JAKARTA - Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK) akan menguji UU 2/2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pada Selasa, 23 Juni 2020, MK memutuskan tidak dapat menerima permohonan uji materiil Perppu COVID-19 yang diajukan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), KEMAKI, Yayasan Mega Bintang Solo, LP3HI, dan PEKA (perkara 24/PUU-XVIII/2020) serta Din Syamsuddin, Amien Rais, dan Sri Edi Swasono (perkara 23/PUU-XVIII/2020). Alasan MK permohonan tersebut sudah kehilangan objek pengujian karena Perppu COVID-19 itu telah disahkan oleh pemerintah dan disetujui DPR menjadi UU 2/2020.

Ketua Dewan Pengarah KMPK Din Syamsuddin mengatakan proses pembentukan UU 2/2020 dilakukan secara cepat dan isinya menegasikan eksistensi lembaga-lembaga negara yang sah secara konstitusional seperti DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 

"DPR punya fungsi budgeting dan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) diusulkan oleh pemerintah dan dibahas oleh DPR. Lahirlah undang-undang tentang APBN. Itulah fatsun kehidupan bernegara yang ada sejak dulu," kata Din dalam sebuah webinar yang diikuti oleh Gresnews.com, Jumat (26/6/2020).

Menurut Din, UU 2/2020 tidak menghargai DPR sebagai wakil rakyat. Tidak ada fungsi penganggaran oleh DPR yang seharusnya diajukan dan dibahas bersama-sama oleh pemerintah. Dengan dalih darurat COVID-19, fungsi itu diambil alih oleh eksekutif (pemerintah). Itu melanggar etika berkonstitusi.

"Dalam suasana apapun, dalam keadaan apapun seyogyanya pemerintah/eksekutif menghargai keberadaan DPR sebagai wakil rakyat yang dipilih secara sah oleh rakyat," kata Din.

Ia juga menyinggung pelanggaran etika demokrasi lantaran DPR tak kencang bersuara soal itu. Bahkan secara cepat, secara diam-diam menyerahkan hak budget itu. Padahal dalam suasana darurat COVID-19, DPR tetap bisa melakukan pembahasan.

"Kalau beralasan tidak cukup waktu, kenapa memaksa diri untuk cepat-cepat pula mengesahkan undang-undang yang berasal dari Perppu itu?" ujarnya.

Din mengatakan ada kerancuan nalar yang sedang diperlihatkan pemerintah dan DPR. "Saya pribadi sangat menekankan bahwa UU tersebut menegasi, meniadakan fungsi dari lembaga negara yang bersifat konstitusional, yang sangat penting untuk ditegakkan dalam kehidupan berdemokrasi," ungkapnya.

Din pun memberi catatan penting mengenai pemberian imunitas kepada sejumlah pejabat, khususnya bidang keuangan, dalam hal yang berkaitan dengan kebijakan keuangan untuk penanganan COVID-19.

Sementara itu anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam menegaskan sejak awal PKS menolak Perppu 1/2020 sebab tidak ada jaminan di dalamnya bahwa negara akan menyediakan dana untuk penanganan COVID-19.

"Tidak ada juga jaminan pasal atau ayat yang mengatakan bahwa seluruh dampak kepada rakyat berupa jaring pengaman sosial akan ditanggung negara," tuturnya.

Yang ada dalam Perppu COVID-19, kata dia, justru jaminan insentif fiskal berupa pemotongan tarif pajak. Padahal pemotongan tarif pajak ada dalam draf RUU Omnibus Law Perpajakan---terutama menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh). "Penurunan tarif itu tidak nyambung dengan tujuan penanganan COVID-19," kata Ecky.

Dia menegaskan dengan adanya UU 2/2020 tidak ada kontrol pengawasan DPR ke pemerintah karena DPR tidak lagi memiliki wewenang untuk mengawasi.

Dikutip dari Setkab.go.id, biaya penanganan COVID-19 Rp677,20 triliun dengan alokasi bidang kesehatan Rp87,55 triliun dan pemulihan ekonomi nasional Rp589,65 triliun.

Telah diterbitkan pula PP 29/2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan dalam Rangka Penanganan COVID-19. Lima fasilitas pajak yang diberikan adalah:

  1. Tambahan pengurangan penghasilan neto untuk wajib pajak dalam negeri (WPDN) yang memproduksi alat kesehatan atau perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT) untuk COVID-19 sebesar 30% dari biaya langsung produksi alkes dan PKRT;
  2. Wajib pajak orang pribadi (WPOP) memberi sumbangan untuk COVID-19 maka sumbangan tersebut dapat menjadi pengurang penghasilan bruto sebesar nilai yang sesungguhnya dikeluarkan;
  3. Tarif 0% pada PPh 21 bersifat final untuk tambahan penghasilan dari pemerintah berupa honorarium atau imbalan yang diterima wajib pajak pribadi untuk tenaga kesehatan yang mendapat penugasan menangani COVID-19;
  4. Penghasilan berupa kompensasi dan penggantian atas penggunaan harta dikenakan PPh final 0%;
  5. Pembelian kembali saham yang diperjualbelikan di bursa (buy back) untuk wajib pajak perseroan terbatas yang ingin mendapat penurunan tarif 3% dengan syarat 40% saham yang disetor diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI)/dimiliki publik minimal 300 pihak.

(G-2)

BACA JUGA: