JAKARTA - UU 3/2020 tentang Perubahan Atas UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU MInerba) yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 10 Juni 2020 dinilai membahayakan keselamatan dan masa depan masyarakat adat.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi dalam pernyataan tertulis yang diterima Gresnews.com, Kamis (25/6/2020), mengatakan setidaknya ada enam masalah utama UU Minerba terhadap masyarakat adat.

Pertama, secara formal perubahan UU Minerba dibahas secara diam-diam dan sangat jauh dari partisipasi masyarakat seperti disyaratkan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

"UU Minerba ini berpengaruh luas bagi masyarakat adat dan lingkungan hidup, karena itu tahapan pembahasan seharusnya dibuka kepada publik dan membuka partisipasi," kata Rukka.

Kedua, UU Minerba yang baru dinilai mempercepat kehancuran ruang hidup masyarakat adat sebab antara masyarakat adat dan wilayah adatnya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Menurutnya identitas masyarakat adat terbentuk dari interaksi dinamis antara manusia baik secara individu maupun bersama-sama dengan segala sesuatu di dalam wilayah adat yang jadi ruang hidupnya. Hal itu menjadi bermasalah ketika dalam Pasal 1 ayat (28a) perubahan UU Minerba, Wilayah Hukum Pertambangan mencakup ruang darat, laut, bawah bumi di kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan dan landasan kontinen.

"Ini adalah norma sapu jagat tanpa pengecualian terhadap ruang, termasuk ruang hidup Masyarakat Adat," ujarnya.

Ketiga, UU Minerba yang baru disebut melanggengkan praktik korupsi di wilayah adat. "Berdasarkan data yang dihimpun AMAN, hingga 2019 luasan konsesi tambang di seluruh Indonesia mencapai 19.224.576 hektare. Sebanyak 77% dari luasan tersebut merupakan konsesi illegal," ucapnya.

Ia menyebut perizinan tambang masih morat-marit. Sebagian masalahnya juga terjadi dalam praktik-praktik perizinan pertambangan di wilayah-wilayah adat.

Keempat, UU Minerba yang baru menciptakan kewenangan yang sentralistik dalam pengelolaan sumberdaya alam (mineral dan batu bara). UU 4/2009 telah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Minerba sebagai wujud dari semangat desentralisasi dan otonomi daerah dalam pengelolaan sumber daya alam. Namun perubahan UU Minerba justru melemahkan hal tersebut.

Kelima, UU Minerba yang baru berpotensi meningkatkan kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Dalam Catatan Akhir Tahun 2018 AMAN, terdapat 262 masyarakat adat yang dikriminalisasi karena mempertahankan wilayah adatnya.

Keenam, UU Minerba yang baru memberikan keistimewaan bagi pemegang konsesi tambang. "Dalam perubahan ini, pengaturan mengenai perpanjangan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dilakukan tanpa melalui lelang," tuturnya.

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Irres) Marwan Batubara menyebutkan ada kesepakatan oligarki konspiratif yang memuluskan revisi UU Minerba ini pada saat rakyat hidup susah dan menderita akibat pandemi korona. "Ini menjadi sejarah hitam kehidupan bernegara bagi kita di Indonesia," katanya kepada Gresnews.com, Kamis (25/06/2020). 

Menurutnya secara konspiratif oligarki penguasa-pengusaha telah berhasil menghilangkan hak rakyat untuk menikmati keuntungan optimal dari aset sumber daya alam bernilai Rp2.100 triliun hingga Rp13.730 triliun.

Para pengusaha tambang rakus, lanjutnya, akan terus mengangkangi seluruh aset negara itu, sehingga untuk berbagi pengelolaan dengan BUMN seperti skema kerja sama Inalum-Freeport pun mereka menolak.

Ia menegaskan motif utama di balik revisi UU Minerba adalah untuk menjamin kelanjutan operasi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang kontraknya segera berakhir.

Dengan adanya revisi maka terbuka kesempatan bagi para pengusaha tambang tetap mendominasi penguasaan sumber daya alam minerba minimal 20 tahun ke depan. Untuk itu disebar alasan sumir tentang perlunya perpanjangan kontrak untuk kepastian investasi, peningkatan penerimaan negara, penyediaan lapangan kerja, dan lain-lain.

Faktanya, ketentuan yang ada dalam UU 4/2009 tidak menjamin kesempatan bagi pengusaha tambang memperoleh perpanjangan kontrak secara otomatis. Jika revisi tidak dilakukan, dominasi mereka akan terputus.

"Itulah sebabnya mereka menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuan. Maksud yang sarat moral hazard ini mendapat dukungan penuh dari anggota oligarki yang tergabung dalam konspirasi penguasa, pengusaha dan sejumlah pimpinan partai," ungkapnya. 

Padahal, sesuai Pasal 33 UUD 1945, TAP MPR IV/1999 tentang GBHN, TAP MPR IX/2001 tentang Pengelolaan SDA, Putusan MK 36/2012 dan Putusan MK 85/2013, BUMN-lah yang berhak menguasai dan melanjutkan operasi wilayah kerja (WK) tambang saat kontrak KK dan PKP2B berakhir.

Amanat konstitusi dan TAP-TAP MPR tentang penguasaan oleh BUMN ini telah diterjemahkan dengan tepat dalam Pasal 75 UU 4/2009.

Ayat 3, dan 4 Pasal 75 UU 4/2009 menyatakan bahwa: (3) BUMN dan BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK; (4) Badan usaha swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK. 

Jika kontrak KK dan PKP2B berakhir, seluruh wilayah kerja (WK) tambang dikembalikan kepada negara. Negara berkuasa penuh mengubah WK menjadi wilayah pencadangan negara (WPN). Kemudian WPN ini dikelola BUMN. 

Karena itu, sesuai kepentingan ekonomi, ketahanan energi, dan keadilan bagi seluruh rakyat maka mandatori bagi pemerintah menunjuk langsung BUMN melanjutkan operasi tambang.

Ternyata bukan hanya kontraktor KK dan PKP2B yang mendapatkan jaminan kelanjutan operasi. Pemegang izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK) pun menikmati hal yang sama.

Dalam UU Minerba yang lama, perpanjangan izin tercantum dengan klausula "dapat diperpanjang", yang diganti dengan "dijamin" pada revisi UU ini. Hal tersebut antara lain dapat dilihat padal Pasal 47, Pasal 83 dan Pasal 169, Pasal 169 A dan Pasal 169 B.

Dengan ditetapkannya UU 3/2020, para kontraktor eks PKP2B dan pemegang IUP/IUPK telah mendapat jaminan menguasai tambang minerba nasional berpuluh tahun.

Di sisi lain, saat ini sekitar 90% cadangan terbukti dan potensial minerba nasional sudah dikuasai para kontraktor dan pemegang IUP tersebut. "Karena itu, setelah 20-30 tahun, sebagian besar cadangan akan terkuras, dan hanya menyisakan ampas bagi BUMN/BUMD," ujarnya. (G-2)

 

BACA JUGA: