JAKARTA - Tanda kebangkrutan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) sudah nampak sejak 2008. Demikian dinyatakan oleh dua saksi dalam persidangan perkara korupsi Jiwasraya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (15/7/2020). 

Mereka adalah Sekretaris Komite Investasi Jiwasraya 2008-2011 Lusiana dan Kepala Pengembangan Dana Investasi dan Pendapatan Tetap Jiwasraya 2011-2018 Gustia Dwipayana. 

Kedua saksi itu juga menguraikan peran para terdakwa yang merupakan pengusaha yakni Benny Tjokrosaputro, Heru Hidayat, dan Joko Hartono Tirto.

Lusiana mengatakan, sejak 2008, ia telah berseteru dengan atasannya, terdakwa Syahmirwan, yang saat itu menjabat Kepala Divisi Investasi 2008-2018. Pangkal persoalannya berkaitan dengan program Reksa Dana Penyertaan Terbatas (RDPT) 2008.

Sesuai definisi versi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), RDPT adalah wadah yang digunakan untuk menghimpun dana dari pemodal profesional yang selanjutnya diinvestasikan oleh manajer investasi pada portofolio efek atau portofolio yang berkaitan langsung dengan proyek, misalnya, sektor riil, sektor infrastruktur, dan lain lain.

RDPT merupakan program Direktur Keuangan Hary Prasetyo dan disetujui Direktur Utama Hendrisman Rahim---keduanya juga terdakwa. Tujuan RDPT menyelamatkan saham-saham yang menurun nilainya akibat krisis ekonomi.

Pada awal 2008, Hendrisman dan tim memilih empat manajer investasi untuk mengelola dana Jiwasraya. Dari hasil beauty contest dipilih PT AAA Asset Management, PT Danareksa Investment Management, PT Trimegah Asset Management, dan PT Batavia Prosperindo Asset Management.

"Masing-masing dapat kuota Rp100 miliar," kata Lusiana.

Sebetulnya, kata Lusiana, RDPT untuk mengakomodir saham-saham anjlok. Tujuan manajemen waktu itu tidak menginginkan pencatatan kerugian akibat penurunan harga-harga saham.

Tetapi RDPT membuka pintu masuknya modal besar dari grup Heru Hidayat dan Benny Tjokro lewat perantara Joko Hartono dengan menawarkan pengelolaan dana dan investasi untuk Jiwasraya.

Joko Hartono menawarkan empat saham yaitu PT Inti Agri Resources Tbk. (IIKP), PT Trada Alam Minera Tbk. (TRAM), PT Hanson International Tbk. (MYRX), dan PT Eureka Prima Jakarta Tbk. (LCGP). Saham perusahaan-perusahaan itu juga dikuasai Heru Hidayat dan Benny Tjokro dan berada dalam pengelolaan dua manajer investasi yang dikendalikan Joko Hartono.

Saat itu Lusiana melayangkan protes terhadap manajemen lantaran dalam penerbitan RDPT itu banyak underlying saham yang tidak likuid dan cenderung dikelola oleh empat perusahaan manajer investasi yang sama. 

"Kenapa di setiap RDPT ini, saham-saham yang ada itu mirip-mirip semua orangnya? Saya sampaikan ke Pak Syahmirwan, kalau ada apa-apa dengan pemilik ini bisa membuat Jiwasraya bangkrut atau hilang uangnya," kata Lusiana.

Syahmirwan, kata Lusiana, mengatakan hal itu adalah kebijakan manajemen untuk menyehatkan dan merestrukturisasi perusahaan. Syahmirwan pun meyakinkan Lusiana tentang Heru Hidayat, yang disebut sebagai pemodal besar yang dapat diandalkan dalam investasi saham.

Lebih jauh Lusiana mengungkapkan adanya aktivitas transaksi saham yang dilakukan langsung oleh Hary Prasetyo tanpa adanya kajian portofolio antara lain saham PT Bukit Darmo Property Tbk. (BKDP), PT Bakrie & Brothers Tbk. (BNBR), PT Energi Mega Persada Tbk. (ENRG), IIKP, dan PT Truba Alam Manunggal Engineering Tbk. (TRUB), yang dibeli Hary Prasetyo pada Juni-Juli 2008 dengan kode transksi `Dir`.

Kode transaksi tersebut digunakan sebagai pencatatan untuk menginventarisir aktivitas transaksi saham para direksi Jiwasraya. "Kode ‘Dir’ itu sempat dilarang oleh beliau (Hary Prasetyo). Seharusnya trading yang dilakukan Jiwasraya tidak dipisah catatannya," kata Lusiana.

Ia pun mengungkapkan adanya nama serupa ketika Jiwasraya mengalihkan investasinya ke sejumlah reksa dana yang dikelola 13 manajer investasi pada periode 2014-2018. Ada 21 reksa dana yang dibeli Jiwasraya tersebut, yang di dalamnya terdapat saham-saham perusahaan milik Heru Hidayat dan Benny Tjokro.

Berdasarkan temuan Kejaksaan Agung, Jiwasraya diduga melanggar prinsip kehati-hatian karena berinvestasi pada aset finansial dengan risiko tinggi untuk mengejar keuntungan tinggi berupa penempatan pada instrumen saham sebanyak 22,4% senilai Rp5,7 triliun dari aset finansial. Dari jumlah tersebut 2% ditempatkan pada saham dengan kinerja baik dan 95% ditempatkan pada saham yang berkinerja buruk.

Jiwasraya juga menempatkan investasi pada aset reksa dana sebesar 59,1% senilai Rp14,9 triliun dari aset finansial.

Akibat dari investasi tersebut, sampai dengan bulan Agustus 2019, Jiwasraya menanggung potensi kerugian negara Rp13,7 triliun.

Kejagung juga telah menetapkan 13 perusahaan manajer investasi sebagai tersangka.

Ke-13 perusahaan manajemen investasi tersebut adalah PT Danawibawa Manajemen Investasi atau Pan Arkadia Capital, PT OSO Manajemen Investasi, PT Pinnacle Persada Investasi, PT Milenium Danatama, PT Prospera Asset Management, PT MNC Asset Management, PT Maybank Asset Management, PT GAP Capital, PT Jasa Capital Asset Management, PT Pool Advista, PT Corina Capital, PT Trizervan Investama Indonesia dan PT Sinarmas Asset Management. (G-2)

BACA JUGA: