JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia (RI) telah merampungkan kajian sistemik tentang pengawasan terintegrasi dalam rangka pencegahan dan penegakan hukum pertambangan ilegal. Lemahnya pengawasan pemerintah dan penegak hukum menjadi salah satu temuan yang menyebabkan pertambangan ilegal di daerah masih marak.

Temuan lainnya mengenai pola aktivitas pertambangan ilegal dan pengabaian kewajiban hukum oleh pemerintah dalam tata kelola Izin Pertambangan Rakyat (IPR).

Menurut Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI), jumlah penambang legal maupun ilegal di Indonesia sebanyak 3,6 juta orang yang terdiri dari penambang emas berjumlah 1,2 juta orang dan sisanya merupakan penambang batuan, minyak, batu bara, timah, galena, tembaga, dan lainnya.

"Sistem pengawasan dari pihak pemerintah dan aparat penegak hukum yang tidak terintegrasi menjadi penyebab utama kegiatan pertambangan ilegal," kata kata anggota Ombudsman RI Laode Ida dalam konferensi pers daring, Rabu (15/7/2020).

Menurutnya salah satu temuan Ombudsman RI adalah di kawasan Molawe, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Di situ terdapat perusahaan pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tetap beroperasi meski berstatus non-Clean and Clear (CnC) karena tidak memenuhi aspek kewilayahan.

Tinjauan Ombudsman RI tersebut dilakukan karena maraknya aktivitas pertambangan ilegal hampir di seluruh wilayah Indonesia sehingga menimbulkan berbagai dampak negatif seperti kerusakan dan pencemaran lingkungan serta menghilangkan potensi penerimaan negara serta nilai manfaat lainnya.

Ombudsman RI menyarankan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar membentuk tim pencegahan dan penegakan hukum pertambangan ilegal yang terintegrasi baik di tingkat pusat maupun daerah.

Tim tersebut dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM yang terdiri dari unsur Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kepolisian RI.

Laode menjelaskan tim itu bertugas untuk mengumpulkan basis data kegiatan usaha pertambangan dan menyusun perangkat pengawasan aktivitas pertambangan berbasis teknologi informasi yang terintegrasi. Juga, menyusun langkah strategis dalam rangka pencegahan serta penanganan aktivitas pertambangan ilegal serta langkah penegakan hukum.

Menurut La Ode, kebijakan khusus pemerintah dirasa perlu dengan cara membentuk tim terpadu dalam rangka melakukan pengawasan secara terintegrasi. Pada saat yang bersamaan juga diperlukan penataan pertambangan untuk memenuhi hak rakyat lokal untuk menambang. Pasalnya, Ombudsman RI menemukan maraknya pertambangan ilegal yang dilakukan oleh masyarakat akibat wilayah pertambangan rakyat (WPR) yang ditetapkan pemerintah tidak mengandung mineral dan batu bara.

Padahal, kata Laode, UU Minerba telah mengatur bahwa wilayah atau tempat kegiatan rakyat yang sudah dikerjakan tetapi belum ditetapkan sebagai WPR diprioritaskasn untuk ditetapkan sebagai WPR.

Laode mendorong pemerintah untuk menginventarisasi pertambangan yang dilakukan oleh masyarakat dengan diikuti oleh WPR oleh Menteri ESDM. Selain itu diperlukan juga penyederhanaan regulasi agar masyarakat semakin mudah untuk memperoleh Izin Pertambangan Rakyat (IPR).

"Dengan adanya legalisasi, masyarakat memiliki kepastian dalam usaha serta berkontribusi terhadap pendapatan negara dan penyerapan tenaga kerja," kata Laode.

Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai menambahkan tidak ada prioritas pengawasan tambang ilegal di wilayah mana pun termasuk calon Ibu Kota baru Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Dalam temuan Ombudsman RI kegiatan tambang ilegal juga ditemukan di dekat calon Ibu Kota Baru kawasan Tahura, Bukit Soeharto, Kalimantan Timur.

Ombudsman RI melakukan pengawasan tambang ilegal dengan menggandeng Badan Intelijen Negara (BIN) dan pihak kepolisian di daerah.

"Supaya berkenan menindaklanjuti karena pada akhirnya ini menunjukkan kerja sama kita. Kalau berharap pada Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Irwasum ( Inspektur Pengawasan Umum Polri) saja gak tuntas," ujar Amzulian. "Oleh karena itu perlu pengawasan baik dari pemerintah serta masyarakat sekitar. Perlunya gerakan bersama, kalau gerakan bersama semua jadi prioritas."

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya sebelumnya menyebutkan ada 1.350 lubang bekas tambang yang ada di wilayah calon Ibu Kota baru RI dan sekitarnya.

Menurut Siti, aktivitas penambangan ilegal tersebut banyak terjadi di wilayah Kutai Kartanegara-Penajam Passer Utara yang akan menjadi lokasi pembangunan Ibu Kota baru RI tersebut.

Selain itu, sedikitnya tercatat enam tambang ilegal yang aktivitasnya marak di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, yang berbatasan dengan wilayah Ibu Kota baru. (G-2)

 

BACA JUGA: