JAKARTA - Komisi III DPR batal menggelar rapat dengar pendapat (RDP), kasus buron Bank Bali, Joko Tjandra pada Selasa 21 Juli 2020. Pembatalan terjadi lantaran RDP tidak mendapatkan izin dari pimpinan DPR. Baru kali ini pelaksanaan RDP tidak mendapatkan izin.

Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin meminta Komisi III mengawasi Kepolisian, Kejaksaan dan Kemenkumhan terkait kasus surat jalan buronan Joko Tjandra. Pengawasan lapangan ini untuk menggantikan RDP yang tertunda.

Azis juga menyampaikan bahwa tidak benar dirinya melarang adanya RDP kasus Joko Tjandra, melainkan ia menjalankan tatib yang menyebut masa reses anggota melakukan kunjungan lapangan.

"Jangan berdebat masalah administrasi karena saya tidak ingin melanggar tatib dan hanya ingin menjalankan Tata Tertib DPR dan Putusan Bamus, yang melarang RDP pada masa reses, yang tertuang dalam Pasal 1 angka 13," kata Azis dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (21/7/2020).

Ia menjelaskan berdasarkan tatib DPR, masa reses adalah masa bagi anggota dewan melakukan kegiatan di luar masa sidang, terutama di luar kompleks parlemen untuk melaksanakan kunjungan kerja.

Kemudian, sesuai tatib DPR Pasal 52 ayat dalam melaksanakan tugas Badan Musyawarah dapat menentukan jangka waktu penanganan suatu rancangan undang-undang, memperpanjang waktu penanganan suatu rancangan undang-undang.

"Karena tatib DPR berbunyi seperti itu jadi jangan kita ngotot tetapi substansi masalah kasus buronan Joko Tjandra harus segera dilakukan pengawasan oleh Komisi III DPR RI," ujarnya.

"Tatib DPR kan dibuat bersama untuk dilaksanakan seluruh Anggota Dewan , jadi saya ngak habis pikir ada yang ngotot seperti itu ada apa ini," ucapnya.

Sebagai mantan Pimpinan Komisi III, Azis memahami persis apa yang menjadi urgent, dan apa yang tidak maupun apa yang bisa dilakukan selain dengan RDP. Ada banyak cara melakukan pengawasan.

"Pada akhirnya, kawan-kawan pengamat perlu fokus pada inti dari kasus Djoko Tjandra, tanpa teralihkan ke isu-isu yang tidak relavan. DPR RI punya tata cara kerja, biarkan tata cara kerja itu berjalan sesuai dengan aturan dan etika yang berlaku. Berikan DPR ruang dan waktu untuk melaksanakan kinerjanya tanpa adanya pemaksaan kehendak sepihak," ia menandaskan.

Sementara itu Direktur Eksekutif Lingkar Masyarakat Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan bahwa alasan reses Aziz Syamsuddin tidak faktual dengan tidak menandatangani persetujuan RDP di Komisi III DPR-RI dengan gabungan aparat penegak hukum. 

Ia mengakui alasan Aziz Syamsuddin tidak menandatangani persetujuan adanya RDP Komisi III dengan gabungan aparat penegak hukum adalah benar secara normatif.

Dalam Pasal 1 angka 13 dan Pasal 13 huruf I tatib DPR RI dinyatakan bahwa reses merupakan kewajiban DPR untuk menyerap atau menghimpun aspirasi masyarakat melalui kunjungan kerja. 

"Hanya saja, alasan tadi tidak terjadi secara faktual. Kenyataannya DPR sendiri telah melakukan beberapa rapat dalam masa reses. Bahkan, setidaknya dalam catatan kami, beberapa rapat itu malah terjadi di tahun 2020 ini," kata Ray kepada Gresnews.com, Selasa, (21/7/2020). 

Lanjut Ray, misalnya pembahasan tahapan pilkada antara Komisi II dengan Mendagri, dan penyelenggara pemilu, termasuk membahas Perppu No 2 Tahun 2020. Termasuk pembahasan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) pada bulan Mei 2020 lalu yang sempat ramai ditolak masyarakat.

Bahkan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mewacanakan pembahasan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 pada masa reses saat ini. Tapi jauh sebelum ini, wacana rapat DPR dilakukan di masa reses juga pernah diutarakan justru oleh Azis Syamsuddin sendiri.

Menjabat sebagai ketua Komisi III DPR RI di tahun 2015, Azis Syamsuddin menyatakan akan membahas RUU KUHP sekalipun dalam masa reses.

"Nah berdasarkan beberapa fakta ini, tentunya alasan Azis Syamsuddin tidak berkenan menandatangani RDP Komisi III dengan gabungan Aparat Penegak Hukum itu karena DPR sedang reses kurang mendapat landasan faktualnya," terangnya. 

Dia tidak tahu, mungkin ada aturan terbaru di DPR bahwa sejak Juli 2020 misalnya, semua jenis rapat di DPR tidak diperkenankan selama masa reses sedang tejadi. Jika memang ada, mungkin tepat jika aturan baru itu disampaikan kepada masyarakat.

"Jika tidak, maka alasan Azis Syamsuddin itu tidak kokoh," tuturnya. 

Mengingat, kata Ray, bahwa kasus Joko Tjandra ini memerlukan perhatian, penanganan dan penyelesaian yang serius, cepat dan tuntas, maka kiranya RDP Komisi III dengan gabungan Aparat Penegak Hukum tersebut memang sangat diperlukan.

"Tentu saja, makin cepat makin bagus," imbuhnya. 

Dengan begitu, penyelesaian kasus inipun kiranya dapat dilakukan dengan segera dan tentu saja tuntas. Tak lupa mendesak Komisi agar Komisi III menjadikan berbagai peristiwa ini untuk mendesakan reformasi di lingkungan aparat penegak hukum. 

"Khususnya di lembaga kepolisian dan kejaksaan yang bisa dimulai dengan melakukan revisi UU Kepolisian dan Kejaksaan," tandasnya. (G-2)

BACA JUGA: