JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumbar amarah pada para pembantunya. Ancaman perombakan (reshuffle) para menteri di kabinet bahkan terlontar dari mulutnya. Setidaknya itu yang bisa dilihat masyarakat dalam unggahan video Youtube Sekretariat Presiden pada 28 Juni 2020. 

Dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, 18 Juni 2020, itu Jokowi merasa kurang puas terhadap kinerja para menteri yang menurutnya di bawah rata-rata dan tidak sesuai dengan target.

Namun apakah Jokowi benar-benar akan mengganti para menterinya dalam kondisi pandemi COVID-19 saat ini?

Ada banyak pertimbangan.

"Ini sudah bulan kedelapan sejak pelantikan kabinet. Menurut saya memang sudah cukup waktu bagi presiden untuk menilai kemampuan dari para menteri-menterinya," kata Direktur Eksekutif Nagara Institute (NI) Akbar Faizal kepada Gresnews.com, Selasa (7/7/2020).

Menurutnya ada peristiwa pandemi yang memaksa semua orang pada tingkat personal dan semua negara pada tingkat kelembagaan besar bernama bangsa untuk melakukan hal-hal yang luar biasa untuk keluar dari krisis ini.

Lanjut Akbar, ada dua pertimbangan presiden melihat bahwa kabinetnya tidak cukup bekerja dengan baik. Tidak cukup melakukan hal yang dianggap perlu untuk menghadapi pandemi yang seharusnya memakai cara-cara luar biasa untuk menghadapinya.

"Terutama pada beberapa kementerian yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat. Maka ketika presiden marah dan mengancam itu sah adanya," cetusnya.

Menurutnya bagaimana menilai kementerian yang tidak bekerja dengan baik itu banyak parameternya. Misalnya koordinasi antara satu pihak dan pihak lain pada tingkat kementerian. Itu contoh yang paling sederhana saja.

Satu menteri dengan menteri yang lain saling bertabrakan kewenangannya. Bertabrakan kebijakannya yang membuat masyarakat menjadi bingung. Contoh, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kesehatan. Itu tidak ada koordinasi yang membuat publik menjadi kebingungan.

Lebih parah lagi koordinasi antara pusat dan daerah, antara kementerian teknis, misalnya, dengan daerah, juga demikian.

"Maka kita mendengar bagaimana antara menteri sosial dengan bupati di Gorontalo itu. Yang memantik pertengkaran antara kabupaten dan kabupaten, bupati yang di Gorontalo itu dengan Bupati Lumajang. Dan itu banyak yang terjadi. Itu masih pada tingkat koordinasi," terangnya.

Lalu bagaimana kalau pada tingkat kebijakan atau eksekusi? Presiden menyebut tindakan langsung, serapan anggaran. Dari anggaran Rp75 triliun di Kementerian Kesehatan tetapi yang terserap hanya 1,5 % dari anggaran tersebut.

Seharusnya hal seperti itu tidak perlu terjadi.

Kemudian, setelah Jokowi marah, muncul keterangan Menteri Sekretariat Negara Pratikno bahwa para menteri telah memperbaiki diri. Berupaya meningkatkan kinerjanya lebih baik.

"Kalau Pak Pratikno (Mensesneg) menjelaskan seperti itu, silakan saja. Tetapi sebenarnya itu bisa menjadi tidak elok di ruang publik," imbuhnya.

Menurut Akbar, banyak kesimpulan yang bisa didapatkan. Pertama, begitu gampangnya presiden marah untuk hal yang tidak perlu. Tapi kenyataannya kerja para menteri baik-baik saja menurut Menteri Sekretaris Negara.

"Yang kedua, kalau hanya karena marah presiden tiba-tiba kinerja menteri dalam waktu sejak tanggal 28 (Juni) sampai sekarang tiba-tiba meningkat luar biasa. Apa benar seperti itu?" ungkapnya.

Akbar mengatakan jangan dianggap ruang publik untuk sebuah masalah sesederhana itu. Dia melihat mensesneg hanya menyederhanakan masalah.

"Yang ketiga, yang paling saya khawatirkan adalah presiden bisa dianggap oleh banyak pihak itu mempermainkan emosi publik. Itu yang tidak bagus meskipun sebenarnya presiden bisa punya banyak cara untuk menyampaikan ke publik bahwa dia tidak puas dengan kinerja menterinya," ungkapnya.

"Apa caranya? Ya, sudah panggil saja dalam rapat kabinet, marahi dan ganti, selesai sudah," tambahnya.

Akbar menilai yang akan menanggung seluruh risikonya adalah presiden bukan menteri. Menteri hanya bertanggung jawab kepada presiden tapi presiden bertanggung jawab kepada rakyat.

"Menteri itu bertanggung jawab kepada presiden. Tidak ada visi misinya menteri. (Yang ada) visi misinya presiden yang dia (para Menteri) terjemahkan," tuturnya.

Menurutnya periode pertama Presiden Jokowi sudah bagus kinerja kabinetnya dibandingkan dengan yang sekarang. Padahal sebenarnya harusnya terbalik. Kinerja kabinet periode kedua seharusnya jauh lebih baik berlipat-lipat dibandingkan kinerja periode pertama karena presiden tidak punya beban.

"Cari menteri yang paling terbaik. Cari menteri yang berani yang (mampu) melakukan terobosan bukan yang hanya bisa menyenang-nyenangkan Presiden. Menjilat-jilat kepada Presiden. Seakan-akan cerdas tetapi sebenarnya (tidak)," ungkapnya.

Akbar menyarankan agar mencari menteri yang bisa menjawab keinginan presiden sehingga tidak ada beban lagi. Kalau tidak mampu maka segera diganti.

"Nah, kalau dikatakan bahwa tidak sesederhana itu karena (adanya) hitung-hitungan politiknya harus ada. Tetapi kan pertanyaannya risikonya itu berada di presiden bukan di partai politik. Terutama menteri-menteri yang berasal dari partai politik," jelas Akbar.

"Jadi memang dibutuhkan kekuatan untuk mengambil sikap. Dan menurut saya Pak Jokowi punya (kekuatan) itu, " tandasnya.

Sementara itu, Donny Gahral Adian, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), mengatakan ada tidaknya reshuffle kabinet serahkan saja kepada presiden.

"Jadi kan semuanya kembali kepada presiden. Karena beliau yang punya hak prerogatif," kata Donny kepada Gresnews.com, Selasa (7/7/2020).

Ia menambahkan mensesneg sudah menyampaikan bahwa isu reshuffle tidak relevan karena menteri-menteri sudah merespons kemarahan presiden dengan kinerja positif. "Jadi, saya kira dua itu saja yang harus kita jadikan pegangan. Kalau kita mengacu kepada pernyataan mensesneg tidak ada masalah," ungkapnya.

Menurut Donny, reshuffle kabinet tidak akan dilakukan dalam waktu dekat ini. "Ya, betul (tidak reshuffle)," pungkasnya. (G-2)

BACA JUGA: