JAKARTA - Kartu Prakerja pada dasarnya memiliki tujuan baik untuk membantu masyarakat, terutama para pengangguran, untuk meningkatkan kapasitas dirinya agar siap bekerja.

Namun, dalam pelaksanaannya, program Kartu Prakerja ini tidak lagi relevan, apalagi setelah dunia didera pandemi COVID-19.

Aktivis KoDe Inisiatif Violla Reininda menilai program Kartu Prakerja berupa pelatihan daring tidak relevan karena saat ini yang dibutuhkan adalah bantuan langsung.

"Apalagi banyak sekali terjadi pemutusan hubungan kerja atau pegawai yang dirumahkan selama pandemi korona," kata Vio dalam Webinar dengan tema Korupsi Melalui Kebijakan Penanggulangan Bencana, kepada Gresnews.com, Senin (4/5).

Saat ini yang terpenting adalah pemerintah mengubah paradigma soal bantuan sosial. Tidak sekadar memberikan bantuan bagi masyarakat.

Tetapi bantuan sosial itu dijadikan sebagai kompensasi supaya masyarakat bisa tetap melakukan kegiatan di dalam rumah dan membantu percepatan penanganan COVID-19.

Ia menegaskan untuk mencegah terjadinya tindak penyimpangan sebaiknya dihentikan terlebih dulu saja Kartu Prakerja karena tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Penyelenggara negara telah gagal membaca apa yang dibutuhkan oleh masyarakat di kala pandemi seperti ini.

Seharusnya DPR juga bertindak dengan mengkritisi bahkan menggunakan hak interpelasi dan hak angket terhadap penyelenggaraan Kartu Prakerja ini.

"Sayangnya, secara institusional, DPR tidak tanggap, padahal potensi penyimpangannya sudah terlihat," katanya.

Sementara itu, Hemi Lavour Febrinandez dari Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas menilai ada dua masalah Kartu Prakerja. Pertama, masalah konflik kepentingan; dan kedua, keterbukaan informasi.

"Permasalahan Kartu Prakerja itu yang pertama sudah ada conflict of interest dari awal, di mana beberapa orang yang akan menjadi penyelenggara Kartu Prakerja itu sudah tidak menggunakan mekanisme yang ditentukan oleh undang-undang," kata Hemi dalam acara yang sama kepada Gresnews.com

Semua orang tahu bahwa alur informasi sekarang terfokus/terpusat kepada yang diberitakan oleh pemerintah. Bila pemerintah tidak memberikan informasi yang konkret, tidak terbuka, dan akuntabel, bisa saja informasi tersebut malah menyesatkan.

Karena kalau orang membaca informasi dari pihak lain akan dianggap informasi yang salah. Jadi hanya informasi dari pemerintah yang dianggap benar.

"Sehingga untuk keterbukaan tersebut dibutuhkan sebuah platform/media yang dapat diakses oleh publik secara umum, bukan hanya misalnya website. Tetapi harus dijangkau hingga kepada satuan pemerintah terkecil yaitu desa, RT, RW," katanya.

Dengan demikian semua orang dapat berpartisipasi untuk melakukan pengawasan atas penggunaan anggaran. Karena anggaran ini turun hingga kesatuan terkecil. Masyarakat pun dapat memberikan laporannya kepada satgas-satgas yang dibentuk.

Selain itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengatakan sejak awal ICW sudah memiliki posisi bahwa Kartu Prakerja ini lebih baik dihentikan kemudian dievaluasi prosesnya. Jelas sekali ada uang negara yang sudah diberikan kepada platform digital ini.

Menurutnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) seharusnya sudah melakukan proses masuk ke dalam isu Kartu Prakerja ini. Entah melalui mekanisme penindakan atau melalui mekanisme pencegahan. (G-2).

 

BACA JUGA: