JAKARTA - Jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa sejumlah saksi rekanan pelaksana proyek di Badan Keamanan Laut (Bakamla) untuk bersaksi dalam persidangan terdakwa Dirut PT Compact Microwave Indonesia (CMI) Teknologi/CMIT Rahardjo Pratjihno, Senin (13/7/2020).

Rahardjo didakwa jaksa KPK telah memperkaya diri sendiri dan orang lain terkait proyek Backbone Coastal Surveillance System di Bakamla tahun anggaran 2016, hingga merugikan negara sekira Rp63,8 miliar.

Salah satunya Direktur Utama PT Catudaya Prakasa Chamid Suryadi. Majelis hakim mempertanyakan hubungan saksi Chamid dengan terdakwa Rahardjo itu seperti apa?.

Chamid mengatakan bahwa ia adalah teman satu kampus dahulunya. Hakim kembali bertanya kaitan dirinya dalam pengerjaan proyek di PT Bakamla.

"Ada. kami dari arus kuat kelistrikan, mengerjakan masalah listrik, sub kontraktor," jawab Chamid dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, yang diikuti oleh Gresnews.com, Senin (20/7/2020).

Ia menjelaskan keterlibatan perusahaannya itu dalam rangka mengerjakan penyambungan ke PLN, termasuk genset dan semua panel-panelnya. Ia juga mengakui ada kontrak antara perusahaan miliknya dengan perusahaan milik terdakwa Rahardjo. "Betul," jawab Chamid singkat dipersidangan.

Dalam kontrak tersebut bukan hanya proyek pengadaan di Bakamla saja. Disana ada pengerjaan lainnya dengan nilai kontrak sekitar Rp6 miliar. Semua pekerjaan sudah dipenuhi dan diserahkan sepenuhnya.

Chamid menjelaskan mengetahui sebagian yang digarapnya adalah proyek dari Bakamla setelah diberitahu terdakwa. Namun untuk pembayaran ke perusahaannya, belum semuanya. Ia baru menerima 20% waktu pertama kali pembayaran dengan nominal sekitar Rp1,3 miliar.

"Kemudian kami menganggap pembayaran itu adalah utang piutang sejumlah Rp2 miliar. Pengadaan sudah terpenuhi hanya pembayarannya yang belum lunas," ungkap Chamid dipersidangan.

Sementara saksi lainnya, Direktur Utama PT Kaisan Arie Hindriastiwie mengatakan ada utang piutang dengan PT CMIT, milik terdakwa. Namun, Dia mengaku tidak ada perusahaannya masuk dalam kontrak Bakamla tersebut. Dan PT Kaisan tidak dicantumkan dalam pengadaan untuk pengerjaan proyek tersebut.

Mengenai masalah utang piutang, Arie menjelaskan bahwa yang pertama kali pada proyek pengerjaaan radar TNI di Angkatan Laut, bukan di Bakamla. "Jadi CMIT pinjam modal tapi pekerjaannya ngga ada, tidak ikut," tutur Arie dalam persidangan.

Arie menegaskan bahwa masalah terdakwa Rahardjo dengan perusahaan PT Kaisan adalah masalah utang piutang saja dengan nominal sebesar Rp3 miliar.

Kemudian, saksi Edwin Sudarmo, Dirut PT CSE Aviation mengatakan bahwa hubungan dirinya dengan terdakwa adalah sebagai konsultan. Sebagai konsultan, maka dirinya dibayar oleh terdakwa. Ia dikontrak oleh PT CMIT dalam hal konsultan saja dengan nilai kontrak sekitar Rp1,3 miliar.

Kalau dengan Bakamla, ia tidak mengetahui. Edwin mengaku kerjasama dengan terdakwa baru kali ini sebelumnya tidak pernah.

Selain itu, Direktur Utama Spasi Indonesia, Erwin mengatakan posisinya sebagai penyuplai software untuk dasboard. "Saya sub kontraktor. Jadi saya mengadakan kontrak sendiri dengan PT CMIT. Yaitu menerima pekerjaan dari PT CMIT," kata Erwin dalam sidang tersebut.

Dia mengatakan bahwa baru kali ini bekerjasama dengan terdakwa. Sebelumnya tidak pernah. Nilai kontrak sekitar Rp5,3 miliar, sebagian sudah dibayar namun belum sepenuhnya lunas.

"Saya tahu ada kontrak antara PT CMIT dengan Bakamla tapi tidak mengetahui isi kontrak tersebut," katanya dalam persidangan tersebut.

Sementara itu, Direktur Teknik PT CMIT Nyoman yang juga hadir sebagai saksi menjelaskan perusahaannya bukan hanya kontraktor dalam proyek ini. Sebetulnya ada produk-produknya sendiri, PT CMIT sebenarnya produsen dan integrator.

"Saya sebagai direktur teknis memang diperintahkan oleh pimpinan kami untuk memberikan pandangan teknis. Terus kemudian ada permintaan masalah teknis mengenai desain. Lalu kami berikan," kata Nyoman dalam persidangan.

Mengenai penentuan Harga Patokan Sendiri (HPS) Nyoman tidak mengerti.
"Saya tidak mengerti itu. Cuman memang diperintahkan kalau ini harganya berapa? Kemudian desainnya kami buat. Nah harga itulah yang kami masukkan dan kami sampaikan," tuturnya.

Sebelumnya PT CMI sudah melakukan kontrak dengan perusahaan yang lain atau intansi yang lain. "Kami sebagai industri pertahanan bekerjasama dengan perusahaan lainnya. Seperti Telkomsel, Indosat dan sebagainya. Dan perusahaan swasta lainnya," terangnya dalam sidang.

Secara prosedur sebenarnya perusahaannya diminta dalam menentukan harga, namun konsultasi lebih dulu. Menurutnya memang HPS itu dibuat oleh pihak yang mengadakan barang dan bukan perusahaan yang ikut tender.

Hakim menimpali menurut Keppres, HPS dibuat oleh yang mengadakan dan tidak boleh ada hubungan dengan satu perusahaan. Setelah ada pemenang ditentukan baru komunikasi dilakukan.

"Nah ini belum ada pemenangnya ditentukan sudah melakukan komunikasi intensif ?" tanyanya kepada saksi Nyoman dipersidangan. Nyoman mengatakan bahwa hal itu atas permintaan pihak Bakamla.

Selain itu, Dia pernah mengirim email ke Rahardjo meneruskan email ke Bakamla. Tapi di Bakamla yang menerima email itu siapa, Nyoman mengaku tidak tahu. "Jadi memang ada komunikasi," ungkapnya.

Sementara itu Penasihat Hukum (PH) terdakwa Raharjo, Saut Edward mengatakan tadi hakim atau Jaksa terus mencecar kepada para saksi. Menurutnya, mereka ingin membuktikan dugaan proyek itu sudah dikondisikan pemenangnya dari PT CMIT.

"Padahal dia sebagai pabrikan boleh saja memberikan HPS. Itu tidak menyalahi aturan menurut kami," tuturnya diluar persidangan kepada Gresnews.com, Senin (20/7/2020).

Ia akan membuktikan nanti dipersidangan bahwa Rahardjo tidak merugikan negara malah menguntungkan negara. "Nanti akan kami hadirkan saksi ahli yang menyatakan itu," tandasnya.

Dalam korupsi proyek tersebut, Rahardjo Pratjihno dinilai telah memperkaya diri sendiri senilai Rp60,3 miliar dan Ali Fahmi atau Fahmi Habsy sebesar Rp3,5 miliar. Fahmi Habsy adalah staf khusus bidang perencanaan dan keuangan yang diangkat Arie Soedewo selaku Kepala Bakamla.

Kerugian negara akibat perbuatan Pratjihno berdasarkan Laporan Hasil Audit dalam rangka Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atas kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Backbone Coastal Surveillance Syistem (BCSS) yang terintegrasi dengan Bakamla Integrate Information System (BIIS) pada Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Tahun Anggaran 2016.

Adapun pemufakatan jahat Rahardjo dilakukan bersama-sama dengan Bambang Udoyo selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla RI), Leni Marlena selaku Ketua Unit Layanan Pengadaan (ULP) Bakamla RI dan Juli Amar Ma`ruf selaku Anggota (koordinator) ULP Bakamla RI.

Setelah dilakukan pembahasan dengan DPR RI maka anggaran paket pengadaan BCSS tersebut berhasil ditampung dalam APBN-P TA 2016 sebagaimana tertuang dalam DIPA Bakamla dan Surat Menteri Keuangan RI Nomor S-522/MK.02/2016 perihal Perubahan Pagu Anggaran Belanja K/L dalam APBN-P Tahun Anggaran 2016 tanggal 23 Juni 2016 dengan pagu anggaran senilai Rp 400 miliar.

Namun anggaran belum bisa digunakan karena membutuhkan persetujuan lebih lanjut atau istilahnya masih ditandai bintang.

Dalam rangka melaksanakan lelang pengadaan paket pekerjaan (proyek) yang terdapat pada APBN-P TA 2016, Arie Sudewo selaku Kabakamla menunjuk dan menetapkan tim kelompok kerja (Pokja) Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang diketuai oleh Leni Marlena.

Setelah ditunjuk menjadi Ketua ULP, Leni dipanggil oleh Ali Fahmi di ruang Kabakamla dan disampaikan mengenai pengadaan barang di Bakamla termasuk backbone nantinya akan dibantu oleh Juli Amar Ma`ruf.

Sebenarnya Juli Amar Ma`ruf menjadi koordinator untuk pengadaan yang berada di Deputi Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis, namun diminta membantu mengkoordinasikan pengadaan Backbone Coastal Surveillance System (BCSS) yang ada pada Deputi Informasi, Hukum dan Kerjasama Bakamla.

Dalam dakwaan Fahmi disebut sebagai staf khusus di Bakamla. Nama Fahmi juga pernah disebut dalam sidang terdakwa sebelumnya terkait kasus ini.

Rahardjo sendiri merupakan tiga tersangka baru yang ditetapkan KPK bersama Ketua Unit Layanan dan Pengadaan Leni Marlena, anggota Unit Layanan Pengadaan BCSS Juli Amar Ma`ruf, dan Direktur Utama PT CMI Teknologi (CMIT) Rahardjo Pratjihno selaku rekanan BCSS Bakamla.

Kasus ini berawal pada 2016 saat Bambang Udoyo selaku Direktur Data Informasi diangkat menjadi pejabat pembuat komitmen (PPK) kegiatan peningkatan pengelolaan informasi, hukum, dan kerja sama keamanan dan keselamatan laut, serta Leni dan Juli diangkat menjadi Ketua dan anggota ULP di Bakamla.

Atas perbuatan tersebut, Rahardjo didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (G-2)

 

BACA JUGA: