutla, PT ABT Akui Mayoritas Saham Dikuasai WWF Indonesia)

Selain itu, PT ABT ternyata juga tengah menghadapi permasalahan konflik sosial dengan masyarakat. Sebuah Laporan Polisi telah dimasukkan pada Minggu, 8 September 2019, berkaitan dengan dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak PT ABT terhadap masyarakat. (BACA: Perusahaan Milik WWF Indonesia Berkonflik dengan Masyarakat Jambi). 

Berkaitan dengan kerja sama antara WWF Indonesia dan pemerintah daerah, Gresnews.com mencatat, Yayasan WWF Indonesia mendapatkan dana Rp2,1 miliar dari Margaret A. Cargill Foundation yang dikonfirmasi oleh pihak Yayasan WWF Indonesia digunakan untuk mengadakan program di Papua dan Papua Barat. (BACA: WWF Indonesia Jelaskan Dana dari Cargill Foundation untuk Program di Papua dan Papua Barat).  (G-2)








BACA JUGA:
.