Gedung Mahkamah Agung (Edy Susanto/Gresnews.com)

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Mahkamah Agung (MA) baru saja menerbitkan Peraturan MA Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (Perma 2/2015). Melalui Perma ini, perkara perdata dengan nilai gugatan materiil maksimal Rp 200 juta bisa diselesaikan di pengadilan gugatan sederhana. Sehingga masyarakat akar rumput bisa memperoleh keadilan secara cepat.

Laporan Mahkamah Agung Tahun 2014, menyebut kamar perdata menempati urutan pertama terkait banyaknya jumlah perkara yang ditangani MA. Pada tahun tersebut, kamar perdata MA menerima sebanyak 4.811 perkara atau 38,45 persen, kamar pidana sebanyak 4.556 perkara atau 36,42 persen, kamar Tata Usaha Negara sebanyak 1.954 perkara atau 15,62 persen. Sisanya kamar militer hanya 2,96 persen perkara dan kamar agama 6,55 persen perkara.

Banyaknya perkara perdata yang masuk ke MA pada tahun itu ternyata sama banyaknya dengan perkara yang diterima pada tahun 2013. Jika dibandingkan kamar-kamar lainnya. Pada 2013, perkara kamar perdata dan perdata khusus mencapai 4.754 perkara. Jumlah tersebut juga menempati urutan pertama jumlah perkara terbanyak.

Menumpuknya perkara perdata ini menjadi perhatian Mahkamah Agung, untuk dicarikan solusi agar penanganan lebih cepat. Persoalannya, tidak semua lapisan masyarakat bisa mengakses peradilan yang cepat dengan biaya murah.

Penelusuran gresnews.com terkait biaya berperkara di Pengadilan Jakarta Pusat. Berdasarkan laman website PN  Jakarta Pusat disebutkan perincian panjar-panjar biaya pendaftaran perkara perdata disebutkan, penggugat harus membayar permohonan perkara Rp322 ribu, gugatan Rp922 ribu, banding Rp1,1 juta, dan kasasi Rp1.3 juta serta peninjauan kembali Rp3.5 juta.

Belum lagi untuk biaya sita harus mengeluarkan lagi uang Rp742ribu, biaya konsinyasi Rp717ribu, dan biaya eksekusi Rp692ribu. Jika semua biaya di atas dijumlahkan, biaya berperkara untuk peradilan perdata bisa mencapai hingga Rp9 juta lebih.

Tentu pada akhirnya dengan biaya perkara yang sedemikian mahal, hanya perkara-perkara dengan kerugian materiil besar saja yang akan diajukan perkaranya ke pengadilan. Sementara untuk perkara kecil, masyarakat yang dirugikan namun memiliki kemampuan finansial rendah akan berpikir ulang mengajukan gugatan ke pengadilan. Melalui Perma ini, MA mencoba menjawab persoalan peradilan ini.

GUGATAN SEDERHANA - Terkait penerbitan Perma ini, Juru bicara MA Suhadi mengaku belum membacanya dengan sejak Perma ini dikeluarkan. "Sudah ada di website MA," ujar Suhadi pada gresnews.com, Kamis (21/8).

Dalam Perma yang telah diterbitkan laman website MA itu,   disebutkan peraturan itu terbut untuk dapat melaksanakan peradilan yang sederhana, cepat, dan dengan biaya ringan. Sehingga semakin tercipta akses yang luas bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan khususnya untuk perkembangan hukum di bidang ekonomi dan keperdataan.

Penyelesaian sengketa cepat ini juga sekaligus menjawab amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019,  yang menghendaki reformasi sistem hukum perdata yang mudah cepat untuk mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi.

Dalam Pasal 1 Perma 2/2015 disebutkan penyelesaian gugatan sederhana ini memang dibatasi hanya untuk gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp200 juta. Sehingga tata cara dan pembuktiannya bisa lebih sederhana melalui hakim tunggal. Lantaran gugatan ini memang hanya melayani peradilan dengan perkara kecil, maka perkara pengadilan khusus dan sengketa tanah tidak termasuk ke dalam gugatan sederhana ini.

Selanjutnya, Perma ini juga mengatur bahwa para pihak dalam gugatan hanya terdiri penggugat dan tergugat dengan jumlah tidak boleh lebih dari satu orang, kecuali untuk kepentingan yang sama. Tahapan penyelesaian gugatannya pun hanya dibatasi 25 hari kerja diawali dengan pemeriksaan pendahuluan, penetapan hari sidang dan pemanggilan para pihak, pemeriksaan dan perdamaian, pembuktian, dan putusan.

Lalu terkait biaya perkara, penggugat yang tidak mampu membayar panjar biaya yang besarnya ditentukan ketua pengadilan setempat, diperbolehkan mengajukan permohonan beracara secara cuma-cuma atau prodeo. Selanjutnya dalam menangani gugatan sederhana ini, hakim tunggal juga diwajibkan mengutamakan penyelesaian secara perdamaian, termasuk perdamaian di luar persidangan. Ketika kesepakatan perdamaian terjadi, maka hakim  akan membuat putusan akta perdamaian yang mengikat kedua pihak.

Setelah terdapat putusan, Perma ini hanya memberikan kesempatan pihak yang tak menyetujui putusan dengan mekanisme keberatan paling lambat 7 hari setelah putusan. Nanti berkas keberatan akan diperiksa ulang oleh majelis hakim yang terdiri dari hakim senior. Setelah mekanisme keberatan diputuskan, pihak yang masih berkeberatan tidak dapat melakukan upaya hukum lanjutan.  

PERADILAN BEBAS KORUPSI - Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Arsul Sani mengatakan langkah MA menerbitkan Perma 2/2015 merupakan salah satu implementasi dari prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan murah. "Harus diakui bahwa sejak digulirkannya reformasi peradilan tahap 2 pada tahun 2010, manajemen penyelesaian perkara di MA dan jajaran peradilan makin baik," ujarnya kepada gresnews.com, Kamis (20/8).

Ke depannya ia berharap ketika alokasi anggaran penyelenggaraan peradilan lebih besar. Maka MA tidak hanya mengimplementasikan prinsip peradilan yang sederhana, cepat dan murah hanya untuk perkara kecil atau sederhana,  tapi juga untuk seluruh perkara. Lalu tidak hanya manajemen perkara saja yang lebih baik, tapi juga tercipta peradilan yang benar-benar bebas korupsi dan kolusi.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi juga mengatakan di banyak negara peradilan umumnya memang menggunakan mekanisme peradilan seperti yang diatur Perma 2/2015. Sehingga untuk perkara yang kecil dibentuk peradilan yang cepat.

"Sehingga lebih efisien dari segi waktu, biaya, dan tidak terjadi penumpukan perkara," ujar Tulus saat dihubungi gresnews.com pada kesempatan terpisah, Kamis (20/8).

Namun ia mengatakan seharusnya  selain menciptakan peradilan yang cepat dan efisien,  MA bisa membuat mekanisme peradilan tersebut tanpa biaya. Sebab ketika berperkara di pengadilan pasti ada biaya pengadilan dan kuasa hukum. Sehingga selain biaya resmi, di pengadilan selalu ada biaya tidak resmi. Misalnya mengambil berkas perkara harus memberikan tip ke panitera atau ketika mendaftar tidak diberi kwitansi.

"Itu menjadi ongkos kemahalan bagi masyarakat dan akhirnya mereka malas," jelasnya.

Tulus mencontohkan peradilan ideal,  seperti yang terjadi pada Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam pengujian materi, MK sama sekali tak memungut biaya apapun baik daftar hingga proses peradilan dan putusan.








BACA JUGA:
.