Ilustrasi dan gambar (marketeers.com)

YUGOLASTAROB KOMEINI, M.Si.
Pengajar Hubungan Internasional pada sejumlah kampus di Jakarta

Kawasan Indo-Pasifik yang menjadi jalur maritim membuka ruang bagi negara dalam meningkatkan aktivitas ekonomi, sekaligus berkonsekuensi pada proses interaksi antarnegara dalam bidang kerja sama. Persoalannya, interaksi kerja sama tidak menjadi satu-satunya hubungan antarnegara di mana konflik dan kompetisi menjadi bentuk interaksi yang tidak terhindarkan. Kondisi tersebut tidak terlepas dari kepentingan masing-masing negara yang cenderung sama, sehingga, kepentingan nasional menjadi objek strategis yang perlu dicapai. Salah satu contoh kepentingan nasional adalah bidang keamanan, selain ekonomi.

Masalah keamanan tradisional terus berkembang di kawasan strategis Indo-Pasifik, terutama di Laut China Timur dan Selatan. Hingga tingkat tertentu, persaingan sumber daya juga berperan dalam meningkatnya ketegangan di kawasan itu (Kucharski, 2018: 2). Bentuk persaingan menjadi faktor yang menjelaskan perubahan kondisi dan hubungan, serta ancaman yang berkembang atau menjadi karakter lingkungan strategis setiap negara.

Interaksi antarnegara yang tersaji di kawasan tersebut, salah satunya dipengaruhi oleh keterlibatan negara-negara besar yang memiliki kepentingan dan kebijakan global. Kondisi tersebut berkonsekuensi pada dinamika lingkungan strategis, seperti dinamika wilayah maritim Indo-Pasifik yang tidak lagi didominasi oleh satu negara adidaya tetapi sedang dibentuk oleh beberapa kekuatan besar: Amerika Serikat, China dan, pada tingkat lebih rendah, India dan Jepang. Di antara keempatnya, China, khususnya, dianggap oleh banyak pihak lain sebagai kekuatan yang berpotensi membuat tidak stabil (Jakobson and Medcalf, 2015: 4). Hal itu disebabkan karena tujuan strategis China adalah untuk memastikan tidak adanya penolakan terhadap akses China ke laut dekat dan apa yang dianggapnya sebagai hak maritim kedaulatannya. China memiliki motif yang sah untuk melindungi provinsi pesisir Laut China Selatan yang kaya dan jalur laut yang menjadi sandaran seluruh negara. Sebagian besar impor energi Tiongkok dan barang-barang lainnya melewati Laut China Selatan, dan, pada tingkat yang lebih rendah, melalui Laut China Timur (Jakobson and Medcalf, 2015: 8). Tujuan kebijakan China perlu dipahami dalam konteks strategis respons dari kekuatan signifikan lainnya. Semakin lebar kesenjangan antara persepsi China dan orang lain tentang motif dan perilakunya, semakin besar risiko terhadap perdamaian dan stabilitas kawasan. (Jakobson and Medcalf, 2015: 5).

China tetap bersikukuh untuk memperluas kontrol wilayah strategis kawasan tersebut dengan menekankan pada klaim kedaulatan dan kebijakan Belt and Road Initiative (BRI) yang mengancam kepentingan negara lain. Kebijakan dan perilaku China di kawasan Indo-Pasifik telah memberikan tantangan sekaligus menjadi ancaman, terutama bagi AS, Jepang, Australia, dan India. Keempat negara tersebut memandang China sebagai ancaman nyata bagi kepentingan nasional dan stabilitas keamanan global.



Secara jelas, pemerintahan Donald Trump di Amerika Serikat (AS) telah memperluas artikulasinya mengenai wilayah Free and Open Indo-Pacific (FOIP) dengan mengumumkan investasi strategis dan kerja sama ekonomi. India dan Jepang merupakan dasar bagi realisasi visi AS di kawasan ini. Namun, untuk India dan Jepang, komitmen yang lebih dalam terhadap visi AS akan tergantung pada beberapa faktor, termasuk prospek FOIP yang menjadi strategi yang berorientasi pada keamanan untuk melawan China, yang bertentangan dengan program konektivitas regional; menghindari masalah legitimasi yang dihadapi oleh Belt and Road Initiative (BRI) China; dan memperoleh karakter yang inklusif (Palit and Sano, 2018: 1). Strategi Balasan (balancing strategy) AS adalah dengan membangun kekuatan militernya sendiri ("perimbangan internal") dan mencari sekutu serta mitra ("perimbangan eksternal") di seluruh Indo-Pasifik (Scott, 2018: 21).

Bagi negara lain, seperti India, negara tersebut telah memandang Tiongkok dengan kecurigaan dan ketidakpercayaan sejak bentrokan perbatasan ini, di mana India menderita apa yang masih dianggapnya sebagai kekalahan yang memalukan. Dalam beberapa tahun terakhir, ketegangan diplomatik dan hubungan berpusat pada permainan kekuasaan antara kedua negara yang sedang naik daun ini, persaingan mereka untuk sumber daya dan pengaruh regional dan kekhawatiran India akan apa yang dikhawatirkan adalah upaya militer, ekonomi dan diplomatik Tiongkok untuk menahannya. (McDaniel, 2012: 6-7).

India, tidak sendirian, Jepang adalah kekuatan regional utama selain India, yang kecemasan strategisnya menjadi lebih akut seiring dengan kebangkitan China. Hal itu juga diperkuat dengan perspektif strategis dan respons Amerika Serikat terhadap kebangkitan China sebagai kekuatan maritim (Jakobson and Medcalf, 2015: 5).

Untuk India dan Jepang, penting untuk mempertimbangkan apakah partisipasi dalam FOIP akan mengarah pada reorganisasi strategis kawasan yang merupakan hubungan keamanan yang lebih kuat di antara negara-negara yang memiliki kecenderungan serupa yang bertujuan untuk mengendalikan negara lain, termasuk China. (Palit and Sano, 2018: 2).

Dengan adanya perkembangan ancaman di kawasan Indo-Pasifik bagi keempat negara yang tergabung dalam The QUAD, yaitu AS, Jepang, India, dan Australia, menjelaskan masing-masing negara memandang China sebagai lawan. Kondisi tersebut yang mendorong AS, untuk melibatkan Jepang, Australia, dan India. Ketiga negara tersebut memiliki nilai strategis untuk dijadikan mitra aliansi: (1) Jepang, India, dan Australia merupakan negara-negara yang juga memiliki kepentingan dalam memperjuangkan kebebasan navigasi; (2) ketiga negara tersebut memiliki keunggulan strategis dalam kekuatan, baik, politik, ekonomi, dan militer, terutama Jepang dan India; (3) ketiga negara memiliki keunggulan strategis di mana posisi geografis ketiganya sangat dekat dan memiliki interaksi langsung dengan China. India di wilayah samudera Hindia, Jepang sebagai negara tetangga China, dan Australia, di sebelah selatan China atau berada di wilayah konflik Laut China Selatan, sebagai wilayah klaim China.

Ide Quad adalah untuk para pemimpin dari empat negara untuk mempromosikan perdagangan bebas dan kerja sama pertahanan melintasi bentangan samudera dari SCS, melintasi Samudra Hindia dan semua jalan ke Afrika. Itu bertujuan untuk melawan ekspansi maritim China yang agresif di bawah kebijakan BRI. (Chand, 2018: 135). Dengan kata lain, hubungan antara preferensi Administrasi Trump untuk kerangka Indo-Pasifik dan kebangkitan kembali Dialog Keamanan Quadrilateral, atau Quad, jelas. Quad terdiri dari koalisi kekuatan yang waspada terhadap China (Chong and Shang-su, 2018: 3).

Penggabungan kekuatan yang dilakukan keempat negara tersebut dilakukan dalam kerangka aliansi. Pada beberapa kesempatan pada tahun 2017, dan sekali lagi pada awal 2018, para menteri Quad mempostulatkan visi tentang Strategi Indo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka yang didasarkan pada penghormatan terhadap kebebasan navigasi di lautan, kepatuhan terhadap aturan hukum internasional, dan dukungan untuk kerja sama ekonomi yang inklusif. Pada pertengahan Februari 2018, para pejabat Quad bahkan melayangkan gagasan bahwa keempat negara dapat menawarkan untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur di seluruh Indo-Pasifik dan sejauh negara-negara Afrika yang berbatasan dengan Samudra Hindia (Chong and Shang-su, 2018: 3).

