Peta wilayah Asia Pasifik (symbianplanet.com)

YUGOLASTAROB KOMEINI
Pengajar Hubungan Internasional pada sejumlah kampus di Jakarta, pemerhati isu-isu keamanan internasional

Hubungan antarnegara berada pada letak geografi yang memicu terciptanya kompetisi dan kerja sama. Interaksi tersebut dipengaruhi oleh berbagai isu yang berkembang dan tidak terlepas dari kepentingan politik, ekonomi dan keamanan antarnegara baik secara regional maupun global. Dalam konteks hubungan internasional, setiap aktor (negara) dituntut untuk memahami berbagai isu yang berkembang dan beradaptasi dengan perkembangan tersebut yang terjadi di lingkungan regional dan globalnya.

Dalam konteks lingkungan di sekitar wilayah geografinya, setiap negara berada pada berbagai pilihan kebijakan yang memunculkan isu yang berkembang atau menghadapi isu yang berkembang. Kondisi ini memaksa setiap negara untuk memahami berbagai perubahan geopolitik dan geostrategi di wilayahnya yang mempengaruhi bagaimana setiap negara mengeluarkan kebijakan terkait dengan perubahan geopolitik dan geostrateginya.

Dalam konteks terkini, terdapat banyak perubahan yang mempengaruhi kebijakan negara. perubahan tersebut mengindikasikan bahwa kondisi geopolitik akan terus berkembang dan berubah-ubah sesuai dengan tren yang berlaku. Adanya kebijakan politik dan upaya politik yang ditujukan untuk mencapai setiap tujuan politiknya, memaksa setiap negara untuk “aware” terhadap setiap kebijakan politik negara lain. Lingkungan geopolitik yang menjelaskan hubungan antarnegara, baik konfliktual maupun kerjasama, mengasumsikan bahwa kondisi politik diselimuti oleh ketidakpastian dan kecemasan yang menjadi endemik pada hubungan politik antarnegara.



Adanya hubungan dan kepentingan politik menjelaskan konsekuensi logis bahwa perubahan lingkungan geopolitik sebuah negara, baik dalam level regional maupun global, menjadi dasar mata rantai setiap isu dan kebijakan yang saling mempengaruhi satu sama lain dan mempengaruhi outcome dari setiap keputusan politik.

Dalam lingkup regional, wilayah Asia Pasifik merupakan wilayah regional Indonesia yang lebih luas atau menjadi lingkaran lingkungan dalam level yang lebih besar setelah Asia Tenggara. Asia Pasifik mencirikan level interaksi antar berbagai negara yang sarat dengan bentuk interaksi politik. Berbagai manuver politik terus berkembang dan menjadi ciri wilayah Asia Pasifik terkait dengan berbagai isu yang mempengaruhi dinamika hubungan politik antarnegara di kawasan.

Isu-isu yang terjadi di wilayah Asia Pasifik menggambarkan berbagai bentuk aspek keamanan yang mempengaruhi dinamika keamanan maritim di wilayah tersebut. Hubungan konfliktual antarnegara serta berbagai isu yang terus berkembang menjadikan wilayah tersebut mengalami dinamika dan perubahan geopolitik, terutama keamanan maritim.

Sengketa teritorial di kawasan Laut China Timur telah meningkatkan tensi hubungan China-Jepang. Konflik keduanya disebabkan ketidakjelasan status Pulau Senkaku/Diaoyu. Konflik antara dua negara tersebut memicu ketegangan politik dan militer di sekitar Laut China Timur.

Ketegangan politik yang mempengaruhi keamanan maritim juga melibatkan China dan Jepang yang juga terlibat pada permasalahan di Semenanjung Korea. Upaya pengembangan nuklir yang dilakukan Korea telah cukup memberikan ketegangan keamanan maritim. Krisis dimulai dengan adanya kecurigaan Amerika Serikat saat Korea Utara kembali mengembangkan program nuklirnya pada Oktober 2002. Sejak itu, wilayah Semenanjung Korea mengalami ketegangan yang mempengaruhi keamanan maritim di wilayah Asia Pasifik. Masyarakat dunia kemudian kembali dikejutkan dengan aksi peluncuran peluru kendali Korea Utara, 5 Juli 2006. Peluncuran beberapa rudal di Semenanjung Korea itu kian mengkhawatirkan beberapa negara. Peristiwa ini semakin menimbulkan kekhawatiran masyarakat internasional dan meningkatkan ketegangan antara Korea Utara dengan negara-negara Barat dan tetangganya di Asia Timur.  Selain itu, Korea Utara dinilai terbukti melakukan berbagai tindakan ilegal, seperti pemalsuan merek rokok dan obat-obatan serta tindakan penyelundupan narkotika.

Di lain pihak, isu keamanan maritim Asia Pasifik juga dipengaruhi oleh konflik di Laut China Selatan, permasalahan terorisme Asia Tenggara, dan konflik teritorial antara Indonesia-Malaysia mengenai wilayah Ambalat.

Wilayah Asia Tenggara, sebagai bagian dari interaksi dan isu politik Asia Pasifik, juga sangat dipengaruhi oleh keamanan maritim yang melibatkan aktor non-negara dan pihak-pihak di luar negara-negara Asia Tenggara. Kondisi ini mengakibatkan perubahan geopolitik pada bidang keamanan maritim yang meningkat tajam. Upaya China untuk menguasai Laut China Selatan telah menimbulkan banyak ketegangan keamanan di wilayah laut. Konflik yang berkembang di wilayah Laut Cina Selatan melibatkan beberapa negara yang memperebutkan wilayah teritorial antara Cina, Vietnam, dan Filipina. Persengketaan antara negara tersebut, pada akhirnya melibatkan pihak di luar yang bertikai, yaitu Amerika. Keterlibatan konflik antar negara-negara yang bertikai dan campur tangan negara-negara di luar kawasan disebabkan oleh perebutan nilai wilayah sekaligus upaya penggunaan kekuatan militer dalam mendukung upaya setiap negara untuk mencapai tujuan politiknya.

Beberapa negara tersebut terlibat pertikaian batas wilayah. Konflik antara beberapa negara tersebut dipicu oleh nilai wilayah Laut Cina Selatan terletak pada kebebasan navigasi pelayaran kapal laut sebagai jalur transportasi melewati Selat Taiwan di sebelah utara dan Selat Malaka di sebelah selatan. Kebebasan navigasi pelayaran dan jalur wilayah yang menghubungkan tempat-tempat strategis tersebut membuat Laut Cina Selatan sebagai wilayah, yang secara strategis, memiliki nilai penting bagi kepentingan geopoliik dan geostrategi bagi kepentingan ekonomi dan perdagangan, selain itu, rute perdagangan dan komersialisasi jalur tersebut mengindikasikan pentingnya peranan militer dalam menjaga keamanan laut, terutama bagi negara-negara yang bergantung pada jalur laut tersebut.

Keamanan laut (maritime security) juga ditimbulkan oleh keberadaan aktor-aktor terorisme di wilayah Asia. Buku Putih Pertahanan Indonesia tahun 2008 menjelaskan bahwa di bidang pertahanan dan keamanan kecenderungan perkembangan global mempengaruhi karakteristik ancaman dengan munculnya isu-isu keamanan baru yang memerlukan penanganan dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan integratif. Isu-isu keamanan tersebut, antara lain, adalah terorisme, ancaman keamanan lintas negara, dan proliferasi senjata pemusnah massal. Munculnya isu-isu keamanan baru tidak terlepas dari globalisasi, kemajuan teknologi informasi, identitas primordial, serta penguatan peran aktor non-negara.

Selain ancaman transnasional, permasalahan keamanan laut yang juga meliputi keamanan di wilayah Indonesia juga dipengaruhi oleh konflik teritorial. Saat ini keamanan maritim Indonesia juga dipengaruhi oleh keamanan maritim di wilayah teritorial Indonesia, yaitu ancaman kedaulatan di wilayah laut Indonesia dalam konflik Ambalat melawan Malaysia. Eskalasi konflik terjadi pada 2009 dimana Malaysia melakukan tindakan provokasi dengan memasuki perairan wilayah Indonesia dengan menggunakan kapal perangnya. Hal itu sangat mengganggu keamanan maritim Indonesia, terutama kedaulatan di wilayah laut Indonesia.

Makin berkembangnya dinamika geopolitik dan berbagai manuver geostrategi beberapa negara, membuat keamanan laut di wilayah Asia Pasifik semakin memberikan warning bahwa perlunya antisipasi Indonesia dalam membangun kekuatan laut yang mampu menghadapi berbagai ancaman di wilayah laut Indonesia.

Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah teritorialnya didominasi oleh laut mengindikasikan perlunya pembangunan kekuatan laut yang siap dalam menghadapi perubahan dan perkembangan ancaman keamanan laut. Dengan adanya berbagai perkembangan geopolitik yang mengarah pada terjadinya gangguan pada keamanan maritim, Indonesia setidaknya perlu mempersiapkan diri dalam menghadapi permasalahan tersebut. Dalam konteks kekuatan laut, Angkatan Laut Indonesia saat ini setidaknya perlu memiliki persenjataan yang memadai dan menunjang dalam melakukan pengamanan pada wilayah laut sekaligus langkah antisipasi dalam menghadapi ancaman yang sewaktu-waktu dan sedang terjadi di wilayah laut, terutama wilayah laut Indonesia, sebagai bagian dalam menjaga kemungkinan ancaman yang diakibatkan oleh perkembangan geopolitik dan geostrategi yang menyangkut keamanan maritim.

Pengembangan kekuatan matra laut Indonesia yang tangguh juga diperlukan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan ancaman militer dan non-militer di perairan nusantara seperti pencurian ikan yang begitu merajalela di wilayah laut nasional, praktik-praktik penyelundupan, baik barang maupun manusia, dan kemungkinan gangguan militer dari beberapa hot spot di Laut Cina Selatan. Dengan kata lain, pengembangan kekuatan TNI-AL lebih ditujukan untuk sarana pertahanan keamanan (defense and security) wilayah perairan nasional ketimbang sebagai kekuatan penyerang (aggressive).

Peningkatan kekuatan armada laut Indonesia secara signifikan tentu saja akan mengubah posisi strategis Indonesia di kawasan dan dengan demikian Indonesia akan turut menentukan pola hubungan antarnegara di Samudera Hindia dan khususnya di Samudera Pasifik. Kendati pun dalam jangka waktu lima tahun ke depan, Kementerian Pertahanan sudah mengalokasikan kredit ekspor sebesar US$1,97 miliar untuk TNI AL, namun jumlah ini belumlah memadai untuk melengkapi alutsista TNI AL dalam menjaga keamanan maritim nasional.

Kedua, persoalan koordinasi antar-institusi (pemerintah) nasional yang berkaitan dengan persoalan kemaritiman perlu pula mendapat perhatian yang lebih serius. Selama ini terdapat kesan bahwa koordinasi antara TNI AL, TNI AU, kepolisian dan kementerian terkait (Kementerian Kelautan dan Perikanan), Kementerian Luar Negeri serta pengadilan dalam melindungi laut teritorial beserta segala isinya masih bersifat tumpang tindih dan incomprehensive.

Untuk itu, berbagai institusi di atas perlu secara reguler dan koordinatif menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di antara mereka. Persoalan koordinasi ini menjadi semakin rumit tatkala beberapa provinsi seperti Papua, Riau dan Bangka Belitung dengan semangat otonomi daerah merencanakan pembelian kapal patroli  guna mengamankan perairan laut mereka dari pencurian ikan. Isu pembelian kapal patroli cepat ini semakin menjadi kontroversi berkepanjangan antara berbagai institusi dalam negeri seperti pemerintah provinsi, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan dan TNI AL. Hal ini terjadi akibat perbedaan penafsiran UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Koordinasi dan harmonisasi yang semakin baik antara berbagai institusi nasional (Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Mabes TNI dan beberapa institusi pemerintah lainnya) tentunya akan mengarah pada semakin tingginya kemampuan pengawasan kita terhadap keamanan jalur laut nasional dan regional yang pada akhirnya akan menjadikan Indonesia sebagai negara besar di kawasan sebagaimana dinyatakan Alfred Thayer Mahan pada kutipan di awal tulisan ini. Namun tampaknya, selain membutuhkan alokasi dana yang cukup besar, dan koordinasi kebijakan antarinstitusi yang cukup tinggi, upaya Indonesia untuk menjadi ‘tuan’ bagi keamanan maritim nasional akan memakan waktu yang cukup panjang. Meminjam kata-kata Kepala Staf Angkatan Laut RI, Laksamana TNI Slamet Subiyanto, upaya pengelolaan keamanan maritim Indonesia secara terpadu membutuhkan penyusunan strategi pertahanan yang sesuai dengan kondisi geografis Indonesia dan sinergi seluruh komponen pertahanan negara.

Kirimkan artikel dan opini Anda melalui e-mail: [email protected]








BACA JUGA:
.