Salah satu aksi demonstrasi di depan Gedung KPK, Jakarta, yang berakhir ricuh. (GRESNEWS.COM)

MUHAMMAD SYAHRIL MUBAROK
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

Akhir-akhir ini Indonesia menghadapi gelombang aksi demonstrasi yang terjadi akibat ‘kongkalikongnya’ lembaga eksekutif dan legislatif dalam membuat undang-undang. Aksi demonstrasi ini digerakkan oleh elemen mahasiswa yang kecewa terhadap pemerintah, di mana aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa itu dilakukan serentak di berbagai kota Indonesia.

Aksi demonstrasi mahasiswa tersebut membawa tuntutan RKUHP, Revisi UU KPK, Isu Lingkungan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertahanan, RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual), dan Kriminalisasi Aktivis. Aksi demonstrasi tersebut banyak mendapat simpati dari masyarakat sehingga banyak masyarakat ikut menyuarakan aksinya melalui media sosial maupun ‘turun ke jalan’.

Apa yang terjadi di Indonesia juga dialami oleh Hongkong. Aksi demonstrasi di Hongkong memiliki beberapa kesamaan dengan di Indonesia, namun di Hongkong hanya menolak ditetapkannya RUU Ekstradisi - The Fugitive Offenders and Mutual Legal Assistance in Criminal Matters Legislation (Amandement) Bill 2019, namun tuntutan aksi kian melebar dengan menuntut pengunduran diri Carrie Lam dari jabatannya sebagai Pimpinan Eksekutif Hongkong.



Aksi demonstrasi di Hongkong dilakukan karena memungkinkan para kriminal yang tertangkap di Hongkong dikirim dan diadili di China, sedangkan masyarakat Hongkong khawatir pengadilan di China tidak berjalan adil. Poin penting dari aksi demonstrasi tersebut yaitu Hongkong tidak ingin didikte lagi oleh China.

Aksi demonstrasi yang dilakukan Indonesia dan Hongkong memiliki kesamaan yaitu kecewa terhadap kebijakan pemerintah. Pada dasarnya Indonesia yang merupakan negara demokratis dengan pemilihan kepala negara dan pemerintah secara langsung tidak mencerminkan sebagai negara yang demokratis. Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara dan pemerintah tidak dapat mengakomodir tuntutan dari aksi demonstrasi seperti pelemahan KPK, dengan direvisinya UUD KPK memiliki catatan penting dengan terpilihnya ketua KPK yang baru Irjen Firli Bahuri dan KPK memiliki Dewan Pengawas.

Namun pemerintah menindak secara berlebihan sampai memakan korban dalam aksi yang dilakukan oleh mahasiswa. Dan hal itu terbukti dengan turunnya indeks kebebasan Indonesia menjadi setengah bebas (berdasarkan penilaian atas hak-hak politik dan kebebasan sipil, sumber:
Freedom House). Dan Pemerintah Indonesia melanggar syarat sebagai negara demokratis karena tidak dapat menjamin kebebasan berpendapat, karena menurut Charles Costello, demokrasi adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak perorangan warga negara.

Sementara di Hongkong yang notabene bukan negara demokratis karena merupakan Daerah Administratif Khusus Tiongkok, juga mendapatkan perlawanan keras dari massa aksi demonstrasi yang sampai pada hari ini masih berlangsung, dan Hongkong melakukan tindakan pertahanan dengan menggunakan aparat polisi dan juga menggandeng ‘gangster’ untuk memukul mundur barisan aksi demonstrasi. Tuntutan massa aksi di Hongkong semakin jelas dengan menginginkan mundurnya Carrie Lam.

Secara garis besar Indonesia dan Hongkong mengalami penurunan rasa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah karena kebijakan yang diambil seakan tidak memihak. Indonesia yang baru saja memiliki eksekutif dan legislatif baru, berharap akan adanya perubahan dengan ditekannya PERPPU yang masih diperjuangkan sampai hari ini dan pemerintah Hongkong dapat menolak RUU ekstradisi. Apabila kedua hal tersebut dilakukan kemungkinan besar masyarakat kembali percaya dengan pemerintah dan aksi demonstrasi akan berhenti.








BACA JUGA:
.