The Quad adalah gagasan Perdana Menteri Jepang Shinzo abe yang ditawarkan pada 2007 dengan dukungan dari AS (Wakil Presiden Dick Cheney), Australia (Perdana Menteri John Howard) dan India (Perdana Menteri Manmohan Singh). Kesepakatan Keamanan Quadrilateral (Quadrilateral Security dialogue/QSd) diformat menjadi platform dialog strategis informal di antara negara-negara anggota. Untuk menggarisbawahi sinergi QSD, latihan angkatan laut bersama skala besar yang disebut Malabar juga diadakan. QSD secara luas ditafsirkan sebagai konter diplomatik dan militer terhadap kekuatan ekonomi dan militer Tiongkok yang sedang tumbuh. Jepang menghidupkan kembali dialog empat arah dengan India, Australia dan AS di garis samping KTT Asia Timur di Filipina yang diadakan dari 13-14 November 2017, dengan harapan bahwa Quad yang dihidupkan kembali akan sekali lagi berusaha untuk melawan China kekuatan angkatan laut dan ekonomi di asia. Seperti yang diharapkan, pemerintah China bereaksi keras dengan mengajukan protes resmi terhadap semua anggota QSD (Chand, 2018: 134).

Sikap dan kebijakan keempat negara yang secara bersama memandang China sebagai ancaman, tidak lagi hanya menjadi retorika atau hanya sekadar identifikasi terhadap China. Keempat negara, melalui The QUAD, dengan tegas menyatakan bahwa ancaman China di Indo-Pasifik adalah sesuatu yang nyata. Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka menjadi pesan politik kepada China yang dianggap sebagai ancaman, mengingat negara tersebut, dengan tegas menekankan bahwa beberapa wilayah strategis di Indo-Pasifik sebagai kawasan kedaulatan dan kontrol China dalam mengeksploitasi sumber daya, serta menjadi arena kebijakan BRI negara tersebut.

Arah perimbangan kekuatan aliansi The QUAD, selain menggunakan jarak atau kedekatan geografis oleh Jepang, India, dan Australia, juga menekankan pada kedekatan isu-isu yang berkembang di Indo-Pasifik, yaitu isu-isu maritim.

Quad pertama juga memiliki elemen maritim, di mana keempat negara bersama Singapura melakukan latihan angkatan laut. Pertemuan Quad pertama digambarkan sebagai proyek AS, "an axis of democracies”, a “security diamond" atau cara untuk mengendalikan China (Saha, 2018: 3). Agar Quad menarik lebih banyak perhatian dari negara-negara ASEAN, ada kebutuhan untuk menghadirkan Quad dengan cara yang tidak menyebabkan gangguan strategis lebih lanjut di kawasan tersebut. Mengingat bahwa India telah lama menjadi pendukung sentralitas ASEAN dan ASEAN adalah pilar utama kebijakan negara Act East, keterlibatannya dengan Quad dapat dilihat sebagai kompromi strategi itu. Bagaimana India akan menyeimbangkan kontradiksi ini masih harus dilihat, dan apakah menjadikannya Quad plus ASEAN akan memenuhi harapan ASEAN, terutama dalam mempertahankan sentralitasnya di kawasan ini. (Saha, 2018: 8).

Faktor utama saat ini adalah menghidupkan kembali Quad. Meskipun China sudah meningkat pada tahun 2007, sebagian besar optimistis terhadap pertumbuhan seperti itu dan sifat tegas negara itu belum memprovokasi dan menimbulkan kekhawatiran seperti yang terjadi saat ini. “Penegasan agresif atas klaim kedaulatannya di SCS dan di perbatasan yang disengketakan, seringnya menggunakan paksaan ekonomi dan spionase ekonomi, dan investasi `pemangsa` di bawah kedok BRI.” (Saha, 2018: 4). Pada beberapa kesempatan pada 2017, dan sekali lagi pada awal 2018, para menteri Quad mempostulatkan visi tentang Free and Open Indo-Pacific Strategy yang didasarkan pada penghormatan terhadap kebebasan navigasi di lautan, kepatuhan terhadap aturan hukum internasional, dan dukungan untuk kerja sama ekonomi yang inklusif (Chong and Shang-su, 2018: 3).

AS, melalui Departemen Luar Negeri, fokus pada posisi negara tersebut dalam menghadapi China secara jelas; "Strategi Indo-Pasifik kami, serta Strategi Keamanan Nasional kami [...] semua mengakui satu fakta penting: pentingnya kemunculan India sebagai pemimpin global yang meningkat. Kami menyambut kenaikan India. "Alasan bahwa AS menyambut kenaikan India adalah bahwa hal itu memberikan penyeimbang yang semakin penting terhadap kenaikan China (Scott, 2018: 21).

Uniknya, implementasi Quad dilaksanakan melalui beberapa ketentuan kerja sama keamanan multinasional saat ini antara Jepang-India-AS, Jepang-India-AS-Australia-Singapura, Jepang-AS-Australia, serta melibatkan negara-negara lain di luar the Quad. Hal ini menjelaskan fleksibilitas The QUAD dalam menghimpun kekuatan di luar empat negara The Quad.

Pelibatan negara lain, di luar anggota The Quad, salah satunya dengan menggandeng Singapura. Perdana Menteri Singapura Lee Hseing Loong mengatakan, “Ketidakpastian geopolitik ini memberikan dorongan baru bagi kerja sama ASEAN dengan mitra-mitra utama seperti India. ASEAN dan India berbagi kepentingan bersama dalam perdamaian dan keamanan di kawasan ini, dan juga arsitektur regional yang terbuka, seimbang dan inklusif untuk kawasan ini.” (Saha, 2018: 6).

Di sisi lain, kolaborasi keempat negara yang tergabung dalam The Quad, memang hanya fokus pada penyebaran pengaruh China melalui BRI. Kondisi itu menjelaskan bahwa The Quad lebih menekankan pada bentuk perimbangan terhadap China dengan tidak menekankan pada perang terbuka atau kompetisi yang mengarah pada pengerahan kekuatan militer. Sikap kerja sama yang menjadi karakter The QUAD ditujukan untuk menghimpun kekuatan antara negara-negara anggota The QUAD, dengan mendorong berbagai bentuk kerja sama yang juga melibatkan negara-negara di luar The QUAD. Tujuannya adalah untuk menghindari eskalasi konflik yang diakibatkan kompetisi dengan China. Karena itu, pola penggabungan kekuatan aliansi The QUAD lebih menekankan pada kerangka kerja sama dan menjaga kestabilan kawasan Indo-Pasifik.

Dapat dipahami bahwa karakter The Quad sebagai bentuk aliansi yang felksibel, tidak terlepas dari bentuk The QUAD yang bersifat informal. Karena itu, tidak menutup kemungkinan bagi empat negara itu untuk menggunakan negara lain yang juga memiliki tujuan yang sama dalam mengimbangi China. Kondisi ini sebetulnya justru akan menjadi kekuatan perimbangan yang tidak terduga mengingat sulit bagi China untuk memetakan besaran kekuatan sekaligus harus memiliki kehati-hatian dalam menjalankan kebijakan luar negerinya terhadap negara lain agar pola pertemanan yang dibangun China, tidak berubah menjadi permusuhan, dan berujung pada pergeseran hubungan antara China dengan negara-negara lain yang selama ini menjadi mitra kerja sama.

Referensi:
Chand, Naresh (2018) “The QUAD and Future of Indo-Pacific Security,” CLAWS Journal, Summer

Chong, Alan and Wu Shang-su (2018) “Indo-Pacific vs Asia Pacific: Contending Visions?,” RSIS Commentary, No. 034, February

Jakobson, Linda and Medcalf, Rory (2015) “The Perception Gap: Reading China’s Maritime Strategic Objectives in Indo-Pacific Asia,” Lowy Institute, June.

Kucharski, Jeff (2018) “Energy, Trade and Geopolitics in Asia: The Implication for Canada,” Canadian Global Affairs Institute, Vol. 11:19, July.

McDaniel, Dan (2012) “India, China, and the United States of America in the Indo-Pacific region: coalition, co-existence, or clash,” the Centre for Defence and Strategic Studies, Australian Defence College.

Palit, Amitendu and Sano, Shutaro (2018) “The United States’s Free and Open Indo-Pacific Strategy: Challenges for India and Japan,” ISAS Insight, No. 524, December.

Saha, Premesha (2018) “The QUAD in the Indo-Pacific: Why ASEAN Remains Cautious,” Observer Research Foundation, , Issue No. 229.

Scott, David (2018) “The Indo-Pacific in US Strategy: Responding to Power Shifts, in Cannon, Brendon J. and Rossiter, Ash (2018) “The Indo-Pacific-Regional Dynamic in the 21st Century’s New Geopolitical Center of Gravity,” Rising Powers Quarterly, Vol. 3, Issue 2.

Kirimkan artikel dan opini Anda melalui e-mail: [email protected]








BACA JUGA:
.