JAKARTA - Pandemi COVID-19 membuat APBN 2020 mengalami kenaikan defisit dari Rp307,2 triliun menjadi Rp853 triliun. Perlu kebijakan yang tepat apakah defisit APBN ditutup dengan menggunakan utang atau mencetak uang.

Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Sugeng Bahagijo menjelaskan sebagai lembaga advokasi kebijakan, ia memantau masalah perekonomian ini dengan membentuk tim kecil sebagai bentuk kontribusi untuk pengananan COVID-19. "Bagi kami isu pemulihan ekonomi ini untuk mengetahui apakah kebijakan fiskal pemerintah sudah memadai," katanya dalam diskusi daring yang diikuti Gresnews.com, Rabu (10/6/2020).

Masalah lainnya, kata Sugeng, adalah terkait dengan defisit APBN yang semakin melebar. Ada dua pilihan dalam mengatasi ini apakah menggunakan utang atau mencetak uang. "Di antara dua pilihan itu mana yang paling baik, karena negara lain juga melakukan pencetakan uang hingga defisitnya mencapai 10% dari Produk Domestik Bruto (PDB)," katanya.

Saat ini defisit Indonesia masih di bawah 5% PDB dan negara-negara maju bahkan jauh lebih besar angkanya. Contohnya Bank sentral Uni Eropa memilih mencetak uang hingga defisitnya mendekati 8% dari PDB.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti Tri Kunawangsih Purnamaningrum mengatakan dampak COVID-19 akhirnya pada masalah ekonomi. Ia memberikan gambaran bila sebuah negara melakukan pencetakan uang saat teknologi belum semaju saat ini.

Menurutnya tujuan dari perekonomian adalah masyarakat sejahtera yang diukur dari daya beli yang baik. Salah satu hal yang berkaitan dengan daya beli adalah inflasi. Inflasi ini merupakan kenaikan harga secara umum dan berlangsung terus menerus.

Inflasi sendiri terbagi atas inflasi rendah, sedang, berat dan hiperinflasi. Inflasi rendah ini analog dengan stres dan tidak masalah karena tetap produktif. Terpenting jangan sampai depresi.

Berbeda dengan hiperinflasi yang akan meningkatkan harga secara berlebihan. Ini terjadi bila laju inflasi mencapai 50% per bulan. Biasanya terjadi karena melakukan kebijakan pencetakan uang untuk membiayai pembangunan.

Misalnya di Hungaria dan Austria, seabad lalu terjadi hiperinflasi. Lalu Venezuela pada 2017 mengalami hiperinflasi hingga menggerus daya beli masyarakatnya.

Negara lainnya adalah Jerman dan Zimbabwe. Satuan nominal uang Zimbabwe mencapai 500 juta. Ini harus diantisipasi jangan sampai terjadi di Indonesia.

"Ini money illution. Dampaknya kesejahteraan menurun, sampai beli kebutuhan sehari-hari ke negara tetangga. Uang sudah tidak bernilai," katanya.

Nah menurutnya, teori moneter modern berasumsi suatu negara tidak perlu khawatir dengan defisit tinggi. Negara dapat memenuhi kebutuhan keuangannya sendiri pada saat krisis tanpa harus berutang, yakni dengan mencetak uangnya dengan mata uang sendiri.

"Bagaimana kondisi ekonomi di Indonesia harus dilihat lagi riset," katanya.

Saat ini yang dilakukan Bank Sentral adalah melakukan quantitative easing. Kebijakan ini untuk meningkatkan jumlah uang beredar dengan harapan akan meningkatkan perekonomian dengan membeli aset jangka panjang berupa surat berharga pemerintah maupun bank swasta.

"Pada prinsipnya pemerintah harus berhati-hati bila ingin mencetak uang," katanya.

Sementara itu, Ketua Komite Tetap Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Bob Azam mengatakan sejauh ini yang dilakukan pemerintah sudah pada relnya. Namun bila diasumsikan pandemi COVID-19 berlangsung sampai 6 bulan ke depan akan membutuhkan dana besar untuk memulihkannya.

Biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan 40% dari tenaga kerja yang terdampak ini cukup besar, hitungannya bisa sampai Rp1.600 triliun.

Lanjut Bob, jadi sudah benar prioritas yang dilakukan pemerintah. Yakni penanganan COVID-19 lalu penanganan masalah-masalah sosial dan ekonomi.

"Tinggal masalah jumlahnya cukup apa nggak. Tapi sebenarnya konsentrasi KADIN itu bukan soal cetak duit. Kalau kami itu berapa besar dan berapa cepat. Karena ini nanti akan menentukan seberapa besar kerusakan yang akan kita alami," ungkapnya.

Menurut Bob, makin cepat ditangani semakin kecil dana yang dibutuhkan. Tapi semakin lambat ditangani dananya akan semakin besar dan implikasinya juga besar.

"Kita juga bukan pihak yang procetak Uang. Karena kita juga tahu bahwa cetak uang itu implikasinya juga besar tetapi cetak uang itu hanyalah salah satu alternatif terakhir. Kalau sumber-sumber pendanaan itu tidak mencukupi,"cetusnya.

Rabu (29/4/2020), Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah mengusulkan agar Bank Indonesia (BI) mencetak uang Rp400-Rp600 triliun. Menurut politikus asal PDIP ini, cetak uang adalah cara tercepat menyediakan dana segar di tengah terbatasnya uang negara untuk pembiayaan penanggulangan dampak COVID-19.

Uang itu bisa dipakai untuk membeli surat utang pemerintah atau surat utang perbankan dan korporasi. Dengan begitu, pemerintah tidak usah repot menerbitkan global bond atau surat utang ke luar negeri.

Dalam ilmu ekonomi, inflasi akan terjadi saat semakin banyak uang beredar di masyarakat dibanding yang dibutuhkan. Said bukannya tidak memperhitungkan ini.

Menurutnya, dengan mencetak uang Rp600 triliun akan terjadi inflasi sekitar 5 sampai 6%, itu dinilai "tidak banyak". Melalui kebijakan ini, pemerintah akan memiliki beban bunga yang lebih rendah. Peningkatan inflasi dapat dimitigasi dengan berbagai instrumen pengendalian yang wewenangnya dimiliki Bank Indonesia, misalnya melalui BI Rate dan kewenangan penetapan Giro Wajib Minimum (GWM).

Namun beberapa hari kemudian, BI merespons negatif. Mereka menolak mentah-mentah usul DPR ini. "Cetak uang untuk menangani COVID-19 itu barangkali bukan praktik yang lazim di bank sentral dan juga tidak dilakukan oleh BI," kata Gubernur BI Perry Warjiyo, Rabu (6/5/2020).

Langkah yang dilakukan BI adalah lewat injeksi likuiditas dan pemerintah keluarkan surat utang untuk kemudian BI serap.

Sebagaimana diketahui, BI saat ini sudah bisa membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi nasional akibat penyebaran COVID-19.

Hingga pekan pertama Juni 2020, BI telah membeli Rp26,05 triliun SBN dari pasar perdana. Secara rinci, pada 21-22 April 2020 BI menyerap Rp4,65 triliun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).

Kemudian, pada 28-29 April 2020 BI membeli SB sebesar Rp9,07 triliun. Lalu, pada 5-8 Mei 2020 pembelian SBN oleh BI tercatat sebesar Rp7,4 triliun, termasuk di dalamnya melalui skema private placement sebesar Rp3,67 triliun.

Selanjutnya, pada 12 Mei 2020, BI tercatat membeli SBN sebesar Rp1,77 triliun, dan pada 18 Mei 2020 pembeliannya tercatat sebesar Rp1,17 triliun. Terakhir, pada pekan pertama Juni ini sebesar Rp2,09 triliun. (G-2)

BACA JUGA: