Ilustrasi hukum (DOK. GRESNEWS.COM)

RACHMAT WAHYUDI HIDAYAT
Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kesra Badan Keahlian DPR RI 

Pada masa pemerintahan periode pertama, Presiden Joko Widodo mencanangkan gerakan revolusi mental untuk mengubah pola pikir (mindset) manusia Indonesia agar menjadi individu yang berintegritas, bekerja keras, dan memiliki semangat gotong-royong yang akan membentuk identitas, karakter, dan orisinalitas bangsa. Pada masa pemerintahan periode kedua ini, gerakan revolusi mental berelaborasi menjadi revolusi dan reformasi hukum, khususnya terhadap produk legislasi yang saat ini berlaku. Dalam revolusi dan reformasi hukum, Presiden menginginkan adanya penataan dan penyederhaanaan dalam peraturan perundang-undangan melalui omnibus law. 

Kata omnibus sendiri bukan istilah yang dipergunakan secara khusus dalam dunia hukum. Secara harfiah kata omnibus berasal dari Bahasa Latin yang artinya semua atau banyak. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), omnibus merupakan kata benda di bidang sastra atau penulisan yang berarti kompilasi beberapa karya (film, buku, dan sebagainya), biasanya ditulis atau dibuat oleh orang yang sama, melibatkan karakter yang sama atau memiliki tema yang sama, yang sebelumnya pernah diluncurkan secara terpisah. 

Dikutip dari beberapa sumber, dalam dunia kesastraan atau penulisan, omnibus adalah sebuah kumpulan karya dari satu orang penulis yang sebelumnya pernah diterbitkan secara terpisah. Karya yang diterbitkan dalam bentuk omnibus bisa berupa fiksi maupun nonfiksi. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan kembali karya tersebut kepada generasi yang baru sehingga mengangkat kembali penjualan karya tersebut jika hendak diterbitkan secara terpisah.



Dalam konteks hukum dan perundang-undangan, lazimnya istilah omnibus sering kali disandingkan dengan law. Istilah law sendiri berasal dari Bahasa Inggris yang artinya hukum. Namun Black’s Law Dictionary justru menyandingkan omnibus dengan bill sehingga memiliki arti a single bill cointaing various distinct matters, usu. drafted in this way to force the executive either to accept all the unrelated minor provisions or to veto the major provision (Black’s Law Dictionary, Eight Edition).

Dalam konteks perundang-undangan, omnibus law menurut pandangan penulis dapat berarti penyederhanaan, penyatuan (unifikasi), atau kodifikasi beberapa peraturan perundang-undangan yang berada pada tingkatan yang sama atau berbeda namun tetap memiliki substansi/materi muatan yang terkait, dengan cara merevisi beberapa ketentuan atau mencabut secara keseluruhan peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Dari pengertian tersebut dapat ditarik syarat atau ciri omnibus law, yakni pertama, pembentukannya didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sudah ada/masih berlaku; kedua, peraturan perundang-undangan tersebut memiliki substansi/materi muatan terkait; dan ketiga peraturan perundang-undangan tersebut tidak sinkron dan disharmoni (hyper regulated). 

Dengan menarik benang merah dari dunia kesastraan/penulisan, pembentukan omnibus law memiliki latar belakang yang hampir sama yakni menata kembali peraturan perundang-undangan yang memiliki materi muatan/substansi yang sama dan yang diberlakukan secara terpisah oleh pembentuk undang-undang (DPR selaku legislatif dan Pemerintah selaku eksekutif) dalam satu kesatuan yang utuh (unifikasi). Hanya saja dalam omnibus law tidak secara langsung mengambil "nilai" atau "manfaat" ekonomi karena tujuannya agar tercipta sinkronisasi dan harmonisasi antarperaturan perundang-undangan (tidak tumpang tindih antara peraturan perundang-undangan yang satu dan lainnya). Namun sebaliknya karena sifatnya yang luas dan umum, dalam penyusunannya, omnibus law juga harus dilakukan secara cermat dan sangat berhati-hati, sebab jika tidak dilakukan secara akurat, dikhawatirkan ada materi muatan yang tidak diatur atau belum cukup diatur sehingga menyebabkan terjadinya kekosongan hukum (rechtsvacuum).

Pada dasarnya omnibus law bukanlah istilah baru di Indonesia. Namun dulu lebih dikenal dengan istilah umbrella act (UU Payung), yaitu suatu peraturan perundang-undangan yang berisi pokok-pokok ketentuan dan landasan yang akan menjadi payung hukum atau acuan atas suatu ketentuan peraturan perundang-undangan lain (UU Sektoral) yang memiliki materi muatan/substansi terkait. Beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi umbrella act antara lain UU Pokok Kepegawaian (sekarang menjadi UU ASN), UU Pokok Agraria, UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup/UUPPLH, UU Perlindungan Konsumen, UU Pemerintahan Daerah, dan UU Ketenagakerjaan. Hanya saja seiring dengan berjalannya waktu, umbrella act cenderung tidak dipergunakan kembali oleh pembentuk UU, terutama DPR, dalam menyusun suatu RUU karena sifat pengaturannya yang terlalu luas/umum sehingga memerlukan banyak delegasi ke dalam peraturan teknis. Pendelegasian ini semakin dihindari karena banyak peraturan teknis (setingkat Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, atau bahkan Peraturan Menteri) yang tidak dibuat atau justru bertentangan dengan UU-nya. Peraturan teknis inilah yang menjadi sumber permasalahan kenapa kemudian peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang memuat substansi/materi muatan yang sifatnya teknis (sektoral) yang seharusnya diatur dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya, sedangkan materi muatan untuk setiap tingkatan peraturan perundang-undangan telah secara tegas batasannya diatur dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 14 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Kembali ke omnibus law, penulis khawatir telah terjadi “latah” atau sesat pikir terhadap omnibus law, yang apabila tidak segera dipahami, akan menimbulkan distorsi hukum dalam konteks perundang-undangan. Omnibus law seolah-olah menjadi suatu target legislasi. Padahal tidak semua peraturan perundang-undangan harus dan bisa di-omnibus law karena sangat bergantung pada substansinya serta sasaran, jangkauan dan arah pengaturannya. Selama hukum negara kita masih menganut asas lex specialist derogat lex generalis, selama itu pula UU sektor masih dapat diberlakukan. Sebagai contoh UU sektor yang masih dapat berlaku antara lain UU Guru dan Dosen, UU Tindak Pidana Korupsi, dan UU Perbankan.

Sependek pengetahuan penulis, revolusi dan reformasi hukum Presiden Joko Widodo dalam melaksanakan omnibus law terutama hanya terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait EODB (ease of doing business). Artinya omnibus law hanya dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang dinilai menghambat investasi atau kemudahan berusaha, terutama aturan yang menyangkut mekanisme birokrasi dan kemudahan pemberian perizinan. Faktanya selama ini masih banyak peraturan perundang-undangan terkait bidang ekonomi dan investasi dalam setiap tingkatannya dinilai tidak sinkron dan disharmoni satu sama lain sehingga menghambat pertumbuhan investasi dan kemudahan berusaha. Ending-nya, bila kondisi ini dibiarkan secara terus-menerus maka pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stagnan dan Indonesia akan selalu terjebak sebagai negara berpenghasilan menengah (middle income trap). 

Sejalan dengan kebijakan omnibus law, sebagai langkah konkrit, Presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha. Kebijakan omnibus law dan Peraturan Presiden ini dikeluarkan tidak lain merupakan way out untuk pertumbuhan ekonomi, meningkatkan persaingan dan mendorong laju investasi, serta menaikkan peringkat EODB Indonesia.

Omnibus law sebenarnya bukan satu-satunya langkah untuk menyederhanakan hukum. Seperti yang diuraikan sebelumnya, kalau tujuan omnibus law adalah sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan maka secara kelembagaan telah ada lembaga yang bertugas melaksanakan pemantapan/pembulatan konsep, harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan, yakni Badan Legislasi DPR dan Direktorat Harmonisasi Kementerian Hukum dan HAM, bahkan Kementerian Dalam Negeri dalam kondisi tertentu memiliki wewenang untuk melakukan executive review terhadap peraturan daerah yang dinilai berpotensi tumpang tindih atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain baik secara horizontal maupun vertikal. Namun langkah tersebut ternyata dinilai belum efektif. 

Perlu diapresiasi langkah Presiden yang membentuk Pusat Legislasi Nasional (Puslegnas)/Badan Regulasi Nasional. Lembaga ini yang bertugas dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden mengenai penataan regulasi. Hopefully, lembaga ini nantinya memiliki kewenangan yang cukup powerful untuk mensinkronisasi dan mengharmonisasi serta melakukan kajian/review peraturan perundang-undangan dalam setiap tingkatan dan hasil kajiannya dijadikan sebagai dasar untuk mencabut atau merevisi ketentuan dari peraturan perundang-undangan yang berpotensi saling tumpang-tindih (overlapping).

Kirimkan artikel dan opini Anda melalui e-mail: [email protected]








BACA JUGA:
.