Gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan. (Edy Susanto/Gresnews.com)

JAKARTA, GRESNEWS.COM - Meski kepolisian telah menyatakan kematian Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan Yosef Sairlela di Hotel Treva, Menteng, Jakarta Pusat ,akibat serangan jantung, namun sejumlah aktivis tak meyakini sepenuhnya kematian Koordinator Satuan Kerja Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Dobo KKP, yang juga saksi kunci kasus perbudakan anak buah kapal Asing Benjina tersebut, karena penyakit.   

"Kematian secara tiba-tiba, menimbulkan dugaan peristiwa itu berkaitan erat dengan upaya pengungkapan kasus perbudakan anak buah kapal asing oleh PT. Pusaka Benjina Resource (PBR) di Benjina,"  kata Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), di Kantor Kontras, Menteng, kemarin.

Terlebih, Yosef banyak mengetahui sejumlah praktek mafia. Tidak hanya dalam sektor perikanan, namun juga di sejumlah sektor maritim lainnya. Kasus Benjina juga membuka sejumlah persoalan yang lebih luas dalam kegiatan ekspolitasi sumber daya laut Indonesia.

Kontras dan dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyatakan pada laporan tahun 2013 lalu, Yosef diketahui sempat menjadi perantara perusahaan dalam kasus konflik pengelolaan sumber daya pesisir antara warga dengan PT. Dafin Mutiara, di Kepulauan Aru, Maluku. Ia menawarkan sejumlah uang ganti rugi kepada warga pascapenyerangan oleh anggota Brimob dan TNI pada 10 November 2013, akibat warga menolak kesepakatan dengan PT. Dafin Mutiara di desa Duroa, Tual, Maluku.

Akibat penyerangan tersebut, satu unit rumah mengalami kerusakan, sementara 13 orang pemuda mengalami penahanan sewenang-wenang. "Apakah setelah Yosef tewas kasus ini lebih sulit atau lebih mudah? Kami melihat kasus ini tetap harus dituntaskan setuntasnya," kata Ketua KNTI Riza Damanik di tempat yang sama.

Belum lagi laporan yang diterima pihak KKP, diketahui petugas pengawas PSDKP kerap menerima uang Surat Layak Operasi (SLO) sebesar Rp250.000 untuk setiap kapal tangkap dan Rp4 juta bagi kapal tramper. Tiap bulan PT. PBR juga menganggarkan Rp37 juta sebagai uang pelicin bagi usaha mereka. Secara mendetail, PT. PBR mengaku uang itu disebar untuk oknum-oknum petugas keamanan dan aparat desa yang diklaim sebagai bentuk CSR.

PT. PBR juga diduga melakukan pemalsuan dokumen kapal berupa SIPI dan SIKPI. Sedikitnya tercatat 96 kapal milik PT. PBR yang diduga berdokumen palsu dan tidak terdaftar di Kementerian perhubungan.

Sementara berdasarkan laporan BPK pada tahun 2010 terdapat 98 Izin Usaha Penangkapan yang menggunakan tenaga kerja asing melebihi ketentuan maksimum sebesar 50 persen dari keseluruhan awak kapal pada tahun pertama, termasuk di dalamnya PT PBR. Faktanya, meski ada pelanggaran penggunaan ABK asing, KKP tetap mengeluarkan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) kepada PT. PBR.

“Penyelidikan terhadap mereka yang terlibat dalam proses perizinan juga jangan luput dilakukan," ujar Riza.

Kasus ini juga sarat dengan perbudakan dan perdagangan manusia, diketahui, 85 orang ABK asing PT. PBR dipekerjakan secara illegal dan merupakan korban perdagangan manusia. Sejumlah ABK kapal juga menyebutkan mendapat perlakukan yang tidak manusiawi yang dilakukan oleh pihak PT. PBR, seperti disiksa menggunakan buntut ikan pari, dipaksa bekerja hingga 22 jam, tidak diberi makanan yang layak, hingga dimasukan kedalam sel khusus apabila melakukan kesalahan.

"Selain itu diantara mereka juga mengaku tidak mendapatkan upah selama bekerja, bahkan dilarang menghubungi keluarga di Negara asal mereka," tambah Ananto Setiawan, Staf Div Ekonomi Sosial Kontras, dalam kesempatan tersebut.

Saat ditemukan, sejumlah ABK Benjina juga terlihat dalam kondisi stres dan banyak pula ditemukan yang berteriak-teriak. Dua puluh orang diantaranya diketahui sakit, tiga orang harus mendapatkan perawatan, sementara seorang lainnya mengalami gangguan jiwa sehingga harus menjalani perawatan medis.

"Sejumlah ABK juga menuturkan mereka dilarang sakit, ketika kedapatan sakit bahkan mereka akan dihukum dengan cara disetrum oleh pihak perusahaan," katanya.

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) harus melakukan penyelidikan mendalam terhadap peristiwa meninggalnya Yosef Sairlelam, guna mengungkap kejelasan dan hubungannya sebagai saksi kunci dalam kasus Benjina. Juga terus nenyelidiki lebih dalam tindak perbudakan serta perdagangan manusia di Benjina,

"Jika benar kematian Yosef ada kaitan dengan kasus Benjina maka itu adalah upaya untuk menutupi dan menyulitkan penyelesaian kasusnya,” katanya.

Tak hanya penelusuran kasus Benjina, penelusuran lebih terhadap status puluhan kapal lainnya juga harus dilakukan. Sebab berdasarkan Laporan BPK 2010 sedikitnya terdapat 98 kapal ikan yang masih menggunakan ABK asing melebihi 50% dari total ABK di atas kapal ikan, termasuk PT.PBR.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) harus mencabut sejumlah izin usaha yang nyata-nyata telah melakukan praktik-praktik ilegal dan berpotensi melanggar HAM. Serta tak membuka keterlibatan asing dalam kegiatan penangkapan ikan guna mencegah terjadinya praktik serupa.

"Sistem perijinan harus disinergikan dengan kinerja perlindungan ketenagakerjaan dan keberlanjutan lingkungan, kepatuhan pembayaran pajak dan membangun unit pengolahan ikan," kata Anto.

Pemerintah juga harus merativikasi Konvensi ILO Nomor 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, serta mengadopsinya ke dalam regulasi nasional. Hal ini guna mencegah terjadinya praktek-praktek perbudakan dan pelanggaran HAM terhadap pekerja di sektor sumber daya laut dan perikanan.

"LPSK harus memberikan perlindungan yang efektif terhadap sejumlah saksi dalam kasus Benjina dan kasus lain seperti yang diamanatkan oleh UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban," tutupnya.









BACA JUGA:
.